Umi, begitulah panggilan saya kepada sosok Ibu sejak kecil. Sampai hari ini, saya masih memanggilnya dengan sebutan yang sama, tak ada yang berubah. Sebutan itu memang tidak terikat waktu. Tak akan ada yang berubah dengan sebutan itu, kecuali jika saya merubahnya dengan sengaja.
Sayangnya, sosok Ibu saya bukanlah sebutan semata. Ia adalah manusia, sama seperti saya, yang terjebak dalam dimensi ruang dan waktu. Hukum-hukum wajib terkait ruang dan waktu pun juga melekat pada sosoknya. Saya ingat betul saat warna hitam pekat masih melekat di rambutnya. Saya juga ingat dengan jelas ketika tak ada satu pun kerutan di wajahnya. Itu dulu. Terakhir berjumpa dengannya, terlihat beberapa helai rambutnya tak lagi berwarna hitam. Pun dengan kerutan-kerutan di wajahnya yang tampak semakin jelas.
Bagi orang-orang diluar sana, Ibu saya mungkin hanya seorang ibu-ibu biasa. Tapi bagi saya, Ibu saya adalah sosok yang sangat luar biasa. Perjuangan dan dedikasinya untuk kami, anak-anaknya, memang tidak akan pernah bisa kami balas dengan apapun. Setetes air susunya, entah dengan apa atau bagaimana, tak akan pernah bisa kami kembalikan secara lunas.
Saya tidak punya banyak memori-memori “wah” dengan Ibu. Tapi saya punya banyak ingatan tentang kebersamaan kami, meskipun tidak seberapa seandainya dibandingkan dengan adik-adik saya yang menghabiskan lebih banyak waktu membersamainya. Lebih jelasnya, saya sama sekali tidak punya kenangan buruk dengan Ibu. Sekali pun, hati saya tidak pernah dilukainya. Ibu saya adalah sosok yang sangat sabar dan penyayang, lebih dari siapapun yang pernah saya temui di muka bumi.
Sedari kecil, ketika punya keinginan untuk memiliki suatu hal, saya hanya matur kepada Ibu. Keinginan untuk punya mainan, komik, koran, dan lainnya hanya akan saya sampaikan pada Ibu. Saya merasa Ibu adalah tempat paling aman dan nyaman untuk menyampaikan segala aspirasi saya di masa kecil. Hingga beranjak dewasa, saya juga melakukan hal yang sama, meskipun mungkin tidak se-intens masa kecil saya. Lagi-lagi, I’ve never heard such things like rejection from her, all my life!
Ibu saya juga merupakan sosok yang sangat supportif. Ia mendukung keputusan-keputusan besar yang pernah saya ambil dalam hidup. Sesekali, ia mencoba meyakinkan keputusan-keputusan yang akan saya ambil. Tapi, sampai hari ini saya tidak pernah merasa didikte harus begini atau begitu dalam menjalani hidup. Semakin kesini, saya sadar bahwa tidak semua orang mendapatkan kepercayaan seperti ini dari orang tuanya. Ibu saya, sampai hari ini tidak berubah, sifat-sifatnya masih sama seperti dahulu.
Hari ini Ibu saya berulang tahun yang ke-53. Saya, entah mengapa masih belum berani mengucapkan selamat kepadanya. Kadang saya merasa malu, tidak pantas, dan tidak terbiasa dengan ini. Padahal, saya ingin sekali mengucapkan selamat kepadanya, walaupun sekedar lewat pesan teks. Setiap saya menuliskan kata-kata ucapan itu, saya menghapusnya lagi, dan tidak pernah mengirimkannya. Butuh lebih dari keberanian, bagi saya, untuk melakukannya. Saya selalu memilih untuk mendoakan yang terbaik baginya setiap waktu, walaupun sekedar rabbighfirli waliwalidayya.
Umi, maafkan segala kebodohan saya sebagai anakmu, yang untuk memelukmu saja, perlu mengumpulkan keberanian bertahun-tahun lamanya. Mungkin, sebagian bentuk fisik Umi berangsur-angsur berubah. Tapi, bagiku Umi masih selalu sama seperti Umi yang saya kenal sejak kecil. Selamat ulang tahun mi, doakan aku ya 😊

Tinggalkan Balasan ke zaki nursyamsi Batalkan balasan