Jenis makanan yang saya makan sehari-hari cenderung membosankan. Biasanya saya hanya makan soto, bakso, mie ayam, dan tentu saja ayam goreng dengan berbagai variasinya. Sekali-kali saya juga berkunjung ke angkringan atau warung ramesan.
Meskipun begitu, saya termasuk orang yang pede untuk coba-coba makanan yang belum pernah dimakan atau warung yang belum pernah dikunjungi. Hal ini berbanding terbalik dengan istri saya. Ia lebih suka makanan yang “aman” dan tidak terlalu mau untuk ambil resiko.
Ketika mencoba makanan atau warung baru, prinsip saya sederhana. Jika makanan enak, pelayanan baik, dan tempatnya nyaman, saya biasanya akan mengunjunginya lagi. Akan tetapi, jika salah satu dari tiga kriteria itu tidak terpenuhi, sepertinya agak sulit untuk mbaleni. Apalagi kalau rasa makanannya kureng.
Standar rasa makanan bagi saya sebenarnya tidak neko-neko. Umumnya, saya menilai makanan sebatas enak atau enak banget. Jika ada makanan yang saya tidak sampai habis memakannya, biasanya memang ada yang salah dengan makanan itu.
Jika ingin tahu sebatas mana toleransi saya terhadap rasa makanan, sepertinya bisa disimak cerita ini. Suatu ketika saya dan beberapa teman memesan nasi goreng dan mi goreng melalui aplikasi online. Biasanya warung ini menyajikan makanan yang enak menurut teman-teman. Sayangnya, hari itu semua makanan yang kami pesan asinnya luar biasa. Diantara kami semua yang memakannya, hanya saya yang menghabiskan makanan itu secara sempurna. Asin betul memang, “tapi ya bisa lah,” ujar saya. Padahal, ada dua orang diantara kami yang tidak mampu melahapnya lebih dari lima suapan.
Karena merasa tahu diri terhadap toleransi rasa yang agak tidak masuk akal, saya kurang pede mereferensikan makanan kepada orang lain. Apalagi untuk warung makan atau makanan yang jelas-jelas saya belum pernah saya coba. Maka dari itu, saya lebih sering mencoba untuk mengeksplor makanan ketika harus makan sendirian.
Akan tetapi, akhir-akhir ini istri saya seperti memberi ruang pada saya untuk mencoba makanan-makanan baru. Ndak masalah lagi baginya kalau saya ingin mencoba makan di warung yang belum pernah saya kunjungi. Contohnya, siang tadi saya mampir warung sate kambing di tengah kota. Padahal sekitaran rumah kami tergolong pusat peredaran warung-warung sate kambing. Di warung itu, saya hanya memesan makanan untuk diri sendiri. Satu porsi sate klathak, gulai daging, dan nasi. Istri saya hanya icip-icip saja, dan katanya “enak.”
Endingnya, aktivitas makan bagi saya hanyalah sebuah cara untuk bertahan hidup. Tapi, membahas makanan di tongkrongan rasanya juga sangat menyenangkan. Setidaknya, lewat makanan kita bisa berbagi pengalaman tentang rasa, pelayanan, dan lainnya. Menurut saya, ini salah satu cara paling efektif untuk mencari pengalaman baru untuk dirasakan (dialami), dan menceritakannya kepada orang lain di waktu yang berbeda.
Ngomong-ngomong, bikin dokumentasi instagram tentang makanan sepertinya menarik juga ya? Hehehe…

Tinggalkan komentar