Dalam menjalani kehidupan yang sitik-sitik emosi ini, sepertinya menjaga kewarasan pikiran kita menjadi suatu perjuangan yang ndak mudah. Tekanan untuk selalu tanggap dan untuk selalu terlibat dalam setiap masalah, sering menguras energi batin kita. Tapi, ada pelajaran berharga bagi kita dari beberapa kisah yang mempertontonkan sikap bodoamat, yaitu ndak mikir jeru-jeru.
Suatu ketika Abu Bakar dicela oleh seorang laki-laki badui, Rasulullah yang saat itu sedang bersama hanya tersenyum dan terheran-heran. Namun, ketika Abu Bakar yang awalnya hanya diam mulai membantah dan membalas cacian badui itu, Rasulullah menampakkan kemarahan dan meninggalkan tempat tersebut. Mengapa? Karena saat Abu Bakar membalas cacian badui itu, setan hadir di sana. Nabi Muhammad tidak ingin berada di tempat yang sama dengan setan.
Dari kisah ini, kita belajar bahwa terkadang, ketenangan datang dari kemampuan untuk melepaskan, alias untuk tidak terjebak dalam drama yang tidak perlu dan percaya bahwa Allah swt akan menuntun kita ke jalan yang lebih baik.
Ada satu kisah lain ketika seorang pria datang kepada Imam Ahmad bin Hanbal dengan gagasan bahwa kewarasan pikiran terdiri dari sepuluh bagian, sembilan di antaranya adalah tentang “taghaful” atau sikap mengabaikan (bodoamat). Namun Imam Ahmad berpendapat bahwa seluruh elemen yang menjadi faktor kewarasan pikiran seseorang terkandung dalam sikap “taghaful.” Hal ini mengajarkan pada kita bahwa sering kali, kunci untuk tetap waras adalah dengan tidak terlalu memikirkan hal-hal yang tidak perlu, yang hanya menambah beban pikiran kita.
Dalam praktiknya, bersikap bodoamat bukanlah tentang apatis atau ndak peduli sama sekali. Sebaliknya, ini adalah tentang memilih pertarungan kita dengan bijak dan hati-hati. Kita belajar untuk mengetahui kapan harus berbicara dan kapan lebih baik diam. Apakah kita perlu merespons setiap kritik? Haruskah kita terlibat dalam setiap perdebatan yang tidak membawa dampak positif?
Setiap kali kita memutuskan untuk tidak merespons provokasi yang sia-sia, kita sedang mengasah ketabahan dan memperkuat kekuatan batin kita. Ini bukan hanya tentang mengabaikan hal-hal yang merugikan kewarasan pikiran kita, tetapi juga tentang fokus pada hal-hal yang benar-benar penting, seperti keluarga, teman, dan pekerjaan kita. Dengan demikian, bersikap bodoamat menjadi jalan atau cara untuk menemukan kedamaian, kekuatan, dan kebijaksanaan. Hal seperti ini sangat memungkinkan kita untuk menjaga keseimbangan dan kewarasan batin dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada pilihan untuk merespons atau mengabaikan komentar negatif di media sosial. Dengan menerapkan prinsip bodoamat, kita dapat memilih untuk tidak membuang-buang energi pada hal-hal yang tidak membuat hidup kita berkembang dan melindungi kewarasan pikiran kita dari berbagai kebisingan digital.
Keputusan untuk bersikap bodoamat dalam situasi-situasi tertentu bisa menjadi salah satu keputusan paling “oke” yang kita ambil. Ini mengharuskan kita untuk melawan dorongan untuk selalu bereaksi terhadap sesuatu. Sebagai gantinya, kita dapat menemukan ketenangan dalam kesantaian kita. Melalui sikap ini, kita juga dapat menemukan jalan menuju kehidupan yang lebih damai, sekaligus menyelaraskan diri kita dengan nilai-nilai kedamaian dan ketenangan yang diajarkan oleh agama.
Kesimpulannya, di zaman yang umumnya membuat kita merasa harus selalu terlibat, bersikap bodoamat sesekali bukan hanya menyelamatkan kita dari kelelahan emosional, tetapi juga membawa kita lebih dekat pada kebahagiaan lho. Dari kisah-kisah diatas, kita belajar bahwa terkadang, keberanian dan kebijaksanaan terbesar terletak dalam kemampuan untuk mengatakan, “Sudahlah, ini ndak perlu tak tanggapi.” Dengan cara inilah kita bisa menjaga keseimbangan batin, dan pada akhirnya, tetap waras di tengah kehidupan yang ndak menentu sama sekali ini.
Wong hidup ini sudah ndak jelas, ndak perlu lah ditambah drama-drama yang semakin ndak jelas juga.
Tabik,
Ibnu Masud

Tinggalkan komentar