Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Apa-Apa Kok Jadi Kelas

Itulah komentar sinis saya yang sering tebersit dalam hati ketika melihat kelas-kelas online berseliweran di media sosial. Perasaan kesal ini sudah terasa lumayan lama, semenjak maraknya e-course yang bergerak di bidang desain antarmuka dan pengalaman pengguna (UI/UX) sebelum pandemi lalu. Kekesalan ini kebanyakan disebabkan oleh cara jualan mereka, yang menurut saya terlalu meromantisasi pekerjaan ini sebagai pekerjaan masa depan, karir cemerlang, dan gaji dengan nomor seri yang tidak berbilang.

Lalu bagaimana dengan kontennya? Saya beberapa kali mencoba untuk ikut e-course, mulai yang gratis, murah, sampai lumayan mahal, baik buatan teman-teman dalam negeri maupun mancanegara. Sayangnya, hanya sebagian kecil dari kelas-kelas itu yang menyediakan materinya dengan baik. Sebagian besar lainnya diisi dengan materi-materi teknis, yang lebih seringnya lekang oleh waktu, alias cepat kadaluarsa.

Sample yang saya jadikan acuan tentu saja tidak banyak. Wong saya tidak membeli lebih dari sepuluh kelas online sampai hari ini. Hanya saja, pattern jualan mayoritas kelas-kelas ini mirip, kalau tidak mau dibilang sama.

Nah, kenapa kelas-kelas seperti itu tampak laku keras? Tentu saja karena ada kesamaan ekspektasi. Sebagai komoditas, kelas-kelas ini mampu menawarkan range “solusi” terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh audiensnya. Ada yang membeli kelas ini karena pure ingin belajar terhadap hal baru. Sebagian lainnya, mungkin punya keinginan untuk step up secara karir dan penghasilan. Ekspektasi seperti itu, sebenarnya ya normal-normal saja sebagai manusia.

 Jika dilihat dari sisi-sisi ini, maka tidak ada bedanya antara kelas berbayar dengan yang gratis. Baik kelas berbayar maupun gratisan, sama-sama memberikan harapan akan sebuah pencapaian di masa depan. Hanya saja, jika ditilik dari bagaimana kelas-kelas ini dipasarkan, maka kelas gratisan cenderung tidak menawarkan iming-iming penghasilan yang bombastis.

Saya sangat sadar, calon-calon customer kelas ini perlu merasa yakin bahwa mereka tidak mengambil kelas yang salah. Secara otomatis, mereka memerlukan semacam checklist untuk memastikan level trustednya kelas tersebut. Sayangnya, tidak banyak alternatif checklist yang bisa dipahami oleh dua belah pihak (penjual dan pembeli). Opsinya mungkin seputar materi kelas, proses pembelajaran, fasilitas penyaluran kerja, atau siapa figur pembimbing kelas itu.

Kita bisa coba mengukur, kira-kira berapa persen dari total customer yang memasukkan hal-hal tersebut dalam checklistnya? Memangnya orang yang belum pernah belajar tentang (misalnya) desain antarmuka, akan tahu kualitas materinya? Belum tentu juga kan. Celah seperti inilah yang kemudian memunculkan salah satu checklist yang abnormal, uang. Sialnya, kedua belah pihak sama-sama tahu persis jika nominal seribu rupiah adalah seribu rupiah. Tidak ada penghalang apapun disini. Oleh karena itu, banyak calon customer akhirnya mudah terpikat dengan bukti-bukti yang (terkadang) nyata berupa tangkapan layar penghasilan dan sebagainya.

Selama tidak bertujuan untuk melakukan penipuan, saya rasa tidak ada yang salah dengan ini. Toh, membuat kelas juga butuh effort yang tidak ringan. Saya dan tim di studio pernah membuka kelas desain intensif, offline dan gratis. Tujuannya sederhana, kami hanya ingin membagikan pengalaman belajar yang sebelumnya juga kami dapatkan secara gratis. Sayangnya, gratisan sepertinya membuat sebagian peserta tidak berkomitmen untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Bahkan, ada yang mengundurkan diri persis sebelum kelas dimulai. Begitu pula dengan kelas-kelas online, sepertinya sama saja.

Sebagian dari kita mungkin merasa keberadaan kelas-kelas ini akan mengancam ekosistem industri yang telah berjalan. Sebagian mungkin melihatnya sebagai sebuah peluang bisnis yang bisa diusahakan. Sebagian yang lain mungkin melihat fenomena ini hanyalah sebuah tren yang akan segera berlalu. Tidak ada yang benar dan salah. Dunia tidak se-hitam putih itu fren. Puncaknya, kita ndak akan pernah bisa mengontrol segala sesuatu yang terjadi di dunia maya, iya to?

Omongan saya disini juga tidak ngalor atau ngidul. Pada dasarnya, saya punya valuevalue yang saya junjung tinggi, dan sebaiknya kita memang punya hal tersebut. Ketika ada fenomena yang berbenturan dengan nilaiitu, saya akan berusaha mengkompromikannya dulu. Kok ujungnya ndak temu, ya sudah ndak usah ikut-ikut. Tidak semua hal mesti berjalan sesuai keinginan kita. Jika memang tidak cocok, nggrundel seperti yang saya lakukan diatas juga tidak apa-apa kok. Sesekali misuh juga tidak masalah. Akhirnya, salah satu skill penting untuk bertahan hidup di dunia ini adalah bersepakat untuk tidak sepakat.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts