Saya dan istri sangat jarang memasak, tepatnya hampir tidak pernah. Bukan berarti saya atau istri saya tidak bisa memasak. Saya pernah jago masak, setidaknya sampai sebelum menikah. Begitupun dengan istri saya, ia lebih memiliki referensi jenis-jenis makanan yang luas dibandingkan saya yang hanya bisa masak itu-itu saja.
Memasak atau tidak, kami tetap perlu makanan untuk dimakan. Cara kami mendapatkan makanan juga beragam. Membeli makanan adalah cara paling praktis dan bertanggung jawab yang paling sering kami tempuh, baik secara daring maupun luring. Kami juga terkadang mampir ke rumah mertua untuk makan, entah dengan memakannya di tempat atau dibungkus. Opsi terakhir yang kami lakukan untuk makan adalah dengan memasak sendiri. Kadang, kami juga mengkombinasikan tiga cara ini, dan ini terhitung sering dipraktikkan. Misalnya, nasi memasak sendiri, tapi lauk dan sayur bisa didapatkan dengan membeli atau mbungkus dari rumah mertua. Fleksibel sekali kan?
Seingat saya, kami tidak pernah membuat kesepakatan yang mewajibkan saya atau istri untuk masak. Kami lebih memilih untuk fokus pada tujuan makannya, sedangkan caranya bisa sangat fleksibel seperti diatas. Ada momen-momen tertentu dimana istri saya masak hampir setiap hari. Biasanya, dulu saya dimasakkan untuk sarapan sekaligus bontotan (bekal) makan siang di kantor. Ada juga masa-masa ketika kami hampir setiap hari membeli makanan via aplikasi tanpa henti. Ujungnya, kami tetap fleksibel terhadap caranya. Hal terpentingnya, sekali lagi, adalah adanya makanan untuk dimakan.
Perihal makanan, selera kami relatif monoton. Tipe makanan berat yang kami makan ya itu-itu saja. Dalam seminggu, setidaknya menu-menu ini pasti kami makan: bakso atau mi ayam, ayam goreng, dan soto. Perihal kuat-kuatan makan makanan yang itu-itu saja, saya juaranya. Saya bisa sarapan soto, makan siang soto, makan malam pun dengan soto. Itu contoh paling ekstrimnya, dan pernah saya lakukan. Contoh dengan versi tidak terlalu ekstrimnya adalah beberapa hari berturut-turut sarapan soto yang sama. Lagi-lagi, saya pernah dan sering melakukannya.
Namun, jika dilihat dari sudut pandang kuat-kuatan makan makanan yang itu-itu saja dalam artian tidak mau ambil resiko mencoba makanan lain, istri saya is number one. Saya sebagai makhluk pemakan segala jenis makanan yang bisa dimakan hanya bisa bertekuk lutut melihat keistikamahannya makan makanan yang sama selama bertahun-tahun dengan rutin. Entahlah, apakah perempuan memang susah move-on meskipun hanya perihal makanan?
Selain makanan berat, kami juga tergolong pasangan yang rutin jajan, terutama pentol atau bakso tusuk. Sejak kecil saya adalah pecinta bakso dan seluruh keluarga saya tahu itu. Ndilalah kok ya dapat istri yang ndak kalah suka sama bakso, sak pentol-pentole. Hampir setiap hari, salah satu dari kami berdua pasti jajan bakso tusuk. Ya setidaknya lima atau enam hari dalam seminggu lah kalau tidak setiap hari. Seandainya mau dikompetisikan, saya akan kalah juga dalam hal ini. Istri saya bisa nyetok pentol di kulkas, seakan-akan itu adalah makanan pokok yang harus ada setiap harinya.
Meskipun banyak kemiripan perihal selera makanan, kami tetap punya perbedaan-perbedaan tentang prosedur makan. Saya cenderung lebih suka makan makanan yang sudah dingin, sedangkan istri saya lebih suka makan dalam kondisi panas-panasnya. Biasanya, saya lebih toleran terhadap makanan untuk sarapan yang tertunda dimakan hingga waktu malam (bahkan besoknya), sedangkan istri saya punya prinsip bahwa makanan itu harusnya (sebaiknya) dalam keadaan fresh. Saya juga bisa menyimpan makanan seperti ayam goreng di kulkas hingga seminggu, kemudian dipanaskan lagi untuk dimakan, sedangkan istri saya (sepertinya) tidak akan pernah melakukan hal yang sama. Selain itu, istri saya lebih suka makan bersama, sedangkan saya ndak merasa masalah jika aktivitas makan itu hanya dilakukan seorang diri.
Perbedaan prosedur ini somehow justru sering menyelamatkan kami berdua dari membuang-buang makanan. Kami bisa memakan makanan yang sama di waktu yang berbeda secara bergantian. Semakin bertambah usia pernikahan kami, tampaknya kami semakin bisa saling memahami bahwa persamaan dan perbedaan itu selalu bisa “menguntungkan.” Praktiknya ya kadang-kadang kami hanya perlu membeli satu makanan untuk berdua, setidaknya bisa lebih hemat kan? Hehehe…

Tinggalkan komentar