Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Dunia Tak Kasat Mata Desainer

“Invisible worlds, or worlds that are supposed to be invisible interest me. I like to see the effort it takes for some people to make things go smoothly for other people. Don’t misunderstand me; mostly I’m part of the invisible world myself.”
– Jeanette Winterson

Ada dunia yang tidak kasat mata, tapi justru menopang segalanya agar tetap berjalan. Dunia tak kasat mata itu juga sangat akrab dengan pekerjaan desain. Kita sering terlalu sibuk merapikan portofolio—membuat case study dengan alur yang sangat mulus, memoles visual agar tampak begitu meyakinkan— padahal ada sisi lain yang lebih berat, seperti bagaimana agar seorang desainer bisa ikut mencegah organisasi atau klien terjatuh pada kesalahan pengambilan keputusan dan sebagainya.

Dalam bahasa yang lugas, Marina Krutchinsky mengatakan: “stop optimizing for portfolio beauty, start optimizing for organizational trauma prevention.”

Seorang desainer yang bekerja di dalam tim, misalnya, tidak hanya bertugas merapikan tampilan atau menyelesaikan set deliverable saja. Ia juga harus berhadapan dengan pikiran yang berbeda-beda, dengan anggaran yang terbatas, atau dengan keputusan strategis yang sering berubah. Familiar kan?

Seperti halnya dengan desainer yang mengerjakan proyek untuk klien. Di balik hasil akhir yang rapi itu, pasti ada proses negosiasi panjang, berbagai asumsi lama yang harus dipatahkan, dan tentu saja konflik-konflik yang harus diredam. Belum lagi kompromi dengan budget, timeline, dan constraints lainnya. Semua ini jarang —bahkan tidak pernah— tercatat di halaman portofolio, padahal di situlah justru letak kerja desain yang sebenarnya.

Maka, sudah selayaknya kita tidak hanya fokus pada pertanyaan “bagaimana hasil akhirnya?” saja. Kita juga perlu melemparkan pertanyaan atas fakta-fakta tidak terlihat itu: “Apa yang berhasil dihentikan sebelum terlambat? Masalah apa yang akhirnya bisa dilihat dengan jelas? Keputusan mana yang berhasil diarahkan ulang?” Kontribusi penting seorang desainer akan tampak jelas ketika berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini dan sejenisnya.

Namun, apakah itu berarti portofolio visual tak ada artinya lagi? Tentu tidak sesederhana itu. Portofolio yang bagus tetap diperlukan, entah untuk melamar pekerjaan, memenangkan tender, atau sekadar memperlihatkan “sedikit” cara berpikir kita pada dunia luar. Yang keliru adalah ketika portofolio yang bersifat visual dianggap sebagai satu-satunya ukuran nilai seorang desainer.

Oleh karena itulah, portofolio yang utuh seyogyanya dibaca melalui dua lapisan: yang terlihat, dan yang tidak terlihat. Yang terlihat memberi bahasa agar orang lain bisa memahami kerja kita. Yang tidak terlihat adalah inti yang menjaga organisasi atau klien tetap sehat.

Dialektika antara keduanya inilah yang membentuk wajah desainer yang sesungguhnya. Karena pada akhirnya, sebagian besar kerja kita memang berlangsung di dunia yang tak kasat mata itu.

Mungkin, sudah waktunya kita mempertimbangkan untuk menampilkan messy works itu dalam portofolio visual kita. Setidaknya, agar kita sendiri tidak terperdaya dengan “mulusnya” portfolio kita itu.

Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts