Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Yang Penting Beli, Bacanya Boleh Nanti-Nanti

Dulu, semasa akhir SD dan SMP, bapak saya pernah membuka usaha persewaan buku, Iqra’ namanya. Persewaan buku ini menyewakan berbagai genre buku, yang mayoritasnya buku-buku islami. Ada novel, tabloid, komik, dan sebagainya. Saya tidak begitu ingat usaha ini bertahan berapa lama. Bagi saya saat itu, buku-buku ini adalah hiburan terbaik yang bisa saya akses ketika pulang dari pondok. Mau bagaimana lagi, jangankan hape, televisi saja ndak ada.

Kemudahan akses terhadap bacaan ini, membuat saya mulai suka membaca bacaan diluar zona nyaman saya. Sebelum masuk pondok (SD), saya suka baca koran, khususon rubrik olahraganya. Ketika di pondok, tidak ada lagi akses koran harian. Buku saya hanya satu, komik Doraemon yang dibelikan Ibu saya di Terminal Bungurasih, Surabaya, saat mengantar saya menuju pondok di Lumajang. Komik ini saya khatamkan wolak-walik, sampai akhirnya brodol semua. Selebihnya, saya pinjam komik-komik yang dibawa teman, kebanyakan Detective Conan dan One Piece. Sesekali ada juga yang bawa komik paketan Shonen Jump yang sangat tebal.

Zona nyaman bacaan yang awalnya hanya rubrik olahraga dan komik, beranjak menjadi novel dan tabloid-tabloid random. Sampai-sampai, apapun yang bisa saya baca, ya akhirnya terbaca juga. Kalau dipikir-pikir lagi, aktivitas ini bukan muncul murni karena kesukaan dan antusiasme membaca. Lebih tepatnya, menghibur diri agar bisa killing time dengan lebih efisien.

Tapi, karena pernah ada hubungan intens, akhirnya susah juga dilepaskan. Ketika sudah menekuni bidang desain, akhirnya ya mbalik ke buku-buku juga untuk melihat layout, ilustrasi sampul, dan lainnya. Setelah merantau ke Jogja, ndak ada tempat yang lebih romantis untuk dikunjungi selain Toga Mas, Gramedia, atau Social Agency. Secara tidak sadar, sejak pertama kali berhasil mengkonversi keringat menjadi uang, saya memutuskan untuk mengalokasikan sebagiannya untuk membeli buku, selain untuk kos dan makan. Rokoknya? Ngempet dulu lah.

Jangan dibayangkan juga kalau saya selalu bisa membeli buku yang diinginkan. Ada juga masa-masa ngenes, ketika harus mengerjakan tugas kuliah, saya mampir ke Toga Mas hanya untuk baca-baca buku yang sudah terbuka plastiknya. Syukur-syukur kalau nemu yang dibutuhkan untuk ngisi tugas, saya akan men-foto cover, halaman copyright, dan konten yang diperlukan. Dari tiga hal tersebut, saya sudah bisa bikin catatan kaki yang lengkap! Tapi kalau saya ingat-ingat lagi sekarang, kok ya menyedihkan sekali.

Rutinitas membeli buku, meskipun belum tentu membacanya, cukup menyenangkan bagi saya. Kadang-kadang saya bisa tertawa sendiri di toko buku karena melihat judul buku yang aneh atau lebay. Yaa, healing tipis-tipis lah. Alhamdulillahnya, buku-buku yang mulai saya beli (untuk dikoleksi) sejak belasan tahun lalu sudah sangat banyak (bagi saya) per hari ini.

Buku-buku yang jumlahnya ratusan judul itu, tentu saja belum saya baca semuanya. Ada buku yang saya baca tuntas, ada yang bertahap, ada juga yang bahkan plastiknya belum sobek. Namanya juga koleksi, yang penting kan punya dulu, hehe. Buktinya, ada buku yang saya beli pada tahun 2017, dan baru benar-benar berguna di tahun 2022. Saya tidak pernah tahu kapan buku-buku di rak saya itu akan terbaca, yang saya tahu, suatu saat buku-buku itu akan bermanfaat bagi keluarga saya. Seminim-minimnya, semoga bisa memberikan dampak “suka mengkoleksi buku,” seperti yang diturunkan bapak kepada saya.

Jadi, intinya, buku itu dikoleksi dulu aja. Nanti kalo sempat ya dibaca, wes to, sempat-sempat. Kalau mau sebaliknya, ya ndak masalah juga kok. Satu-satunya yang mungkin bisa jadi masalah itu, kalo kita beli buku bajakan…

Tabik,
Ibnu Masud

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts