Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Dunia Modern Memang Tidak Bisa Memahami Kita

Di berbagai beranda media sosial, ramai pembicaraan soal Trans7 yang dianggap “melecehkan” ulama. Siapa yang menganggap itu sebagai pelecehan? Ya kami, kaum santri. Dalam rangkaian narasi itu, digambarkan seolah Kiai naik mobil mewah, menerima amplop (uang) dari santri, dan seterusnya. Arahnya sama seperti yang sudah-sudah, feodalisme dan sejenisnya.

Dunia modern memang sialan. Saya sendiri juga merasa sangat kesulitan menjelaskan hal ini agar bisa dipahami oleh kalangan non-santri. Akan tetapi, narasi-narasi seperti ini sudah terlanjur berkembang di dunia luar sana. Di beberapa platform media sosial yang saya gunakan, sangat lazim ada kritikan, eh bukan, lebih pasnya adalah celaan terhadap tradisi pesantren.

Masalahnya bukan pada kritik itu sendiri. Kritik itu wajar, bahkan diperlukan. Tapi yang terjadi adalah penyederhanaan brutal terhadap sesuatu yang sebenarnya kompleks. Relasi Kiai dan santri direduksi menjadi sekadar transaksi ekonomi. Penghormatan diterjemahkan sebagai ketundukan buta. Tradisi disamakan dengan keterbelakangan. Duh, sembrono sekali.

Kita memang sedang hidup di zaman yang terobsesi dengan kesetaraan horizontal. Semua orang dianggap setara, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Ya, ini bagus untuk konteks hak asasi manusia dan politik. Tapi ketika logika ini dipaksakan ke semua ranah kehidupan, ia justru berpotensi menghancurkan nilai-nilai lain yang juga penting.

Dalam tradisi pesantren, hormat (ta‘żīm) kepada Kiai bukan soal posisi sosial. Ini soal menghormati, mengapresiasi, dan memuliakan ilmu. Kiai adalah pembawa ilmu, dan ilmu itu sendiri memiliki kedudukan tinggi dalam Islam. Ketika santri mencium tangan Kiai, ia tidak sedang tunduk pada manusia, melainkan menghormati ilmu yang dibawa oleh manusia itu.

Tapi coba jelaskan ini ke orang yang tidak pernah berinteraksi dengan tradisi pesantren. Mereka akan bertanya, kenapa harus hormat berlebihan? Bukankah semua manusia sama? Bukankah itu feodalisme terselubung?

Nabi sendiri pernah bersabda bahwa beliau tidak mewariskan dinar dan dirham, beliau hanya mewariskan ilmu. Siapa yang mendapat warisan itu? Ya para kiai yang mereka gosipkan itu. Al-‘ulamā’ waraṡat al-anbiyā’ —ulama itu adalah pewaris para Nabi.

Kami mencium tangan mereka, menunduk di hadapan mereka, bahkan rela “ngesot,” bukan karena dipaksa. Kami hanya mencoba mengamalkan ilmu yang kami pelajari. Inilah yang berulang kali disebutkan dalam kitab-kitab tentang adab penuntut ilmu. Ilmu tanpa amal, laksana pohon yang tidak berbuah, begitulah kata pepatah Arab.

Tentang kenapa kami memilih diam dan anteng ketika belajar, atau ketika berada di hadapan guru, kami meniru apa yang dilakukan oleh murid-murid ‘Abdurrahman bin Mahdi. Ahmad bin Sinan pernah mengisahkan bahwa “tidak ada seorangpun yang bercakap-cakap di majelis Abdurrahman bin Mahdi. Pena tak bersuara. Tidak ada yang bangkit. Seakan-akan di kepala mereka ada burung atau seakan-akan mereka berada dalam salat.”

Bahkan, para guru ini lebih diutamakan penghormatannya daripada orang tua. Karena orang tua berjasa pada kita sebagai perantara kehidupan kita di dunia, sedangkan guru mendidik jiwa dan menuntun kita pada kehidupan abadi kelak di akhirat.

Apa lagi? Soal tabarruk atau ngalap berkah. Allahu rabbi, tak terhitung jumlah hadis sahih yang menyebutkannya. Para sahabat rebutan ngalap berkah lewat fisik nabi (rambut, keringat, ludah, sampai pakaiannya). Para sahabat juga bertabarruk dengan bekas air wudhu nabi, lalu diusap-usapkan ke tubuh mereka masing-masing. Apa lagi? Para sahabat pun berlomba-lomba untuk melayani nabi, sampai merasa perlu “nyumbang” dan memberikan apapun yang mereka miliki kepada nabi. Hadis-hadis seperti ini banyak sekali, silakan cari sendiri kalau tidak percaya.

Bahkan, Imam Muslim saja, pernah matur, “Biarkan aku mencium dua kakimu wahai mahaguru, pemuka ahli hadis, dan pakar dalam kajian ‘ilal hadits.” Ini diungkapkan kepada gurunya, Imam Bukhari, sesaat sebelum beliau mencium kakinya.

Tapi apa mereka (si paling kritikus itu) percaya dengan hal-hal seperti ini? Di sinilah kesulitannya. Kita dan mereka ini berbicara dengan bahasa yang berbeda. Mereka berbicara bahasa modernitas yang individualistis, sementara kita berbicara bahasa tradisi yang komunal. Mereka hanya melihat relasi Kiai-santri dengan kacamata power relation, sementara kita melihatnya sebagai proses transmisi ilmu pengetahuan agama yang luhur.

Lebih parahnya, mobil mewah yang dikendarai Kiai juga jadi sorotan lho. Seolah-olah seorang ulama tidak boleh hidup berkecukupan. Padahal, dalam Islam, kemiskinan tidak identik dengan kebajikan. Kekayaan juga bukan dosa. Yang penting adalah bagaimana seseorang mendapatkan dan menggunakan hartanya.

Banyak Kiai yang memang hidup sederhana. Tapi ada juga yang berkecukupan karena usaha halal atau pemberian dari keluarga dan murid. Kenapa ini harus dipersoalkan? Bukankah lebih adil jika kita menilai dari amal dan ilmunya, bukan dari mobilnya?

Mereka itu maunya apa? Apa Kiai itu ndak boleh kaya? Kiai harus miskin dan bisa diinjak-injak begitu? Jika itu mau mereka, wallāhi, kami tidak akan pernah ridha.

Lagi-lagi, ini soal perspektif. Dunia modern cenderung mencurigai orang yang dihormati secara “berlebihan.” Ada trauma kolektif terhadap otoritas, baik agama maupun politik. Maka, setiap bentuk penghormatan yang tidak wajar menurut standar modern akan dicurigai.

Amplop yang diberikan santri kepada Kiai juga dianggap sebagai upeti. Upeti dari Hong Kong? Ongkos pondok sebulan saja tidak mesti sampai seratus ribu. Saya sendiri, dulu mondok gratis tis tis. Makan sehari tiga kali, ada kamar untuk tidur, ada kamar mandi. Kebutuhan hidup saya terpenuhi. Bapak dan Ibu saya ya tau diri lah. Kalau punya rezeki lebih, ya dikasih ke guru anaknya.

Makanya, mereka harus melihat dengan lebih seksama, bahwa ketika santri atau wali santri memberikan sesuatu kepada Kiainya, itu bukan karena dipaksa, tapi karena ingin berbagi rezeki dengan orang yang telah mengajarkan ilmu kepadanya. Ini bukan transaksi, Dul! Ini namanya ihsan.

Tapi sekali lagi, coba jelaskan konsep barakah dan ihsan kepada orang yang tidak percaya pada dimensi spiritual kehidupan. Mereka hanya akan melihatnya sebagai praktik eksploitasi ekonomi.

Saya tidak mengatakan tradisi pesantren sempurna. Ada hal-hal yang memang perlu diperbaiki. Ada oknum yang menyalahgunakan otoritas. Ada praktik yang sudah tidak relevan. Tapi kritik harus datang dari pemahaman yang utuh, bukan dari stereotip dan prasangka.

Hal yang membuat saya frustrasi adalah ketika orang yang tidak pernah mengalami kehidupan pesantren merasa berhak menghakimi tradisi kami. Mereka membaca satu dua artikel, menonton satu dua video, lalu merasa sudah paham. Padahal, memahami tradisi pesantren butuh lebih dari sekadar membaca. Ia butuh pengalaman hidup, butuh merasakan langsung dinamika yang terjadi di dalamnya. Setidaknya, telitilah. Ada banyak penelitian-penelitian akademik yang bisa diakses kok.

Dunia modern memang tidak bisa memahami kita. Bukan karena mereka bodoh, tapi karena mereka menggunakan alat ukur yang salah. Mereka mengukur tradisi dengan standar modernitas, mengukur spiritualitas dengan standar materialisme, mengukur komunalitas dengan standar individualisme.

Hasilnya? Kita selalu tampak salah di mata mereka. Tradisi kami dianggap feodal. Penghormatan kami dianggap kultus. Kehidupan komunal kami dianggap tidak demokratis.

Saya juga tidak berharap mereka akan memahami semua ini dalam waktu dekat. Gap-nya terlalu lebar. Saya hanya berharap mereka mau lebih sedikit merendahkan hatinya, untuk mengakui bahwa mungkin ada hal-hal yang tidak bisa mereka pahami dengan kerangka berpikir mereka. Mungkin ada logika lain yang juga valid, meski berbeda dari logika yang mereka anut.

Tapi sepertinya harapan ini juga terlalu tinggi. Sekarang kan zamannya semua orang merasa berhak berkomentar tentang apa saja, kerendahan hati tentu sudah menjadi komoditas langka.

Akhirnya, saya hanya bisa berharap agar kaum santri tetap kuat memegang tradisinya. Tidak perlu membela diri secara berlebihan kepada orang yang memang tidak ingin memahami. Tidak perlu juga menutup diri dari kritik yang konstruktif. Yang penting adalah tetap istiqamah di jalan yang kita yakini benar (ada petunjuk dalam turats), sambil terus memperbaiki diri.

Lagipula, apa mereka pernah peduli dengan hal-hal yang sudah jelas salah seperti mabuk, zina, judi, dan seterusnya? Semua ini ada di sekeliling mereka. Tapi apa mereka mengkritik itu? Tidak, karena dianggap tidak merugikan mereka. Lha iya sama. Saya ngesot-ngesot sendiri, ngasih amplop ya amplop saya sendiri, menghormati orang lain dengan cara sendiri. Bagian mana yang merugikan mereka? kok mereka sewot?

Dunia modern memang tidak bisa memahami kita. Tapi itu bukan masalah kita. Itu masalah mereka.

Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts