Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Luka

Jangan pernah tanyakan kecintaan saya terhadap sepak bola. Saya sudah mengikuti sepak bola di televisi bahkan sebelum saya mahir berhitung ala porogapit. Alessandro Del Piero dan Juventus menjadi trigger yang benar-benar bisa menarik saya jauh ke dalam dunia itu.

Saya juga ingat ketika saya menangis karena Andriy Shevchenko mencetak penalti terakhir untuk AC Milan di Final Champions League 2003. Bola yang sedikit mengambang, mengarah ke sisi kanan bawah gawang Gianluigi Buffon itu membuat saya patah hati karena sepak bola untuk pertama kalinya.

Kejadian yang sama terjadi dua belas tahun kemudian. Juventus kalah lagi di final Liga Champions Eropa oleh Barcelona. Dua tahun berselang, Juventus kembali keok di laga final oleh Real Madrid. Truly heartbroken.

Kekalahan dalam pertandingan memang menyakitkan, tidak jarang membuat hati bergetar ndak karuan hingga air mata mrembes. Tapi, itu tidak seberapa dibandingkan kepergian sosok idola yang membuat saya jatuh hati pada sepak bola.

Tahun 2012, saya menangis sedih karena Alessandro Del Piero ternyata tidak pensiun di Juventus. Ia pindah menuju sebuah klub sepak bola di Australia. Bagaimana mungkin klub kesayangan saya memperlakukan legendanya seperti ini? Saya tidak benar-benar paham dengan ini.

Del Piero adalah yang pertama, berikutnya ada Buffon, Marchisio, Chiellini, Dybala, dan Mario Mandzukic yang grintanya benar-benar bisa saya rasakan di lapangan hijau. Diantara semua nama yang saya sebutkan, ternyata tidak ada yang lebih menyakitkan daripada kepergian Del Piero. Sehingga, saya rasa tidak akan ada lagi pemain sepak bola atau olahragawan lain yang akan memberikan pengaruh sedalam ini dalam hidup saya.

Ternyata saya salah. Kemarin saya merasakan sakit hati yang setara dengan sakitnya ditinggal Del Piero. Bukan karena sepak bola, kali ini karena basket. Sejak pindah ke rumah sendiri, saya rutin menonton basket. Bocah yang dulu saya ikuti saat masih membela Real Madrid kini sangat diperhitungkan dalam perhelatan NBA. Saya pun bisa mencintai dan menonton hampir seluruh game Dallas Mavericks karenanya. Sepertinya, ia memang memiliki magis tertentu. Tak heran orang-orang menyebutnya dengan Luka “Magic” Doncic.

Kemarin, Doncic “dipaksa” keluar dari Mavericks untuk ditukarkan dengan Anthony Davis dari Lakers. Tak ada angin, mendung, dan gemuruh apapun. Trade ini terjadi secara tiba-tiba. Bahkan, banyak olahragawan (baik basket dan lainnya) terkejut dengan langkah yang diinisiasi oleh GM Mavs, Nico Harrison ini.

Saya membayangkan bahwa Doncic adalah seorang yang akan menjadi Mavericks selamanya. Ia adalah penerus Dirk Nowitzki, dan suatu saat akan mendapatkan gelar bersama Mavericks. Tapi nyatanya hal itu tidak akan terjadi sekarang. Luka akan bermain untuk Lakers, yang saya rasa timnya belum dipersiapkan untuk memenangkan kejuaraan. Berbanding terbalik dengan Mavericks yang sudah lebih siap kali ini.

Reaksi spontan saya ketika mengetahui trade itu terjadi adalah, “saya akan mendukung Lakers.” Tapi, saya tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. Dalam kasus ini, Luka-lah yang membuat saya mencintai Mavericks. Sama halnya dengan sepak bola, Alex-lah yang membuat saya mencintai Juventus. Toh nyatanya sampai sekarang saya masih mencintai Juventus.

Akan tetapi, inilah harinya. Hari yang sama dengan tiga belas tahun lalu. Saya ingat betapa sedihnya ditinggal Alex. Kini, saya merasakan perasaan yang sama. Luka, karena Luka.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts