Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Ketidaktahuan Adalah Priviledge

Sebenarnya, ketidaktahuan itu tidak selalu buruk. Selama ini kita diajarkan bahwa tahu itu lebih baik daripada tidak tahu. Kalau ada yang mengaku tidak tahu sesuatu, langsung dianggap kurang pintar atau malas. Padahal, ada banyak situasi dimana tidak mengetahui sesuatu justru lebih menguntungkan.

Coba bayangkan kalau kita bisa tahu kapan akan meninggal, atau bisa membaca pikiran semua orang. Terdengar menarik seperti di film-film superhero kan? Tapi dalam kenyataannya, hal itu mungkin akan membuat kita stres. Bukan hanya stres, tapi sangat sangat sangat stres. Wong hidup kita sekarang saja sudah cukup rumit, apalagi kalau kita tahu semua rahasia orang-orang di sekitar kita.

Bagian menariknya, entah disadari atau tidak, banyak keputusan terbaik dalam hidup justru diambil karena ketidaktahuan. Ketika seseorang pertama kali mencoba memulai bisnis, mereka mungkin tidak tahu betapa sulitnya mengelola keuangan, mencari klien, atau menghadapi kompetisi. Kalau mereka tahu semua tantangan itu sejak awal, mungkin mereka tidak akan pernah memulai. Ironisnya, ketidaktahuan itu ndilalah yang memberikan keberanian (atau kenekatan?) untuk mengambil langkah pertama.

Ketidaktahuan dalam Hubungan dengan Orang Lain

Pernahkah kita merasa lebih nyaman berteman dengan orang yang tidak tahu tentang masa lalu kita? Saya rasa kita semua pernah deh. Diakui atau tidak, ada sesuatu yang menyegarkan ketika bertemu dengan orang baru yang sama sekali tidak tahu tentang drama-drama yang pernah kita alami, atau kesalahan-kesalahan yang pernah kita buat. Seakan kita bisa memulai dengan state yang bersih, tanpa beban judgment atau ekspektasi yang gimana-gimana.

Sebaliknya, terlalu banyak tahu tentang orang lain juga tidak mesti baik. Ketika kita mendengar gossip atau informasi negatif tentang seseorang sebelum bertemu langsung, hal itu bisa menciptakan prasangka yang tidak adil. Kita mungkin sudah membentuk opini sebelum memberikan kesempatan kepada orang tersebut untuk menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.

Saya pernah mengalami hal ini ketika mendapat peringatan dari teman bahwa dosen tertentu sangat strict, killer, dan suka memberikan nilai rendah. Akibatnya, sepanjang semester saya sudah punya perasaan cemas, bahkan sebelum kelas dimulai. Ternyata, setelah mengikuti kelasnya, dosen tersebut cukup reasonable. Mungkin ini karena ekspektasi saya sudah kelewat rendah, atau mungkin juga informasi yang saya terima tidak sepenuhnya akurat. Nahasnya, informasi tersebut merusak pengalaman belajar saya selama beberapa pertemuan di awal semester.

Sekarang saya lebih memilih untuk tidak mengetahui (masa bodoh) reputasi seseorang sebelum bertemu langsung. Dengan begitu, saya bisa menilai mereka berdasarkan interaksi langsung, bukan berdasarkan cerita orang lain yang belum tentu objektif. Saya rasa, ketidaktahuan seperti ini cukup memberikan ruang untuk penilaian yang lebih fair, sekaligus “kesempatan kedua” bagi orang-orang yang mungkin sudah terlanjur mendapat label negatif.

Ketidaktahuan dan Pengambilan Keputusan

Dalam pengambilan keputusan besar, terlalu banyak informasi kadang justru akan sangat menghambat kita. Ada fenomena yang disebut analysis paralysis, dimana seseorang tidak bisa mengambil keputusan karena terlalu banyak data yang harus dipertimbangkan. Toh nyatanya memang beberapa keputusan terbaik dalam hidup justru diambil dengan informasi yang terbatas kan?

Ketika memilih jurusan kuliah, misalnya, seseorang yang tidak terlalu banyak research mungkin akan memilih berdasarkan passion atau minat. Sementara orang yang melakukan research lebih detail tentang prospek kerja, tingkat gaji, atau tingkat kompetisi, mungkin akan memilih jurusan yang lebih “aman” secara finansial, tapi belum tentu sesuai dengan minat mereka.

Fenomena menarik lainnya, banyak entrepreneur sukses mengakui bahwa mereka tidak akan memulai bisnis kalau tahu dari awal betapa sulitnya. Ketidaktahuan tentang semua obstacle yang akan dihadapi justru memberikan mereka dorongan dan keberanian untuk memulai. Mereka bisa fokus pada visi dan tujuan tanpa terbebani oleh semua kemungkinan kegagalan.

Tentu saja ini bukan berarti kita harus menghindari semua bentuk riset atau menjadi orang yang cuek total. Hal penting yang perlu diingat adalah membedakan antara informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan dan informasi yang hanya akan menimbulkan kekhawatiran tanpa memberikan solusi.

Masa-masa seperti sekarang ini, saat beragam informasi bahkan lebih mudah ditemukan ketimbang sampah-sampah plastik, mestinya ndak semuanya perlu dikonsumsi atau diingat. Kemampuan untuk memfilter informasi menjadi skill yang sangat penting bagi kita. Bukan hanya memfilter ding, men-delete informasi juga tidak kalah pentingnya. Intinya, antara learn dan un-learn sangat kita perlukan. Wong kadang-kadang kebutuhan kita bukan lebih banyak informasi, tapi “mau bergerak” dengan informasi yang sudah kita miliki.

Misalnya, ketika memilih warung untuk makan malam, membaca terlalu banyak review justru bisa membuat kita bingung. Awalnya excited untuk makan, eh malah jadi overthinking tentang kualitas makanan, harga, sampai pelayanannya. Akhirnya, pengalaman yang harusnya menyenangkan malah jadi full kecemasan.

Pengalaman serupa juga terjadi dalam dunia kerja. Terlalu banyak membaca artikel tentang “red flags” perusahaan tertentu malah bisa membuat kita paranoid dan melewatkan kesempatan yang sebenarnya bagus. Kebutuhan kita sebenarnya ya sebatas keseimbangan, antara being informed dan being brave enough to take action.

Mungkin ini terdengar agak kontradiktif saat di mana-mana kita dituntut untuk “smart” dan “well-informed” tentang segala hal. Tapi kenyataannya, ada kalanya kita merasa lebih tenang ketika ndak tahu terlalu banyak. Ndak tahu tentang drama di kantor, ndak tahu tentang masalah personal teman-teman, atau ndak tahu tentang semua berita buruk yang terjadi setiap hari. Yakin to, hidup rasanya pasti akan lebih ringan.

Sekali lagi, sikap ini bukan berarti kita harus menjadi orang yang apatis atau tidak peduli sama sekali. Hanya saja, ada baiknya kita lebih selektif dalam memilih informasi yang kita konsumsi. Wong nyatanya memang tidak semua pengetahuan membuat hidup kita lebih baik tho? Kadang-kadang, priviledge terbesar kita adalah kebebasan untuk tidak tahu. Biar apa? Paling tidak ya biar bisa fokus pada hal-hal yang benar-benar penting bagi kita.

Tabik,
Ibnu Mas’ud

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts