Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Katanya, Gudiken Adalah Tanda Ilmu Meresap

Saya baru saja mengamati diskusi di media sosial tentang “gudik” santri. Katanya ada doktrin absurd di lingkungan pesantren: kalau kena gudik, tandanya ilmu sudah masuk.

Kemudian narasi yang dianggap doktrin ini diseret pada relasi kuasa guru-murid. Muridnya protes bahwa penyakit ini sebab lingkungan yang kotor. Lalu gurunya menjawab dengan, “omongan guru kok nggak didengar!” Maksudnya, tentu kembali pada doktrin itu.

Keluhan ini mendapat banyak respon dari akun-akun lain. Ternyata banyak yang mengaminiya. Entahlah, sudut pandang orang dalam atau luar yang digunakannya.

Anekdot “ilmu meresap”, “sah menjadi santri”, dan “sudah betah mondok” ketika terserang gudik memang sudah sangat umum di pesantren. Umumnya di pesantren tradisional. Tapi, sependek pengetahuan saya, ini ya sebatas anekdot. Guyonan. Ngelem.

Saya pernah nyantri di pesantren modern dan tradisional. Di dua tempat ini, anekdot itu pernah saya dengar. Secara personal, saya mendapat siraman anekdot itu ketika hidup di pesantren tradisional. Saya terkena gudik, yang kemudian saya tahu namanya secara medis adalah scabies. Akhirnya, saya “diresmikan” menjadi santri.

Sejauh ini, saya baru menunjukkan kapasitas dan kelayakan saya untuk membicarakan masalah ini. Saya pernah mondok, saya pernah gudiken, dan secara kebetulan, saya pernah mengurus pesantren —jadi kepala pondok. Saya hanya belum pernah jadi dokter saja, hehe.

Oke, anekdot tentang gudik ini bisa dianggap bagian dari folklore pesantren. Kita tidak bisa menutup mata begitu saja dengan hal ini. Setiap komunitas punya bahan lelucon, bahkan mungkin punya simbol “ujian awal” yang harus dilalui. Sama seperti mahasiswa baru yang digoda dengan cerita horor ospek dan sebagainya. Jadi, dalam kadar tertentu, wajar saja kalau cerita gudik ini dijadikan semacam guyonan kolektif. Tidak lebih dari itu.

Masalah akan muncul ketika anekdot ini tidak diperlakukan lagi sebagai anekdot. Artinya, ia berubah fungsi dari guyonan menjadi semacam dalih. Apalagi jika sampai dipakai untuk menutup kritik terhadap lingkungan yang tidak sehat. Di titik inilah bahaya itu nyata. Santri yang sedang gatal ini benar-benar sedang sakit lho. Kalau anekdot itu dipakai untuk menghentikan upaya perbaikan, maka ia bukan lagi sekadar guyonan, tapi sudah menjadi alat pembenaran.

Saya kira penting membedakan antara humor internal dengan sikap abai. Humor bisa tetap ada, boleh-boleh saja, wong itu bagian dari “kearifan lokal” pesantren. Tapi humor tidak bisa dijadikan pengganti kerja nyata untuk kebersihan. Tidak adil juga kalau santri yang mengeluhkan sakit justru dianggap kurang paham tradisi. Sakit kok dianggap tradisi?

Kenyataannya, scabies ini bukan sekadar urusan kulit satu santri saja. Ia menular cepat, menimbulkan ketidaknyamanan luar biasa, bahkan bisa mengganggu ibadah dan belajar. Bayangkan, santri yang semalaman gatal, lalu paginya diminta fokus ngaji. Sulit kan? Kalau masih ada yang berkeras menyebutnya bagian dari “proses pendewasaan santri,” rasanya kita sedang menutup mata terhadap kenyataan ini.

Sekali lagi, anekdot bisa dipelihara sebagai tradisi humor. Tetapi ia tidak boleh menghalangi kesadaran bahwa kebersihan adalah bagian dari iman. Rasulullah saw bersabda: al-ṭuhūru syathru al-īmān—kebersihan adalah separuh dari iman. Maka, bagaimana mungkin kita membiarkan pesantren, yang seharusnya menjadi pusat pendidikan agama, justru abai pada kebersihan?

Saya juga mengerti, menjaga kebersihan pesantren bukan perkara mudah. Santrinya banyak, kadang pondoknya terlalu luas, dan kadang juga fasilitas (pengelolaan kebersihannya) sangat terbatas. Tapi justru di situlah letak tanggung jawab pengurus. Mendidik santri bukan hanya soal mengajari membaca kitab, tapi juga menanamkan gaya hidup sehat. Pesantren seharusnya menjadi ruang pembelajaran integratif, dimana ilmu, ibadah, dan kesehatan berjalan beriringan.

Saya tidak ingin membicarakan teknis bagaimana kebersihan di lingkungan pesantren itu harus dikelola. Hanya saja, semua pihak harus terlibat. Semua pihak butuh edukasi, dan perlu kontrol pula. Dari pengalaman saya, santri dan pengurus itu kadang-kadang hanya “belum tahu” standar kebersihan yang “bersih” itu bagaimana. Kenapa? Mungkin karena tugas-tugas itu didelegasikan tanpa ada goals yang jelas. Maka, tugas para petugas kebersihan di lingkungan pesantren —terlebih pengurusnya— adalah memperjelas target-target kebersihan itu, sejelas-jelasnya, harus terukur dan realistis.

Ini baru sebatas lingkungan saja. Belum menyentuh gaya hidup bersih perorangan. Dan bagian inilah yang paling susah karena perlu kesadaran individu. Namun, intervensi pengurus melalui peraturan juga bisa dilakukan. Pengurus bisa mengatur bagaimana cara mencuci dan menjemur pakaian, melarang menggantung pakaian sembarangan, melokalisir jemuran handuk, dll.

Saya optimis permasalahan gudik ini bisa diatasi, atau setidaknya sangat diminimalisir. Tanpa gangguan ini, santri bisa lebih fokus belajar dan beribadah. Mereka tidak perlu lagi “lembur” tidak tidur hanya untuk garuk-garuk tubuhnya. Tinggal bagaimana pesantren, terutama pengurus dan pengasuhnya, memprioritaskan kepentingan ini saja.

Kalau gudik dibiarkan, lalu dianggap “tanda ilmu meresap,” yang rugi bukan hanya santri. Pesantren pun ikut kehilangan wajahnya. Ia akan dipandang dari luar sebagai tempat kumuh yang mengabaikan kesehatan. Padahal, pesantren punya modal yang cukup besar untuk membangun karakter yang mandiri, solid, dan disiplin. Seharusnya, semua potensi itu juga bisa diarahkan untuk membangun lingkungan yang lebih bersih.

Mungkin ada yang berkata, “Lha wong sejak dulu juga begitu.” Ya, sejak dulu juga listrik sering mati, air sulit, dan kitab kuning ditulis tangan. Tapi faktanya, kita tidak berhenti di sana. Kita adaptif. Kita pakai listrik, kita bangun sumur, kita cetak kitab. Begitu juga soal kesehatan. Tradisi pesantren tidak harus identik dengan penyakit. Justru pesantren bisa menjadi teladan, dengan menunjukkan bahwa lingkungannya orang-orang saleh itu juga lingkungan yang bersih dan sehat.

Anekdot gudik biarlah tetap ada di ruang tawa. Jangan sampai ia menjadi dalih yang menghalangi kesadaran untuk hidup sehat. Sejujurnya, ilmu juga tidak akan mungkin meresap lewat gatal. Ilmu akan meresap lewat hati yang bersih dan pikiran yang jernih. Kebersihan hati dan pikiran itu, sangat bisa dikondisikan dengan adanya lingkungan yang bersih dan sehat.

Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts