Di era yang serba cepat dan penuh informasi seperti saat ini, kita cenderung mengukur kecerdasan seseorang berdasarkan seberapa banyak yang mereka ketahui. Dalam dunia yang memberi tekanan untuk selalu tampil berpengetahuan, mengakui ketidaktahuan sering kali dianggap sebagai tanda kelemahan atau kurangnya kecerdasan seseorang.
Namun, apakah ketidaktahuan adalah sebuah kesalahan? Ya ndak juga. Dalam Ihya’, Imam Ghazali mengungkap panjang lebar tentang perlunya seorang ulama (yang tentu saja berilmu) menahan diri dari ketergesa-gesaan dalam berfatwa. Beliau juga mengutip perkataan Imam al-Sya’bi yang mengatakan, “Perkataan ‘Aku tidak tahu’ adalah separuh dari ilmu.” Ini menunjukkan bahwa mengakui ketidaktahuan bukanlah kelemahan, melainkan bagian penting dari proses pembelajaran dan penemuan kebenaran.
Lebih lanjut, Imam Ghazali menjelaskan bahwa seorang yang memilih untuk diam karena tidak mengetahui jawaban atas suatu pertanyaan, atas dasar ketakwaan kepada Allah swt, tidak berarti mendapatkan pahala yang lebih kecil daripada mereka yang mampu menjawab. Hal ini karena mengakui ketidaktahuan atau “kebodohan” diri sendiri adalah hal yang lebih berat bagi ego seseorang. Sikap seperti ini merupakan bagian dari tradisi para salaf, generasi awal umat Islam yang dikenal dengan kebijaksanaan dan kedalaman pemahaman mereka.
Tradisi intelektual yang menghargai pengakuan “Aku tidak tahu” mengajarkan kita bahwa pengetahuan yang sejati bukan sekedar akumulasi fakta atau informasi saja. Jauh lebih dari itu, pengetahuan yang hakiki juga mencakup kesadaran akan batas dan ruang lingkup pengetahuan kita sendiri. Ketika kita mengatakan “Aku tidak tahu,” kita bukan hanya menunjukkan kerendahan hati, tetapi juga memulai proses pembelajaran yang lebih mendalam. Hal ini membuka jalan bagi dialog yang bermakna, pertukaran ide yang lebih luas, dan pembelajaran yang berkelanjutan.
Mengakui ketidaktahuan tidak hanya mencerminkan kerendahan hati, tetapi juga menunjukkan sebuah kejujuran intelektual. Hal ini menunjukkan keberanian untuk mengakui bahwa pengetahuan kita terbatas dan mendorong kita untuk tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah kita ketahui. Dalam konteks ini, mengakui ketidaktahuan bukanlah akhir, tetapi justru titik awal dari pencarian kebijaksanaan yang sesungguhnya. Ini adalah langkah penting dalam perjalanan yang tidak berkesudahan menuju pengetahuan yang lebih luas dan mendalam.
Contoh nyata dari prinsip ini dapat dilihat dalam dunia ilmiah. Seorang peneliti yang menemui pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan pengetahuan saat ini tidak menganggap hal ini sebagai sebuah kegagalan. Sebaliknya, pertanyaan tak terjawab tersebut menjadi titik awal untuk eksplorasi dan penemuan baru. Ini mendorong penelitian lebih lanjut, percobaan, dan pembelajaran yang terus-menerus, yang pada akhirnya dapat mengarah pada terobosan ilmiah.
Oleh karenanya, mengakui ketidaktahuan bukanlah tanda kelemahan atau kesalahan. Sebaliknya, ini adalah elemen kunci dari proses pembelajaran yang berkelanjutan. Pilihan ini menuntut keberanian untuk menghadapi ketidakpastian dan kerendahan hati untuk menerima bahwa selalu ada lebih banyak untuk dipelajari.
Dengan mengakui ketidaktahuan, kita tidak hanya membuka diri terhadap peluang belajar baru, tetapi juga mengambil langkah penting menuju pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam. Hal ini memungkinkan kita untuk mengembangkan perspektif yang lebih luas, menghargai keragaman pendapat, dan memperkaya wawasan kita. Dalam jangka panjang, sikap ini dapat mengantarkan kita lebih dekat pada pemahaman yang lebih utuh dan kaya, baik dalam konteks akademis maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, ndak usah malu. Toh kita memang tidak harus tahu segalanya.
Tabik,
Ibnu Masud

Tinggalkan komentar