Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Fenomena Sound Horeg dalam Kajian Fikih

Artikel ini dipublikasikan di Tsaqafah pada 30 Desember 2024.

Sepanjang 2024, viral sebuah fenomena baru yang ramai mendapat perhatian masyarakat luas. Fenomena tersebut dikenal dengan sebutan sound horeg, yaitu sebuah rangkaian sound system dengan ukuran besar dan bervolume tinggi. Dinamakan horeg (getar) karena getaran suara yang dihasilkan sound system tersebut (diharapkan) sanggup menggetarkan apa saja yang ada di sekitarnya.

Suatu fenomena yang viral umumnya menggiring opini masyarakat menjadi dua kelompok, pro dan kontra. Kelompok pro sound horeg memandang fenomena ini adalah bentuk kebebasan berekspresi, menuangkan kreatifitas, dan hiburan bagi masyarakat. Sebaliknya, pihak yang kontra memandang kegiatan-kegiatan yang melibatkan sound horeg mengganggu ketertiban dan punya dampak merusak, baik kesehatan maupun materiil. Lalu, bagaimana fikih memandang fenomena ini?

Jika kita mengacu pada literatur klasik, tentu sulit menemukan pembahasan tentang sound horeg ini. Namun jika dilihat substansinya melalui pandangan kedua belah pihak, baik yang pro maupun kontra, dapat diambil titik temu. Pihak pro mengekspresikan kreatifitasnya melalui hiburan dengan medium suara. Sedangkan pihak yang kontra menganggap bahwa suara ini menjadi sebab gangguan bagi mereka. Nah, suara inilah yang menjadi titik temu bagi kedua belah pihak.

Dalam al-Muqaddimah al-Ḥaḍramiyyah, Syaikh Bāfaḍal menyebutkan bahwa al-jahru (mengeraskan bacaan al-Qur’an) jika mengganggu ketenangan orang lain, maka haram hukumnya. Beliau menuliskan keterangan ini pada pasal tentang makrūhāt al-ṣalāh (perkara-perkara yang makruh dalam salat). Meskipun teks ini dibahas dalam lingkup salat, Syaikh Ibn Ḥajar al-Haitami menjelaskan dalam al-Manhaj al-Qawīm bahwa yang dimaksud dengan al-jahru juga mencakup kegiatan diluar salat. Karena mengeraskan bacaan tersebut, jika dilakukan di sekitar orang yang sedang salat, membaca Al-Qur’an, atau orang yang sedang tidur, bisa mengganggu mereka.

Bahkan Syaikh al-Turmusyi dalam ḥāsyiah-nya menjelaskan bahwa gangguan yang ditimbulkan dari suara bacaan yang keras tersebut adalah illat keharaman yang dinyatakan oleh Syaikh Bāfaḍal dengan mengutip sebuah hadis sahih:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Artinya: “Janganlah memberikan kemudaratan pada diri sendiri dan orang lain.”

Beliau juga menambahkan bahwa keharaman itu terjadi jika gangguan yang ditimbulkan berlebihan. Sedangkan pendapat yang menunjukkann kebolehan al-jahru meskipun mengganggu tetangganya sebagaimana dituturkan Imam Nawawi dalam al-Majmū‘, harus diarahkan pada gangguan ringan yang masih bisa ditolerir. Gangguan ringan ini, menurut Syaikh Bā‘asyin dalam Busyra al-Karīm dihukumi sebagai makruh, tidak sampai haram.

Nah, ukuran mengganggu ini harus dikembalikan pada orang yang terganggu, apakah benar-benar terganggu atau tidak. Namun tidak jarang jawaban dari orang yang terganggu terkesan subyektif. Bisa saja perasaan terganggu itu muncul karena paitan sengit (kepalang benci). Sehingga, diperlukan ukuran yang jelas, suara sekeras apa yang sudah masuk dalam kriteria mengganggu? Hal ini perlu, agar mendapatkan jawaban yang obyektif.

Suara dapat dianggap mengganggu ketika berubah menjadi kebisingan atau polusi suara. Hal ini telah diatur dalam Kepmen Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996, yang mendefinisikan kebisingan sebagai bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Dalam lampiran Kepmen ini, baku mutu tingkat kebisingan dibagi menjadi dua, peruntukan kawasan dan lingkungan kegiatan. Metriks yang digunakan untuk menilai tingkat kebisingan adalah desibel (dB).

Dalam peruntukan kawasan, tingkat kebisingan tertinggi berada pada kawasan perdagangan dan jasa, industri, rekreasi, serta pelabuhan laut dengan nilai 70 dB. Sedangkan untuk lingkungan kegiatan yang meliputi rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah (atau masing-masing yang sejenisnya) adalah 55 dB. Namun mungkin saja lingkungan kegiatan berada dalam lingkup kawasan tertentu seperti industri dan lainnya, sehingga memungkinkan adanya penyesuaian.

Lalu bagaimana dengan sound horeg? Dilansir dari Kompas.com, tingkat kebisingan yang dihasilkan sound horeg bisa mencapai 135 dB. Artinya, nilai ini hampir dua kali lipat dari nilai maksimum yang disarankan oleh Kepmen diatas. Padahal, menurut WHO, paparan suara terus-menerus di atas 85 dB selama lebih dari 8 jam dalam sehari dapat membahayakan. Semakin keras suaranya, maka rentang waktu yang bisa ditoleransi semakin sedikit. Menurut dr. Tri, sebagaimana dilansir Kompas, 135 dB hanya mampu didengarkan selama satu sampai dua menit saja.

Kebisingan adalah ancaman yang tidak terlihat, dan bisa memberikan dampak buruk bagi kesehatan manusia. Dampak ini bisa terjadi secara instan, maupun dalam jangka waktu tertentu. Beberapa masalah kesehatan yang muncul akibat kebisingan adalah sakit kepala, insomnia, gangguan psikologis, turunnya tingkat konsentrasi, gangguan pendengaran, hingga stroke dan hipertensi yang kesemuanya mengantarkan pada penurunan kualitas hidup (Wokokero, 2020). Bahkan, polusi suara memiliki dampak yang kompleks dan tidak langsung terhadap aspek sosial. Sehingga dapat memengaruhi perilaku sehari-hari, interaksi sosial, dan suasana hati. Ketidaknyamanan yang ditimbulkan sering kali menjadi respons umum yang pada akhirnya dapat memicu gangguan kesehatan terkait stres (Karki dkk., 2024).

Kembali pada keterangan ulama yang telah disebutkan sebelumnya, apabila al-jahru dalam salat saja bisa menjadi haram ketika ada orang di sekitarnya yang terganggu, lalu bagaimana dengan sound horeg ini?

Jika dikembalikan pada kaidah fikih, maka faktor-faktor yang “mengganggu” ini harus dihilangkan berdasarkan kaidah al-ḍarar yuzāl (setiap kemudharatan harus dihilangkan). Cara menghilangkannya, (mungkin) dengan mengadakan kegiatan ini dengan radius yang cukup jauh dari pemukiman warga. Sehingga polusi suara dan getaran yang dihasilkan tidak sampai pada masyarakat umum. Atau, turunkan saja tingkat kebisingan yang dihasilkan dari sound system ini mengacu pada nilai yang telah ditetapkan oleh Kepmen dengan menyesuaikan lingkungannya.

Jika gangguannya masih ada dan tidak berhasil dieliminasi, maka potensi hukumnya ya antara makruh atau haram. Apalagi jika dampaknya merusak secara langsung, seperti perusakan properti pribadi dan fasilitas umum yang sempat viral itu. Wong yang dibahas disini “hanya” seputar suara dan potensi gangguan yang diakibatkannya. Belum lagi mekanisme pelaksanaannya, konten acaranya, dan lainnya. Sehingga, aktifitas lainnya yang menggunakan suara seperti penggunaan sound system Masjid dan acara-acara salawatan misalnya, jika dilakukan secara serampangan dan ugal-ugalan, ya perlu dihukumi seperti ini juga. Suaranya lho ya, bukan salawatnya.

Allāhu a’lam bi al-ṣawāb

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts