Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Tidak Merasa Lebih Baik dari Orang Lain

Syaikh Muhammad Said al-Burhani, seorang ulama dan imam di Masjid al-Taubah Damaskus, pernah berkata:

ذنبي محقَّق، وذنبُ غيري مَظنون؛ فلذا كلُّ الخلق أفضل مني

“Dosa saya itu pasti ada, sedangkan dosa orang lain masih dugaan belaka. Karena itu, semua makhluk lebih baik daripada saya.”

Saya membaca kutipan ini dari sebuah kanal di Telegram. Entah mengapa, kalimat ini begitu mengena di hati saya hari ini. Kita semua, tentu tahu persis apa-apa yang pernah kita lakukan. Dosa, kesalahan, khilaf, semuanya jelas terekam dalam ingatan kita. Tak ada yang bisa disangkal, kitalah pelakunya. Ini fakta yang terang, bukan asumsi atau angan-angan belaka.

Sementara dengan orang lain? Kita hanya bisa menebak-nebak saja. Barangkali mereka salah, tapi mungkin tidak juga. Mungkin kita melihat orang lain melakukan suatu keburukan (yang tidak jelas secara syariat), namun bisa saja kita salah paham kan? Atau kita hanya melihat satu potongan “adegan” yang tampak buruk, padahal seandainya kita melihat seluruh bagiannya, mungkin itu baik. Intinya, semua yang kita tahu tentang mereka hanyalah sebatas prasangka, bukan kepastian. Selayaknya prasangka, itu belum tentu benar.

Inilah hal yang sedang melanda saya akhir-akhir ini. Beberapa kanal media sosial cukup menyita perhatian saya, dan mungkin kita semua mengalaminya. Entah bagaimana, timeline saya dipenuhi dengan pernyataan-pernyataan yang “salah,” menurut saya. Sehingga rasanya ingin menyalahkan orang lain, membantah, dan berdebat.

Saya merasa sedang benar-benar diuji oleh Allah Swt melalui hal-hal remeh seperti ini. Ternyata, saya tidak cukup sabar dan tidak cukup rendah hati, sampai hal-hal ini sukses memberatkan kepala dan pikiran saya. Padahal, apa urusan saya dengan mereka? Kenapa saya justru tidak fokus memperbaiki diri saja? Kenapa persoalan kontraproduktif yang menyita waktu ini malah merenggut banyak waktu saya?

Bukan saja tentang media sosial, bahkan di kehidupan nyata pun kadang terasa demikian. Barangkali karena dosa-dosa saya telah menggunung, sampai-sampai keberkahan waktu hilang dari hidup saya.

Kalimat pendek dari Syaikh al-Burhani di atas cukup melegakan saya kali ini. Saya merasa ada bulir-bulir kesombongan dalam hati yang perlu segera diberantas. Setidaknya, ini mengingatkan tentang banyaknya dosa yang telah saya perbuat. Kalau dosa-dosa itu sudah pasti pernah saya lakukan, kenapa saya harus fokus pada “dosa” orang lain yang masih pertanyaan?

Maka, sudah selayaknya bagi saya —kita— untuk terus mawas diri, dan tidak merasa lebih baik dari orang lain. Saya perlu merendahkan hati serendah-rendahnya, agar hidup ini menjadi lebih ringan. Fokus pada kekurangan diri dan melakukan perbaikan adalah salah satu cara produktif untuk mengobati penyakit hati ini.

Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts