Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Seolah-Olah Benar

Tidak semua penjelasan yang terdengar masuk akal itu benar. Mungkin kita selama ini cenderung gampang percaya dengan berbagai informasi yang tersaji dengan rapi, dilengkapi data, grafik, dan dibumbui dengan istilah-istilah “keren.” Padahal, kerapian penyajian informasi (dalam bentuk apapun) tidak me-lazim-kan kebenaran isinya. Ndak jarang juga, semakin rapi dan meyakinkan suatu informasi, semakin keliru juga.

Tapi pernyataan terakhir itu juga tidak me-lazim-kan begitu. Contoh simpelnya mungkin seperti ramalan cuaca yang biasa kita lihat di TV, atau di gawai pintar kita. Disana, informasi dipresentasikan dengan sangat rapi: ada peta warna-warni, angka presentase, kecepatan angin, tekanan udara, dan lainnya. Sangat ilmiah dan (tampak) akurat.

Nyatanya, berapa kali informasi itu mengkhianati kita? Membuat kita merasa khawatir akan keberlangsungan aktivitas yang sudah kita rencanakan? dan lainnya. Intinya, kita memang cenderung lebih mudah tergiring untuk mempercayai informasi yang disampaikan dengan struktur rapi, detail, dan kompleks.

Otak manusia sepertinya memang dirancang untuk selalu mencari pola dan keteraturan. Ketika menemukan informasi yang terstruktur, dengan logika yang mengalir, dan detail yang saling mendukung, kita relatif merasa nyaman. Bentuk luar ini memang secara umum membuat kita “lupa” dan “tidak tertarik” untuk mempertanyakan dalamnya. Analoginya begini, ketika kita berkunjung ke rumah yang sangat bagus secara visual, kita akan jarang ngide untuk mempertanyakan struktur dan pondasinya. Penampilan memang terkadang membuat kita lengah.

Contoh lain tentang informasi semacam ini juga bisa kita lihat di dunia investasi. Analisisnya menampilkan grafik warna-warni, ada rumus-rumus rumitnya, dan dilengkapi istilah-istilah yang sangat meyakinkan. Bahkan sering juga ditunjukkan “ramalan” yang memprediksi kondisi pasar kedepan dengan sangat meyakinkan. Walaupun tidak jarang prediksi-prediksi itu meleset, jauh.

Mengapa kita mudah terjebak dengan situasi seperti ini? Mungkin karena kita tidak suka ketidakpastian. Informasi yang lengkap setidaknya bisa memberikan rasa aman, seolah dunia ini bisa dipahami sepenuhnya. Sepertinya kita memang lebih suka informasi atau penjelasan yang “selesai,” meskipun belum tentu benar, ketimbang menerima hal-hal yang tidak akan mudah kita pahami.

Ambil saja contoh tentang informasi kecelakaan pesawat. Kita lebih nyaman mendengar penjelasan yang lengkap dan tuntas: “Pesawat jatuh karena pilot error, cuaca buruk, plus masalah teknis pada mesin kiri.” Kabar seperti ini memberikan rasa lega, wong ada sebab-akibat yang jelas. Semuanya jadi “terasa” terpecahkan. Sebaliknya, kita lebih tidak suka mendengar: “Kecelakaan ini masih dalam penyelidikan, ada banyak faktor yang belum jelas, dan mungkin tidak akan pernah kita ketahui penyebab pastinya.” Nggantung kan?

Fenomena ini muncul di mana-mana, bahkan sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Mulai iklan produk kesehatan yang mengklaim “terbukti secara klinis” sampai teori konspirasi yang dipresentasikan dengan sangat detail dan meyakinkan itu. Semuanya memiliki pola yang sama, semakin rumit dan lengkap penjelasannya, semakin mudah membuat kita terkesan.

Kita bisa melihat bagaimana media massa atau portal berita memanfaatkan kecenderungan ini. Berita dikemas dengan data, menghadirkan pendapat “ahli,” disertai dengan analisis tajam. Hal-hal ini tentu saja akan menjadikannya terasa lebih kredibel. Tapi, sekali lagi, kredibilitas tampilan itu tidak serta merta linear dengan kebenaran isinya.

Maksud saya, kebenaran suatu berita tidak mengharuskan adanya penjelasan rumit dan ekstensif, meskipun ya kadang-kadang perlu juga. Sesuatu yang benar, mau dipresentasikan seperti apapun ya tetap benar. Lagipula, ada faktor lain yang bisa membuat informasi sederhana justru lebih bisa dipercaya: kredibilitas sumber. Berita transfer pemain bola yang hanya memuat foto dan kata-kata “Here We Go” dari Fabrizio Romano berpotensi sangat benar. Begitu pula Shams Charania dengan “Breaking News” untuk kabar NBA-nya.

Out of Topic, saya mengenal hukum akal yang tiga ketika belajar ilmu tauhid di pesantren dahulu. Tiga hukum akal ini adalah wajib, mumkin, dan mustahil. Wajib adalah sesuatu yang pasti ada dan tidak mungkin tidak ada, seperti eksistensi Tuhan. Mustahil adalah sesuatu yang mustahi ada sama sekali, misalnya sekutu bagi Tuhan. Sedangkan yang mumkin ini adalah hal yang bisa jadi ada atau tidak ada, intinya sesuatu yang “mungkin” saja terjadi.

Nah, hampir semua hal yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari ini termasuk kategori mumkin. Ramalan cuaca mungkin benar, mungkin salah. Prediksi pasar saham ya mungkin tepat, mungkin juga endak. Bahkan, diagnosis dokter saja yang “kemungkinan” akurasinya tinggi, tetap ada potensi tidak tepatnya. Masalahnya, kita menganggap penjelasan yang rapi dan meyakinkan itu seolah-olah sebuah “kepastian” dan masuk wilayah wajib. Padahal, kita hidup di wilayah mumkin saja.

Dengan ini, kita bisa memahami bahwa hampir semua informasi di dunia ini berada dalam ranah kemungkinan, yang bisa benar ataupun salah. Sehingga, sikap kita terhadap penjelasan yang tendengar meyakinkan seharusnya bisa dikondisikan. Artinya, ketika kita mendengar suatu informasi, tidak perlu langsung menolak, pun tidak harus serta merta mengaminkan.

Dengan begitu, kita akan lebih bisa menerima informasi tanpa harus memperlakukannya sebagai kebenaran atau kesalahan mutlak. Wong pada dasarnya, kita memang hidup di dunia yang kadung ndak jelas. Selama ini ya baik-baik saja to?

Sudahlah, mari kita sudahi yapping hari ini.

Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts