Hari ini istri saya merayakan ulang tahunnya yang ke-30. “Welcome to the thirty club!” Mungkin itulah kata-kata yang akan diucapkan oleh orang-orang yang lebih dulu memasuki usia 30-an. Sayangnya, saya lebih muda sekitar dua bulan dari istri. Sehingga, kalimat itu kurang cocok saya jadikan sebagai kata ucapan ulang tahun kali ini kepadanya. Apa perlu saya balik kalimat itu menjadi, “selamat meninggalkan klub 20an!” Ah, ndak keren juga.
Istri saya lebih suka hal-hal yang mambu romantis. Sebaliknya, saya justru kurang bisa memahami kenapa manusia perlu bersikap romantis. Tentu saja, sangat berat bagi saya untuk memenuhi ekspektasinya sebagai pria romantis. Karena memang terlalu berat, akhirnya saya memilih untuk tidak berusaha menjadi romantis sama sekali. Terkadang, menyerah sebelum berusaha bisa menjadi opsi yang bagus. Ini namanya tahu diri.
Meski begitu, istri saya sepertinya sangat berusaha membuat saya menjadi lelaki romantis. Misalnya, ketika menginginkan sebuah hadiah, ia memilih untuk checkout hadiah itu, kemudian saya yang diminta untuk membayarnya. Konsepnya memang harus begitu. Tidak bisa dengan cara dibayar dulu, baru saya ganti kemudian. Kesannya, seolah-olah hadiah itu berasal dari saya.
Bisa jadi, itu satu-satunya cara bagi istri saya untuk membuat saya memberikan hadiah kepadanya. Kalau nuruti inisiatif saya, sepertinya hanya akan berakhir nggrundel punya suami yang ndak bisa diharapkan seperti saya ini. Dengan melibatkan saya untuk mbayar tagihan keranjang belanjanya, setidaknya secara formal saya sudah “membelikannya” hadiah. Toh saya juga ndak sering-sering banget “membelikan” istri saya hadiah.
Kadang saya juga punya keinginan untuk memberinya hadiah tanpa perlu dikomando. Tapi hal seperti itu memang bukan sesuatu yang mudah untuk saya lakukan. Sementara ini, usaha terbaik yang bisa saya lakukan adalah sesekali mentraktirnya makan. Perihal itu, saya melakukannya dengan penuh kesadaran tanpa ada unsur paksaan sama sekali. Bahasa kerennya, tulus.
Perkara romantis-romantisan ini sepertinya kami sudah “selesai.” Saya rasa, kami sudah saling memahami bahwa meletakkan ekspektasi yang terlalu tinggi hanya akan membuat kami saling mengecewakan. Bukan hanya ini, banyak hal lain dalam hubungan kami yang berujung pada tahu sama tahu saja dan saling memaklumi.
Sayangnya, terbiasa saling memaklumi terkadang membuat hidup kami “begini-begini” saja. Kebetulan, kami berdua bukan tipe perencana yang baik. Kami lebih banyak ngintir dalam menjalani berbagai segmen kehidupan. Jangankan hidup yang panjang, untuk sekedar liburan yang singkat saja kami sering mak bedunduk.
Kami merasa perlu lebih serius untuk merencanakan hidup kedepan setelah memasuki usia kepala tiga. Kami punya rencana-rencana yang perlu dikerjakan dengan sungguh-sungguh pada tahun ini. Jika sebelumnya kami hanya punya satu formula, ngintir atau let it flow. Kali ini, untuk pertama kalinya, kami membuat roadmap tidak resmi untuk menjalani tahun pembukaan usia kepala tiga kami berdua.
Meski begitu kami tetap tidak berencana menjadi keluarga yang serius-serius amat. Kami hanya membuat rencana dan mencoba menjalaninya semaksimal mungkin. Hari-hari kami sepertinya tidak akan berubah drastis. Kami akan menjadi diri kami sebagaimana sebelumnya, istri saya ya tetap akan begitu, saya ya akan tetap begini-begini saja.
Sayangnya, usia tidak akan pernah berkurang. Usia hanya memberikan sisa yang tidak akan pernah kita ketahui berapa jumlahnya. Kami hanya berharap semoga usia 30-an kami menjadikan kami lebih dewasa, lebih mencintai satu sama lain, dan membuat kami lebih peka terhadap pelajaran-pelajaran yang diberikan kehidupan. Kami pasrahkan semuanya pada Tuhan, mā syā’a Allahu kāna wa mā lam yasya’ lam yakun. Apa yang dikehendaki-Nya pasti akan terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, pasti tidak akan terjadi.

Tinggalkan komentar