Rasa bahagia itu sulit disembunyikan. Entah bagaimana, kebahagiaan selalu bisa menemukan caranya untuk menampakkan dirinya. Terkadang ia bisa tergambar di wajah, kadang pula ia bisa muncul begitu saja dalam bentuk tindakan.
Itulah yang terjadi pada seorang budak wanita di masa Nabi Saw. Suatu ketika, si budak ini menghampiri Nabi ketika beliau kembali dari salah satu peperangan. Budak wanita itu sumringah, tampak sekali sedang sangat bergembira. Lalu, ia berkata kepada Rasulullah Saw,
يا رسولَ الله، إنِّي كنتُ نَذَرْتُ إنْ رَدَّك اللهُ سالِمًا أنْ أضربَ بيْن يديْك بالدُّفِّ
“Wahai Rasulullah, saya telah bernadzar, jika Allah Swt mengembalikan engkau dari peperangan dengan selamat, saya akan bermain rebana di hadapan engkau.” (HR. Tirmidzi)
Lalu Nabi pun mempersilakan si budak wanita itu untuk memainkan rebananya. Beliau duduk dan mendengarkan dengan seksama.
Mullā ‘Alī al-Qārī —dalam Syarh al-Misykāh— menerangkan bahwa ini adalah dalil terhadap kewajiban menepati nadzar dari perbuatan ibadah (qurbah), dan bergembira atas kedatangan Nabi Saw adalah ibadah.
Begini, memukul rebana itu sendiri bukanlah sebuah ibadah. Ia hanyalah perbuatan yang sifatnya mubah. Namun, ketika memukul rebana itu adalah wujud kecintaan dan syukur atas kedatangan Nabi, itu bisa menjadi ibadah. Ekspresi kebahagiaan si budak wanita itu —dengan bernadzar untuk menabuh rebana— justru divalidasi oleh Nabi, dan beliau memerintahnya untuk melaksanakannya.
Nah, di titik inilah para ulama melihat sebuah isyarat yang lebih penting. Kalau mengekspresikan kebahagiaan atas kepulangan Nabi dari peperangan dengan menabuh rebana saja diperbolehkan, maka mengekspresikan kebahagiaan atas datangnya Nabi ke dunia ini dengan hal-hal mubah lainnya tentu juga diperbolehkan.
Kita bisa bayangkan, kebahagiaan itu diekspresikan lewat kegiatan seperti makan bersama, bersedekah, membaca sirah Nabi, melantunkan syair-syair pujian seperti Burdah, atau sekadar menyebut nama beliau dengan penuh cinta. Semuanya adalah ekspresi kebahagiaan dan syukur karena Allah Swt telah mengaruniakan sosok yang membawa cahaya bagi umat manusia.
Kita perlu untuk menangkap “ruh” dari hadis-hadis seperti ini. Kita lihat apa intinya, apa spirit yang dibawanya. Tentu ini bukan soal rebana atau nazar saja, ini adalah sebuah bentuk ketaatan yang lahir dari rasa bahagia atas Nabi Saw.
Mungkin hari ini kita sering bingung bagaimana harus mengekspresikan rasa cinta dan bahagia atas diutusnya Nabi Saw. Sederhananya, tunjukkan saja rasa bahagia itu dalam bentuk yang baik. Ekspresikan, dan ubahlah menjadi bentuk ketaatan kepada Allah Swt. Kita boleh bersalawat, membaca sirahnya, atau mengekspresikannya dengan perbuatan lainnya.
Semoga Allah Swt menerima segala bentuk ekspresi kebahagiaan kita di bulan Maulid ini. Allāhumma Ṣalli wa Sallim wa Bārik ‘Alā Sayyidinā Muḥammad.
Tabik

Tinggalkan komentar