Tengah siang ini, selepas ngopi di sebuah warkop, saya mampir ke warung soto untuk menunaikan sarapan yang terlambat beberapa jam. Sampai disana, tanpa fafifu saya langung memesan soto sapi dan es jeruk. Beruntungnya, di tempat duduk tempat saya menunggu hidangan utama untuk disajikan, terdapat mangkuk berisi empat tempe garit. Setelah saya lihat-lihat sekitar, tidak ada lagi mangkuk sejenis di meja lainnya. Saya datangi kasirnya dan bertanya, “apakah tempe garit yang baru ada?” Tentu saja dengan harapan mendapatkan versi yang lebih hangat dari yang sudah ada di meja saya. Sayangnya penjaga kasir menjawab, “tempe yang ada di meja sampean itu tempe terakhir kita hari ini mas.”
Mak deg! Jiwa kompetitif saya yang ndak seberapa ini terpacu untuk mengamankan sebagian dari empat tempe terakhir itu. Karena saat itu bertepatan dengan jam makan siang dan hampir semua meja telah diisi manusia, saya tidak mau didahului orang lain. Dalam waktu sesingkat itu, saya sudah membayangkan kekalahan “duel” saya untuk mengamankan tempe itu. Kata-kata “Tempenya saya bawa ya mas,” terngiang di kepala saya untuk sesaat sambil berimajinasi seseorang datang dan langsung membawa pergi mangkuk itu dengan cepat. Untungnya, itu hanya terjadi di pikiran saya. Dengan cepat, saya amankan dua buah tempe garit dengan mengeluarkannya dari mangkuknya. Tempe itu saya letakkan di atas tisu, dan hal tersebut bukanlah masalah bagi saya.
Setelah soto sapi datang dan kemudian disusul dengan es jeruknya, tidak ada seorangpun yang menghampiri meja saya untuk mengambil mangkuk itu. Bahkan hingga saya tuntas melahap soto panas itu, sepertinya tidak ada orang yang kepikiran bahwa di warung ini ada tempe garit yang enak. Jangan-jangan, mereka memang sering ke warung ini dan biasanya jam segini tempe-tempe itu sudah habis? Entahlah. Kekhawatiran saya perihal tempe itu nyatanya tidak pernah terjadi. Tapi, tak ada yang salah dengan sikap antisipatif kan?
Ketika telah tuntas hajat untuk mengisi perut ini, saya memperhatikan sebagian besar meja lain juga telah selesai. “Saatnya membayar di kasir,” pikir saya. Kemudian ada seseorang yang entah datangnya dari mana, tiba-tiba membayar. Saya yang duduk di meja depan kasir, menunggu dengan santai tanpa beranjak. Saya pun menunggu sambil scrolling–scrolling Instagram, dan ketika saya menengok kasir, orang tadi sudah tidak ada disana. “Saatnya membayar di kasir,” pikir saya sekali lagi. Bersamaan dengan saya berdiri, ada tiga orang yang berdiri. Dua orang dari depan kasir, saya dan seorang Ibu sepuh yang tadi makan bersama laki-laki yang (mungkin) merupakan suaminya. Sedangkan dari pojok jauh, ada seorang bapak-bapak berusia sekitar 50-an tahun.
Perlombaan untuk menentukan siapa yang lebih dahulu sampai di depan kasir dimulai. Sialnya, karena harus mengelilingi meja dan sok-sok an merapikan kursi, saya tidak bisa menjadi juaranya. Toh bukan masalah, saya finish kedua di belakang Ibu itu. Saya dan Ibu itu pun berbaris, seperti umumnya orang yang mengantri. Selang beberapa saat, sang juara ketiga hadir dan berdiri di sebelah saya. Yak betul! Tidak berbaris seperti umumnya orang yang sedang berada dalam antrian! Disini saya mulai mencium gelagat mencurigakan, “Bapak ini sepertinya mau mendahuluiku,” kata saya dalam hati. Benar saja, setelah Ibu itu selesai membayar, si Bapak ini langsung nyerocos ke kasir bahwa dia telah memesan ini dan itu. Saya hanya diam dan mengangguk-angguk saja sendiri sambil berusaha berpikir positif, mungkin saja si Bapak ini sedang kebelet, buru-buru, atau bisa jadi dia tidak paham konsep mengantri. Tapi sudahlah, lagipula saya tidak sedang terburu-buru.
Sejauh ini, saya hampir tidak pernah mengeluhkan antrian ketika telah menggunakan suatu jasa tertentu. Apalagi setelah makan di warung, untuk bayar ya mau ndak mau (biasanya) harus mengantri. Lebih mudah bagi saya untuk memaklumi antrian yang kacau balau akibat membludaknya pembeli. Sehingga antrian itu tidak berlaku lagi dan membingungkan, baik bagi pembeli maupun penjual. Hal ini beberapa kali saya temui ketika mampir di beberapa warung makan “legendaris” di kampung kelahiran saya yang ndeso. Itu pun biasanya hanya terjadi dalam momen tertentu seperti mudik lebaran. Selebihnya, semua berjalan normal. Mungkin ada satu atau dua orang yang tidak paham konsep mengantri dan merusak keteraturan yang telah terjadi. Biasanya, saya lebih maklum, karena yaa wong ndeso.
Tapi jika kasusnya terjadi di perkotaan dan hanya melibatkan tiga orang yang mengantri, sedangkan dua orang yang datang lebih awal telah berbaris, sepertinya memang agak lain. Saya pikir semua orang di perkotaan sudah paham betul dengan konsep mengantri, namun sepertinya tetap ada satu atau dua orang yang menolak konsep itu laiknya wong ndeso tadi. Meskipun tidak sampai dendam kesumat, tapi kejadian itu sempat membuat saya kesal dalam waktu yang singkat. Pengalaman hari ini memberikan pelajaran penting bagi saya: jangan sekali-kali menerobos antrian orang lain. Bisa jadi orang yang diterobos antriannya sedang dalam kondisi lelah, terburu-buru, atau mungkin emosinya sedang kurang stabil. Saya tidak akan pernah tahu keadaan-keadaan itu kecuali jika sudah memastikannya. Bagaimanapun, mengantri adalah sebuah cara untuk menghargai waktu dan hak orang lain. Jika memang harus menerobos antrian karena ada keperluan mendesak, bisa kok menyampaikannya dengan sopan kepada orang yang “merasa dirugikan” atas hal itu. Saya rasa, masalah seperti ini bisa diselesaikan dengan cara yang baik. Bukankah untuk menjadi orang yang lebih baik kita harus menempuh cara-cara yang baik pula?

Tinggalkan komentar