Sejak saya beranjak dewasa, sepertinya setiap tahun politik tampak seperti tahun konflik. Banyak ujaran kebencian, caci maki, bahkan kabar-kabar bohong. Masalahnya, barang-barang tidak penting itu kemudian menjadi bahan bakar untuk mendendam, yang juga akan dilampiaskan di tahun politik berikutnya.
Akses internet dengan sosial medianya itu jyan masya Alloh. Hal-hal baik banyak disampaikan disana, tapi juga demikian dengan hal-hal buruk. Kadang kita juga ndak bisa memilih informasi apa yang datang kepada kita, wong kadang iklan-iklan yang ndak kita kehendaki aja suka mampir. Tapi setidaknya kita punya akal, kontrol, dan kebijaksanaan untuk mengolah segala informasi yang lewat di gawai kita.
Memang betul ada yang berjuang lewat politik, tapi ya harus dengan cara yang baik. Betul juga kalau kita yang sebagian besar hanya penonton ingin ikut terlibat, tapi ya terlibatlah dengan cara yang baik. Plis jangan halalkan segala cara. Jangan juga berlebih-lebihan ngefans, atau berlebih-lebihan membenci. Dikatakan dalam sebuah hadis, “Cintailah kekasihmu sekedarnya saja, bisa jadi ia akan menjadi musuhmu suatu hari nanti. Dan bencilah musuhmu sekedarnya saja, boleh jadi ia akan menjadi kekasihmu suatu saat nanti.”
Kita boleh saja beda pilihan, tapi mbok ya jangan terlalu fanatik sama manusia biasa. Mosok yo ndak malu, wong sama kanjeng Nabi saw aja ndak kenal-kenal banget, eh ini sama sosok politisi kok lebih cinta dan rela apa saja. Fanatisme buta itulah sebab perpecahan umat-umat terdahulu. Makanya, kita juga bisa men-setting pikiran kita bahwa tidak semua perbedaan itu mengharuskan baku hantam. Paling tidak, akalnya diajak mikir dikit-dikit lah ya. Saya ingat betul Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi pernah menulis bahwa perbedaan pendapat yang bertumpu pada fanatisme adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Perbedaan pendapat antara dua orang (kelompok) seharusnya memiliki dasar ilmu atau pengetahuan yang logis. Monggo logikanya dipake.
Mulai dari Diri Sendiri
Kita juga perlu sadar betul, meskipun banyak orang yang menghina satu sama lain, kita tidak harus berada dalam barisan itu. Banyak jumlahnya belum tentu benar. Namun kebenaran akan tetap benar meskipun pelakunya sedikit, dan kesalahan akan tetap salah sekalipun mayoritas menusia mengiyakannya.
Inilah salah satu guna akal kita. Jika kita sudah diberi akal kok masih mendewakan nafsu, apa bedanya kita dengan hewan? Maka, mari kita mulai sebarkan kebaikan demi kebaikan. Kalau memang belum bisa menebarkan kebaikan, opsinya adalah ngempet. Jangan ngomong yang tidak perlu. Sabda Nabi saw, “Hendaknya seseorang mengucapkan perkataan yang baik atau diam.”
Imam Muslim juga meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, “Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, dan menghinanya.” Dalam hadis lainnya Nabi juga bersabda, “Seorang muslim (yang sempurna) adalah yang kaum muslimin (muslim lainnya) selamat dari keburukan lisan dan tangannya.”
Bukan berarti pula kita tidak boleh mengkritik sebuah ide, kebijakan, dan perbuatan seseorang. Justru ide, kebijakan, dan perbuatan sangat bisa dikritik dan dinilai. Namun, sebaiknya kita tidak perlu turut menghina dan merendahkan pelakunya. Para ulama terdahulu juga saling kritik, bahkan muncul banyak buku yang bertujuan untuk “membully” pikiran ulama lainnya. Maka masyhur juga perkataan sebagian orang terhadap perbuatan buruk seseorang misalnya, “Bencilah perbuatannya itu, namun jangan sekali-kali membenci orangnya.”
Maka dari itu, sudah seharusnya kita -dalam hal ini- ndak perlu terlalu dalam membawa perasaan. Debat dan diskusi itu perlu, tapi mbok ya jangan lupa dibumbui dengan guyonan yang sehat. Biar ndak terlalu serius dan tegang. Kita ndak mau kan, persahabatan yang udah dibangun bertahun-tahun, dengan segala pengorbanan, hancur cuma gara-gara beda pilihan di pemilu. Mari kita jaga persaudaraan kita, hormati pilihan, dan ndak perlu ada gelutan.
Ibnu Masud

Tinggalkan komentar