Beberapa waktu terakhir, netizen diramaikan dengan hal-hal yang lumayan kontroversial. Mulai dari ustadz Abdul Somad yang berpendapat bahwa permainan catur itu haram, reuni 212, komparasi Presiden Sukarno dengan Nabi oleh bu Sukmawati, hingga ceramah Gus Muwafiq yang lumayan ”seram” tentang kondisi kelahiran dan masa kecil kanjeng Nabi SAW.
Pro-kontra seperti ini sebenarnya wajar terjadi di ranah keilmuan agama (kecuali pertanyaan aneh bu Sukmawati), bukan tentang siapa yang mengatakannya, tapi tentang seberapa ilmiah pendapat itu bisa dipertanggung jawabkan. Anehnya, beberapa hal ini ramai karena menjadi perbincangan netizen yang cenderung fanatik buta dan terkesan melihat siapa yang berbicara. Jika yang berbicara adalah kelompoknya, mereka akan membela mati-matian. Tapi jika yang berbicara adalah kubu sebelah, mereka akan membullynya habis-habisan.

Dalam pepatah arab dikatakan, “Perhatikanlah apa yang diucapkan, jangan melihat siapa yang mengucapkan”. Maka jika ada seorang penceramah mengatakan sesuatu yang salah, lawan dengan ilmu. Jika apa yang dikatakannya salah menurut kita, tapi punya landasan ilmiah yang kuat, maka yang diutamakan adalah akhlak dan kelapangan dada dalam menerima perbedaan.
Contoh saja apa yang dikatakan ustad Abdul Somad tentang keharaman catur, referensi ilmiahnya kuat, mayoritas pandangan ulama’ Syafiiyyah yang mu’tabar memang juga demikian. Namun karena pandangan politik beliau berbeda, pendapat ini bisa menjadi bahan bulan-bulanan untuk waktu yang panjang. Bahkan mungkin sampai jadi meme di Twitter. Begitupula sebaliknya, kubu sebelahnya juga suka mencari-cari kesalahan Gus Muwafiq, Kiai Said, dll untuk menjustifikasi kubu lainnya.
Tradisi keilmuan yang menurun, gampang emosian, malas tabayun, merasa paling benar dan mudah mencap orang lain yang bukan kelompoknya adalah salah merupakan beberapa pangkal masalahnya. Hal-hal ini kemudian akan membentuk fanatisme sosok atau kelompok secara berlebihan. Akhirnya, fanatisme kelompok hanya akan menimbulkan perpecahan bila tidak didasari akhlak yang baik dan sikap lapang dada.
Pesantren Sidogiri adalah salah satu contoh pesantren yang sangat saya kagumi, sebagaimana mereka merespon ketidak-cocokan pandangan dengan Kiai Said Aqil dengan mengeluarkan sebuah buku yang khusus untuk menolak beberapa pemikirannya. Disisi lain Kiai Said juga terbuka mendapat kritikan ilmiah, bahkan sering mampir ke Sidogiri untuk menghadiri beberapa acara diskusi disana. Pada dasarnya, mereka yang ‘alim memang lebih mudah untuk menundukkan kepala dan mengutamakan akhlak serta kelapangan dada, sedangkan para pengikutnya yang fanatik, tidak bisa bersikap biasa saja.
Untuk menutup, Imam Syahid Said Ramadan al-Buthi dalam kitabnya Fiqh as-Sirah menyebutkan bahwa perbedaan pendapat yang bertumpu pada fanatisme adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Perbedaan pendapat antara dua orang(kelompok) seharusnya memiliki dalil ilmu yang logis.
Lha terus kudu piye? Yo ora pie-pie, biasa wae. Wallahu a’lam.