Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Burjo Premium

Burjo premium, begitulah saya dan teman-teman kost Bu Sumad menyebutnya. Tempatnya tidak jauh dari kost, mungkin sekitar setengah kilo meter. Tempat ini juga bukan Burjo terdekat dari kost kami. Ada satu Burjo lain yang lebih dekat, mungkin tidak genap seratus meter dari kost. Tapi entah mengapa, kami lebih sering mampir ke Burjo Premium ini meskipun sedikit lebih jauh.

Saya lupa nama asli dari Burjo ini. Ketika membaca tanda namanya hari ini, tertulis Maharasa 16. “Sepertinya bukan itu,” gumam saya dalam batin. Saya memang tidak ingat namanya, namun saya juga ragu jika itu adalah nama yang sama sepuluh tahun lalu. Toh, apalah arti sebuah nama, begitulah kata Shakespeare. Mungkin saja, kondisi seperti inilah yang dimaksudkan olehnya.

Terlepas dari ketidak yakinan saya akan nama asli dari Burjo ini, saya terlanjur mengenalnya dengan nama Burjo Premium. Saya rasa, teman kosan se-angkatan juga tidak ada yang ingat betul namanya. Namun jika disebut Burjo Premium, saya haqqul yakin mereka bisa langsung menunjukkan ancer-ancernya.

Nyatanya, saya juga tidak ingat secara persis kenapa Burjo ini kami sebut dengan Burjo Premium. Sejauh usaha yang bisa saya lakukan untuk mengais sisa-sisa ingatan satu dekade lalu, Burjo ini lampunya terang, posisinya mepet jalan, relatif bersih, dan ada tukang parkirnya. Ah, mungkin saja tambahan ongkos seribu rupiah itulah yang membuat kami perlu menyebutnya dengan nama Burjo Premium.

Subuh pagi ini, saya mampir ke Burjo premium. Kebetulan saya sedang mengantarkan istri saya bekerja di daerah UGM. Sepagi ini, jarak tempuh tempat ini dengan UGM mungkin hanya sekitar lima sampai tujuh menit. Kondisi hujan juga membuat jalanan relatif lebih sepi pagi ini.

Ketika sampai disini, saya sadar jika tata letak Burjo ini telah berubah. Entah sudah mengalami berapa kali perubahan sejak saya terakhir mampir kesini. Bagian dapur yang dulu berada di pojok timur menghadap ke barat kini sudah jadi satu ruko tersendiri, bukan lagi bagian dari Burjo ini. Sekarang, dapur dan kasir berada di pojok barat, menghadap ke utara.

Tidak ada seorangpun sedang mburjo saat ini. Satu jam berlalu sejak disuguhkannya nasi orak-arik dan susu jahe hangat, saya masih sendirian. Mungkin saja hujan kali ini benar-benar berhasil membuat pemuda-pemuda nokturnal sekitar untuk memilih tidur.

Dalam perjalanan menuju Burjo premium, saya membayangkan akan memesan menu andalan yang sering saya makan dulu, nasi sarden. Namun, sesampainya disini saya justru mengabaikan angan-angan itu dan memilih menu andalan kedua, nasi orak-arik. Pada waktu bersamaan, saya melihat gorengan-gorengan yang tersaji masih sama persis seperti dulu. Kering, renyah, dan tampak menggiurkan. Ada mendoan, tahu isi, bakwan, ubi, dan pisang yang merupakan line-up lawas. Saya memperhatikan juga ada piscok yang sepuluh tahun lalu tidak ada disini.

Selain itu, TV di dinding yang kini menempel di tembok bagian barat sedang menayangkan pertandingan Liga Champions antara Real Madrid vs RB Salzburg. Papan skor menunjukkan angka 4-0 untuk Real Madrid. Kedatangan saya disambut dengan sebuah gol dari Vinicius Jr. Match itu berakhir dengan skor 5-1 untuk Real Madrid.

Menonton bola di Burjo premium adalah rutinitas yang dulu sering saya lakukan. Terutama ketika Juventus bertanding di Liga Champions dan ditayangkan di TV. Entah mengapa, saya suka dengan suasana nonton bola yang ramai. Meskipun tak jarang, sebagian besar penonton di Burjo itu lebih menjagokan lawan dari Juventus kala itu.

Akhirnya, ada mas-mas yang datang untuk memesan Indomie goreng telur dan Joshua (really? Sepagi ini?). Tapi sudahlah, saya merasa senang bisa menyempatkan waktu untuk mampir ke Burjo premium. Semoga suatu saat saya bisa mampir kembali ke tempat ini bersama teman-teman kost dulu. Semoga semua teman-teman saya diberikan kesehatan dan usia yang panjang. Āmīn.

Tanggapan atas “Burjo Premium”

  1. arisnohara Avatar

    Warung Indomie di Jogja memang rata-rata tempatnya bersih dan makanannya memiliki ciri khas masing-masing. Jadi kangen Jogja😥

    Suka

Tinggalkan Balasan ke arisnohara Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts