Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Cerdas Sosial adalah Karakter Orang Saleh

Ada seorang pemuda yang datang menemui Nabi Saw dengan permintaan yang benar-benar di luar nalar. Ia meminta izin untuk berzina. Bayangkan, di hadapan Rasulullah, ia berani mengucapkan kalimat seperti itu. Para sahabat yang mendengar langsung siaga, siap memberikan “pelajaran” pada pemuda ini. Bagaimana mungkin seseorang berani berbicara seperti itu di hadapan Nabi?

Akan tetapi, respons Nabi Saw justru mengejutkan. Alih-alih memarahinya atau membiarkan para sahabat “menghajar”-nya, beliau malah memanggil pemuda itu mendekat. Lalu beliau bertanya kepadanya: “Apakah kamu rela jika hal itu dilakukan pada ibumu?” Pemuda itu menjawab, “Tentu tidak.” Nabi Saw melanjutkan, “Bagaimana dengan saudara perempuanmu?” Lagi-lagi jawabnya sama, “tidak”.

Dengan beberapa pertanyaan sederhana, Nabi Saw membawa pemuda itu pada satu kesimpulan bahwa perempuan yang ingin ia dekati itu juga adalah ibu atau saudari seseorang. Ia tidak perlu takut pada neraka atau ayat-ayat ancaman untuk memahami bahwa permintaannya salah. Ternyata yang ia butuhkan hanyalah diingatkan soal nilai kemanusiaan yang paling dasar.

Inilah yang menarik dari cara Nabi Saw memperlakukan orang. Beliau tidak menggunakan satu pendekatan untuk semua orang. Beliau paham betul bahwa setiap orang punya kebutuhan yang berbeda, punya kondisi yang berbeda, dan perlu diperlakukan sesuai dengan apa yang mereka pahami.

Kita sering terjebak pada pola pikir bahwa ada satu cara yang “benar” dalam memperlakukan orang lain. Kita pikir, jika kita konsisten dengan satu sikap—entah itu tegas, lembut, atau apa pun—maka semua orang akan merespons dengan baik. Sayang, realitasnya jauh lebih kompleks dari itu.

Anak kecil tentu tidak bisa kita ajak bicara laiknya orang dewasa. Orang tua kita sudah barang tentu butuh perlakuan yang berbeda dari teman sebaya. Atasan di kantor mustahil kita perlakukan seperti adik sendiri, begitupun sebaliknya. Masing-masing punya porsi, punya hak, dan punya cara komunikasi yang pas.

Nabi Saw paham betul soal ini. Ketika berhadapan dengan anak-anak, beliau sangat lembut. Suatu ketika, beliau sedang salat. Kedua cucunya, Hasan dan Husain, datang dan naik ke punggungnya. Alih-alih buru-buru bangkit, beliau justru memperpanjang sujudnya hingga mereka selesai bermain. Para sahabat yang melihat sempat bingung, mengira beliau lupa bahwa sedang salat. Padahal, beliau hanya tidak ingin merusak kegembiraan kedua cucunya.

Tapi bukan berarti beliau selalu lembut dalam setiap kondisi. Ketika berhadapan dengan orang yang sombong atau zalim, beliau tegas. Ketika berbicara dengan pemimpin suku atau delegasi dari luar, beliau menggunakan bahasa diplomasi. Ketika mengajar para sahabat, beliau menggunakan metode yang membuat mereka mudah memahami. Begitulah Nabi kita.

Nah, salah satu hal yang sering diabaikan adalah bagaimana cara Nabi Saw memperlakukan keluarganya. Di tengah kesibukan memimpin umat, beliau tetap menyempatkan diri untuk membantu pekerjaan rumah. Beliau menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sandalnya, dan membantu istri-istrinya dalam urusan rumah tangga.

Ini bukan hal yang biasa pada masa itu. Pria Arab biasanya merasa terlalu “tinggi” untuk melakukan pekerjaan rumah. Tapi Nabi Saw justru menunjukkan bahwa melayani keluarga adalah bagian dari kemuliaan, bukan kehinaan.

Ketika putrinya, Fatimah, datang berkunjung, beliau berdiri menyambutnya dan mencium dahinya. Ini mungkin terdengar sepele, tapi coba bayangkan konteksnya yang sebelum Islam datang, anak perempuan sering dikubur hidup-hidup karena dianggap aib. Nabi Saw justru berdiri untuk menyambut putrinya. Ini menunjukkan penghormatan yang luar biasa.

Bahkan dengan saudara sesusuan, beliau tetap menjaga hubungan baik. Ada delapan perempuan yang pernah menyusui Nabi Saw. Beliau memperlakukan mereka seperti ibu kandung, dan anak-anak mereka seperti saudara kandung. Suatu hari, salah satu dari mereka datang berkunjung dan Nabi Saw melepas kain yang beliau pakai dan membentangkannya di tanah sebagai tempat duduk untuknya.

Pada akhirnya, semua ini adalah tentang kecerdasan sosial. Tentang bagaimana kita membaca situasi, memahami kebutuhan orang lain, dan memberikan respons yang tepat. Bukan soal selalu lembut, atau selalu tegas. Tapi soal tahu kapan harus lembut, dan kapan harus tegas.

Nabi Saw bersabda bahwa orang yang paling dekat dengannya di akhirat kelak adalah mereka yang paling baik akhlaknya. Bukan yang paling banyak ibadahnya, bukan yang paling kaya, tapi yang paling baik dalam memperlakukan orang lain.

Ada kisah yang cukup mengerikan tentang ini. Ada seorang perempuan di zaman Nabi Saw yang terkenal rajin salat dan puasa, tapi ia juga suka menghina tetangganya. Ketika ditanya tentang nasibnya, Nabi Saw menjawab, “Dia akan masuk neraka.” Ibadahnya sempurna, tapi cara memperlakukan orang lain sangatlah buruk.

Di hadis lain, Nabi Saw menyebut orang yang paling bangkrut di akhirat adalah orang yang datang dengan segunung amal baik, tapi ia pernah menghina, menyakiti, atau mengambil hak orang lain. Lalu amal baiknya akan habis dibagikan untuk mengganti kesalahannya, hingga ia tidak punya apa-apa lagi.

Maka, hubungan dengan manusia bukan sekadar urusan sosial. Ini urusan akhirat. Tempat tinggal kita kelak, entah surga atau neraka, bisa dibangun dari cara kita memperlakukan orang-orang di sekitar kita.

Jangan sekali-kali meremehkan senyum ketika bertemu orang, mendengarkan ketika mereka berbicara, dan menghormati hak mereka. Inilah karakter yang seharusnya melekat dalam diri seorang mukmin. Bagaimana tidak? Nabi Saw sendiri lho yang mencontohkannya.

Percayalah, salah satu faktor yang bisa mengantarkan kita mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah cara kita memperlakukan orang lain.

Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts