Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Hierarki Metodologi Penafsiran Al-Qur’an ala Ibnu Katsir

Ketika membaca tafsir Al-Qur’an, seorang pembaca kerap dihadapkan pada beragam pendapat mufassir yang terkadang terkesan saling bertentangan. Pertanyaan mendasar muncul: bagaimana menentukan pendapat yang lebih dapat diandalkan dan mana yang harus diprioritaskan? Imam Ibnu Katsir (w. 774 H/1373 M), ulama besar abad ke-8 Hijriah yang kondang dalam bidang tafsir, memberikan jawaban sistematis melalui hierarki metodologi yang jelas dan terstruktur.

Metodologi Ibnu Katsir mencakup aspek teknis penafsiran sekaligus mengandung pedoman sikap yang perlu dimiliki oleh seorang mufassir dalam menyikapi firman Allah Swt. Ada adab dan etika yang harus dijaga, sehingga proses penafsiran tidak dilakukan secara sembarangan. Hierarki ini juga telah teruji berabad-abad lamanya, serta menjadi salah satu fondasi utama dalam pendekatan tafsir bi al-ma’ṡūr.

Struktur Hierarki Metodologi

Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

Ibnu Katsir menetapkan Al-Qur’an sebagai rujukan pertama dalam memahami Al-Qur’an itu sendiri. Prinsipnya sederhana: apa yang dijelaskan secara global di satu bagian, biasanya telah ada penjelasan detailnya di bagian lain.

إن أصح الطرق في ذلك أن يفسر القرآن بالقرآن فما أجمل في مكان فإنه قد فسر في موضع آخر

Sesungguhnya metode yang paling sahih dalam hal itu adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Apa yang dijelaskan secara global di suatu tempat, sesungguhnya telah ditafsirkan di tempat lain.

Konsep ini dikenal dengan istilah “tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an” atau “al-Qur’an yufassiru ba’dhuhu ba’dhan“. Logikanya sangat rasional: Al-Qur’an turun dari sumber yang sama, Allah Swt, sehingga tidak mungkin terjadi kontradiksi internal. Pendekatan ini juga mencegah subjektivitas berlebihan dalam penafsiran, karena membiarkan Al-Qur’an menjelaskan dirinya sendiri.

Tafsir Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi

Ketika Al-Qur’an belum memberikan penjelasan yang memadai, langkah kedua adalah merujuk kepada Sunnah Nabi. Posisi ini bukan pilihan arbitrary, melainkan memiliki landasan teologis yang kuat.

Imam Syafi’i, sebagaimana dikutip Ibnu Katsir, menyatakan:

كل ما حكم به رسول الله صلى الله عليه وسلم فهو مما فهمه من القرآن

Setiap keputusan yang dibuat oleh Rasulullah adalah berdasarkan apa yang beliau pahami dari Al-Qur’an.

Ibnu Katsir mengutip tiga ayat yang mendukung posisi Nabi sebagai penjelas Al-Qur’an. Pertama, QS. An-Nisa ayat 105 yang menegaskan fungsi Nabi dalam mengadili berdasarkan wahyu Allah. Kedua, QS. An-Nahl ayat 44 yang secara eksplisit menyebutkan tugas Nabi untuk menjelaskan Al-Qur’an kepada manusia. Ketiga, QS. An-Nahl ayat 64 yang menegaskan peran Nabi dalam menjelaskan hal-hal yang diperselisihkan.

Hadis yang juga memperkuat kedudukan Sunnah adalah:

ألا إني أوتيت القرآن ومثله معه

Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan yang semisalnya bersamanya.

Dialog antara Nabi dengan Muadz bin Jabal ketika akan dikirim ke Yaman juga menegaskan hierarki ini: Al-Qur’an pertama, Sunnah kedua, kemudian baru ijtihad.

Tafsir Al-Qur’an dengan Pendapat Sahabat

Ketika dua sumber sebelumnya belum memberikan jawaban, rujukan ketiga adalah pendapat para sahabat. Mereka memiliki keunggulan yang tidak dimiliki generasi sesudahnya: menyaksikan langsung konteks turunnya ayat (asbab al-nuzul), memiliki pemahaman natural terhadap bahasa Arab Al-Qur’an, dan memiliki akses langsung kepada Nabi Saw untuk bertanya tentang ayat-ayat yang tidak dipahami.

Ibnu Katsir secara khusus menyoroti dua tokoh sahabat yang menonjol dalam bidang tafsir. Pertama, Abdullah bin Mas’ud yang mengklaim mengetahui konteks setiap ayat yang turun. Kedua, Abdullah bin Abbas yang mendapat doa khusus dari Nabi Saw untuk diberi pemahaman agama dan kemampuan takwil, sehingga memperoleh gelar “Turjuman al-Qur’an“.

Pendekatan pembelajaran Ibn Mas’ud juga patut dicatat. Beliau menyatakan bahwa para sahabat tidak melanjutkan ke ayat berikutnya sebelum memahami makna dan mengamalkan sepuluh ayat yang telah dipelajari. Ini menunjukkan prioritas pada kualitas pemahaman dan implementasi, ketimbang sekadar kuantitas hafalan.

Tafsir Al-Qur’an dengan Pendapat Tabi’in

Rujukan keempat adalah pendapat para tabi’in, generasi yang belajar langsung dari para sahabat. Ibnu Katsir menyebutkan beberapa nama terkemuka seperti Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, Ata’ bin Abi Rabah, Hasan Basri, dan lainnya.

Mujahid bin Jabr mendapat perhatian khusus karena dedikasinya yang luar biasa. Ia membacakan mushaf kepada Ibn Abbas sebanyak tiga kali dari awal hingga akhirnya, menanyakan setiap ayat sambil mencatat jawabannya.

عرضت المصحف على ابن عباس ثلاث عرضات من فاتحته إلى خاتمته أوقفه عند كل آية منه وأسأله عنها

Aku membacakan mushaf kepada Ibn Abbas sebanyak tiga kali dari awal hingga akhir, aku menghentikannya pada setiap ayat dan bertanya kepadanya tentang ayat tersebut.

Sufyan al-Tsauri, seorang tokoh terkemuka pada masanya, juga memberikan pengakuan terhadap kualitas tafsir Mujahid:

إذا جاءك التفسير عن مجاهد فحسبك به

Jika datang kepadamu tafsir dari Mujahid, maka cukuplah itu bagimu.

Logika Hierarki

Hierarki yang dirumuskan Ibnu Katsir memiliki gradasi yang jelas dari sumber paling otoritatif hingga yang relatif otoritatif. Al-Qur’an sebagai kalam Allah Swt menempati posisi tertinggi, disusul Sunnah sebagai penjelasan Nabi Saw yang mendapatkan bimbingan langsung dari Allah Swt, kemudian pendapat sahabat yang paling dekat dengan sumber aslinya (kejadian historis, Nabi Saw, dan bahasa), dan akhirnya pendapat tabi’in yang memiliki legitimasi melalui guru-guru mereka dari kalangan sahabat.

Metodologi ini memiliki mekanisme berjenjang yang memungkinkan eskalasi rujukan ke level yang lebih tinggi ketika terjadi konflik interpretasi di level yang lebih rendah.

Kesimpulan

Hierarki metodologi penafsiran Ibnu Katsir merupakan sistematisasi yang terstruktur dalam pendekatan tafsir bi al-ma’ṡūr. Metodologi ini menetapkan urutan rujukan yang dimulai dari Al-Qur’an itu sendiri, kemudian Sunnah Nabi, pendapat sahabat, dan terakhir pendapat tabi’in. Setiap level memiliki justifikasi tersendiri berdasarkan kedekatan dengan sumber wahyu dan kualifikasi para penafsirnya.

Pendekatan berjenjang ini menggambarkan kehati-hatian dalam berinteraksi dengan firman Allah Swt, dengan pengakuan bahwa terdapat standar dan proses yang harus diikuti dalam memahami wahyu ilahi. Metodologi Ibnu Katsir ini telah menjadi rujukan utama dalam tradisi tafsir, sekaligus menunjukkan pentingnya sistematisasi sumber rujukan dalam ilmu tafsir.

Wallāhu a‘lam bi al-ṣawāb


Tabik,
Ibnu Mas’ud

* Artikel ini disarikan dari pembacaan penulis terhadap bagian muqaddimah dari kitab Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm karya Abū al-Fidā’ Ismā’īl Ibn Kaṡīr al-Dimasyqī (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2018).

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts