Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Dua Hal Menakutkan

Semua orang pasti punya hal-hal tertentu yang ditakutinya, pun dengan saya. Ada dua hal yang penampakannya selalu menghadirkan suasana mencekam bagi saya. Pertama, jarum suntik, atau apapun yang tujuannya untuk ditancapkan ke tubuh. Jarum-jarum itu, entah kenapa begitu menyeramkan bagi saya. Sehingga setiap momen perjumpaan dengannya seolah terjadi adegan-adegan dalam film drama kolosal.

Desember 2015 adalah waktu dimana saya harus kembali berjumpa dengan jarum suntik setelah sekian lama. Dislokasi dua jari kaki akibat tabrakan dengan kiper lawan, membuat saya ditandu keluar lapangan futsal saat itu juga. Sampai di RS Sarjito, saya sudah hampir pingsan karena terlalu banyak darah yang keluar dari sobekan dua jari kaki kanan saya. Malangnya, beberapa menit kemudian mulai datang perawat dengan membawa peralatan suntik. Drama pun dimulai. Terjadi penolakan, negosiasi, dan penguluran waktu, yang akhirnya, mau tidak mau, jarum-jarum suntik itu harus menusuk dinding-dinding kulit tubuh saya.

Drama yang sama juga terjadi ketika saya harus disuntik vaksin Covid19. Jarum yang mungkin bagi sebagian orang tampak kecil dan tidak menyakitkan, bagi saya tampak begitu mengintimidasi. Lagi-lagi, keterpaksaan membuat saya harus merasakan suntikan lagi, tiga kali dalam rentang satu setengah tahun. Ah, sangat menyebalkan!

Satu hal lain yang lebih sering membuat saya takut ialah hujan dengan petir yang menyambar-nyambar. Saya tidak ingat betul sejak kapan ini terjadi. Jelasnya, setiap momen hujan deras disertai petir yang menggelegar membuat situasi jadi sangat mencekam bagi saya. Lalu, apa yang biasanya saya lakukan ketika menghadapi keadaan seperti ini? Ada dua kemungkinan. Pertama, jika saya berada di tempat dengan penerangan yang cukup bagus, biasanya saya lebih bisa tenang dengan menyelamatkan diri menuju tempat yang jauh dari pintu atau jendela. Penerangan yang baik setidaknya cukup membantu memfilter kilat, dan dengan menggunakan headset, saya sudah cukup merasa tidak panik.

Kemungkinan berikutnya adalah jika saya berada di tempat yang terlalu banyak akses bukaan, seperti di rumah. Saya cenderung bersembunyi di kamar, mendekat ke istri saya, dan menutup semua akses cahaya. Sialnya, kadang-kadang cahaya kilat masih bisa masuk tipis-tipis. Jika hal ini terjadi, biasanya saya secara refleks akan bersembunyi di balik selimut, sampai entah kapan.

Siang ini, hujan deras disertai kilat dan petir menghampiri lingkungan rumah kami. Saya yang siang tadi sedang berada di studio, sontak langsung berlari turun menuju kamar, menutup semua pintu dan jendela, sampai menguncinya. Tak lupa korden-korden juga ditutup semaksimal mungkin, dan seperti saya sebutkan diatas, saya bersembunyi di balik selimut sampai akhirnya tertidur.

Saya tahu, ketakutan ini memang lebay. Tapi jujur, ini yang saya rasakan. Dari sini ada dua hal yang bisa saya pelajari, kadang-kadang ketakutan memang perlu dihadapi, meskipun dengan sangat terpaksa. Sebaliknya, tidak semua ketakutan juga harus dihadapi, mungkin bersembunyi dan menghindar dari faktor yang membuat kita takut bisa menjadi opsi yang lebih baik. Entahlah…

Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts