Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Quranis yang Melemahkan Al-Qur’an

Ada kelompok yang menyebut diri mereka “Qur’anis” atau Quraniyyūn. Mereka mengklaim bahwa memahami agama ini cukup dengan Al-Qur’an saja, tanpa perlu hadis Nabi. Argumen utama mereka terdengar meyakinkan: bukankah Allah sudah berfirman bahwa Al-Qur’an adalah tibyānan likulli syai’ (penjelasan untuk segala sesuatu)? Kalau sudah lengkap, kenapa perlu hadis?

Masalahnya, argumen ini justru menciptakan persoalan baru yang lebih besar.

Ayat “wa nazzalnā ‘alayka al-kitāba tibyānan likulli syai’” memang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah penjelasan untuk segala sesuatu. Tapi ini tidak berarti Al-Qur’an menjelaskan detail teknis dari setiap sesuatu, apalagi perintah. Al-Qur’an meletakkan prinsip-prinsip dasarnya, selebihnya, Sunnah-lah yang menunjukkan cara praktisnya.

Contoh paling jelasnya, perintah salat. Al-Qur’an menyebut “aqīmū al-ṣalāh” (dirikanlah salat). Baik, kalimat ini jelas. Kita diperintahkan untuk mendirikan salat. Tapi bagaimana cara mengerjakannya? Berapa rakaat? Bagaimana gerakannya? Bacaan apa yang harus dibaca? Semua ini tidak ada dalam Al-Qur’an.

Begitu pula dengan zakat. Ayat “khudz min amwālihim ṣadaqatan” (ambillah dari harta mereka sedekah) sudah cukup jelas sebagai perintah. Tapi, berapa persentase yang harus dikeluarkan? Jenis harta apa saja yang wajib dizakati? Kapan waktunya? Nyatanya semua detail ini hanya dijelaskan oleh Sunnah.

Kalau Sunnah ditolak, kita akan kebingungan sendiri ketika ternyata berhadapan dengan perintah-perintah yang tidak praktis, tidak bisa dijalankan.

Argumen kedua mereka (Quranis) lebih rumit lagi. Mereka membedakan antara sunnah wāqi’iyyah (Sunnah faktual) dan sunnah maḥkiyyah (Sunnah yang “diceritakan”). Katanya, yang diucapkan Nabi memang benar, tapi bagaimana kita tahu bahwa apa yang diriwayatkan perawi itu benar-benar perkataan Nabi?

Mereka juga menyoroti bahwa periwayatan secara makna (riwāyah bi al-ma’nā) adalah hal yang umum dalam tradisi hadis. Setiap perawi memahami hadis sesuai pemahamannya, lalu meriwayatkannya dengan redaksi sendiri. Karena pemahaman orang berbeda-beda, maka hadis yang sampai kepada kita juga berbeda-beda. Bahkan, ada hadis-hadis yang tampak bertentangan satu sama lain. Padahal, Nabi tidak mungkin mengucapkan sesuatu yang kontradiktif.

Dari sini mereka menyimpulkan bahwa hadis itu hasil “cerita ulang,” bukan ucapan asli Nabi. Maka tidak bisa dijadikan pegangan.

Argumen ini terdengar logis, tapi sebenarnya sangat rapuh. Pertama, ulama hadis sudah menetapkan syarat ketat untuk periwayatan makna. Perawi harus paham bahasa Arab dengan baik dan tahu mana yang mengubah makna dan mana yang tidak. Untuk hadis-hadis yang bersifat ta’abbudī (ibadah), lafal aslinya harus dijaga. Kedua, hadis-hadis yang tampak bertentangan bisa dijelaskan melalui ilmu mukhtalif al-ḥadīṡ. Kontradiksi itu biasanya hanya di permukaan, bukan substansi.

Justru yang lebih penting lagi adalah, kalau kita tidak percaya pada perawi hadis, bagaimana kita bisa percaya bahwa Al-Qur’an yang sampai kepada kita ini benar-benar dari Allah? Bukankah Al-Qur’an juga sampai kepada kita melalui jalur periwayatan yang sama?

Bahaya terbesar dari penolakan terhadap hadis ini bukan hanya soal kehilangan panduan praktis saja. Bahayanya yang lebih parah, kita akan kehilangan kepercayaan pada Al-Qur’an itu sendiri.

Ketika hadis ditolak, kita akan berhadapan dengan teks kitab suci yang penuh perintah, tapi tidak tahu cara menjalankannya. Mau salat, tidak tahu caranya. Mau zakat, tidak tahu takarannya. Mau haji, tidak tahu tata caranya. Padahal Nabi sendiri berkata, “khudzū ‘annī manāsikakum” (ambillah dariku tata cara haji kalian). Kalau hadis ini ditolak, siapa yang akan mengajari kita? Bagaimana praktik riil-nya?

Akhirnya, kita akan kebingungan, atau—lebih buruk lagi—mulai menafsirkan Al-Qur’an sesuka hati berdasarkan akal dan logika sendiri. Ini justru membuka celah yang sangat lebar untuk memanipulasi agama sesuai kepentingan masing-masing.

Sehingga perlu dipahami dengan baik, bahwa Sunnah bukanlah pesaing Al-Qur’an. Sunnah adalah penjelas Al-Qur’an. Keduanya saling melengkapi, bukan saling meniadakan. Al-Qur’an meletakkan prinsip-prinsipnya, dan Sunnah-lah memberikan detailnya. Al-Qur’an memerintahkan, Sunnah yang menunjukkan caranya.

Menolak Sunnah dengan dalih “cukup Al-Qur’an” justru melemahkan posisi Al-Qur’an itu sendiri. Karena tanpa Sunnah, kita tidak akan bisa menjalankan apa yang diperintahkan Al-Qur’an dengan benar.

Allāhu a‘lam

Tabik,
Ibnu

* Disarikan dari penyampaian Dr. Muhammad Salim Abu Ashi, dalam sebuah acara TV di Mesir yang diakses via Youtube.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts