Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Pedagang Tanpa Barang

Minggu lalu, berita heboh muncul dari Bekasi. Ada seorang perempuan yang dituding menjual “tiket masuk surga” seharga satu juta rupiah. Pengajian yang sudah berjalan selama delapan tahun, dengan tujuh puluh jemaah setia dari berbagai daerah, akhirnya dibubarkan oleh warga. MUI yang ikut turun tangan kemudian menyebut bahwa ajarannya tidak menyimpang. Lalu, berita itu menyebar seperti sinetron FTV yang heboh judulnya, ndak jelas isinya, dan gitu-gitu saja ending-nya.

Tapi mari kita abaikan sebentar soal benar atau tidaknya “ajaran” itu. Ada yang lebih penting. Kenapa kok sampai ada pasar untuk hal semacam itu? Kenapa ada orang yang merasa perlu membeli jaminan surga?

Kita memang sedang hidup di zamannya demokrasi dakwah. Hari ini, siapa pun bisa jadi ustadz, buka pengajian, lalu menafsirkan ayat-ayat-Nya. Tidak ada tembok otoritas yang tebal seperti dulu. Lalu bermunculanlah pedagang-pedagang agama, yang mempromosikan produk dagangannya dengan kemasan yang ciamik. Lalu, tidak sedikit dari kita yang mulai tertarik.

Sebenarnya, ini wajar saja. Secara naluriah, manusia memang butuh kepastian. Jangankan kok setelah mati, wong ketika masih hidup saja kita tidak mantap jika tidak ada kepastian. Buktinya? Berbagai industri duniawi lahir untuk menjawab masalah ini seperti asuransi, investasi, dana pensiun, sampai konsultan keuangan. Semua menjual hal yang sama: rasa takut akan masa depan. Takut miskin, takut sakit, takut tua renta sendirian. Masalah ini memang serius, makanya industrinya tidak main-main. Besar semua.

Apa yang terjadi di Bekasi itu hanya versi “akhirat” dari pola yang sama. Masa depan menakutkan. Neraka, tentu lebih menyeramkan dari bangkrut. Azab kubur, pasti lebih dahsyat daripada hanya gagal investasi. Nah, kalau untuk masa depan dunia saja orang rela bayar premi, kenapa untuk akhirat tidak? Disinilah tiket surga mulai berubah menjadi polis. Bedanya, agennya bukan pegawai berdasi dengan kemeja dan rambut klimis, tapi sosok-sosok “ahli agama” yang kadang berpenampilan biasa-biasa saja.

Jika dipikir-pikir lagi, tujuh puluh orang itu ndak main-main, lumayan lho ini. Mereka datang rutin, selama delapan tahun lamanya. Ada keyakinan, ada kesetiaan. Tentunya, mereka tidak asal percaya. Mereka seperti membutuhkan jaminan tambahan di luar ibadah yang sudah mereka jalani sehari-hari. Itu artinya, ada krisis percaya diri yang akut.

Orang sudah salat, puasa, bersedekah, tapi tetap merasa kurang. Mereka mungkin ragu, apakah ibadah-ibadah ini cukup? Atau jangan-jangan masih ada “formulir lain” yang perlu dilengkapi? Keraguan itu, lagi-lagi ya manusiawi. Kita pun sering dihantui pertanyaan serupa. Sayangnya, keraguan semacam ini adalah lahan subur bagi agen-agen asuransi akhirat yang menawarkan jaminan dan kepastian instan.

Disini, agama mulai tergelincir mengikuti logika pasar. Doa ada tarifnya, berkah bisa dibanderol, surga diperlakukan seperti properti dengan harga pasarnya. Premi bisa dibayar tunai, cicilan, atau sedekah berjamaah. Ya pantasnya bagaimana lah.

Ironisnya, mereka yang paling “takut” pada Tuhan justru yang paling gampang membeli. Mereka rela bayar apa saja demi kepastian. Padahal Tuhan juga tidak pernah menaruh ampunan-Nya di brosur-brosur semacam asuransi itu.

Kalau kita mau jujur, semua orang punya kerentanan yang sama. Dunia ini sudah kadung tidak pasti. Umumnya, kita gampang sekali tergoda oleh tawaran jalan pintas. Terlebih jika dibungkus dalil dan argumen yang terdengar masuk akal.

Maka yang harus diwaspadai bukan hanya penjual jaminan surga itu. Pola pikir konsumennya juga patut diperhatikan. Wong kita semua ini sedang diposisikan sebagai calon nasabah di pasar ketakutan ini. Persis seperti agen asuransi dunia menawarkan polis kesehatan dan sebagainya, agen-agen akhirat itu juga menawarkan polis keselamatan, lengkap dengan tabel premi yang harus dibayarnya.

Sudahlah, agama itu gampang. Agama tidak pernah mempersulit penganutnya. Zakat yang jelas-jelas wajib saja perlu beberapa ceklis kriteria untuk benar-benar mewajibkannya. Salat saja kalau tidak bisa berdiri boleh dengan duduk, kalau ndak bisa duduk, boleh dengan tiduran. Pola agama itu: kalau sedang berat, ada cara mudahnya. Kalau memang mampu, ya harus begitu. Iżā ḍaqa ittasa‘a, wa iżā ittasa‘a ḍaqa.

‘Alā kulli ḥal, kasus Bekasi itu memang tampak aneh, tapi ia tidak benar-benar berdiri sendiri. Pola yang sama juga sudah lama hidup dalam keseharian kita. Manusia selalu mencari cara untuk mengamankan masa depan dengan membeli rasa aman.

Di dunia, industri “jual rasa takut” tumbuh besar dan kita anggap wajar. Orang menabung, ikut asuransi, dan berinvestasi demi ketenangan batin di masa depan. Semua itu terasa rasional. Tapi ketika pola serupa muncul dalam bungkus akhirat, kita beramai-ramai menertawakannya, menyebutnya jahat, pembodohan, atau sesat. Ironinya, jangan-jangan masalah sebenarnya bukan pada agen asuransi akhirat itu, melainkan pada iman kita sendiri yang masih setengah hati percaya akan kehidupan setelah mati? Minimal, mati itu pasti terjadi di masa depan tho?

Embuh lah…

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts