Saya rasa semua orang tahu siapa Imam Nawawi, khususnya para santri. Dalam dunia pesantren, kitab-kitab beliau menjadi salah satu rujukan paling otoritatif dalam madzhab Syafi’i. Terbukti jika ada permasalahan-permasalahan fikih, para santri akan berusaha mencari jawabannya dalam karya-karya masterpiece yang beliau tinggalkan. Bahkan beberapa karya beliau seperti Riyadh al-Salihin dan al-Arbain sangat sering dikaji dalam majelis-majelis luar pesantren yang bukan hanya kelompok dalam madzhab Syafi’i saja.
Pengetahuan saya tentang Imam Nawawi mungkin sangat sedikit. Kepingan cerita tentang sang Imami biasanya saya dapatkan dengan membaca ringkasan biografi yang tercantum dalam kitab-kitab karya beliau. Diantara kisahnya yang paling populer adalah perjumpaannya dengan Syaikh Yasin al-Marrakasyi saat Imam Nawawi masih kecil. Diceritakan bahwa saat itu Syaikh Yasin sedang melewati daerah Nawa, kampung asal Imam Nawawi. Dalam perjalanannya, beliau berpapasan dengan sekelompok anak kecil yang mengajak Imam Nawawi untuk bermain, namun ia lebih memilih untuk mengaji. Teman-temannya tidak menyerah, mereka memaksa Imam Nawawi kecil untuk bermain bersama. Karena paksaan itu, Imam Nawawi kecil menangis dan langsung memilih untuk mengaji dalam keadaan hati yang tidak nyaman itu. Syaikh Yasin yang berjumpa dengan Imam Nawawi kecil sangat kagum melihat kejadian itu, sontak saja beliau mendapatkan firasat bahwa suatu saat anak ini (Imam Nawawi) akan menjadi pemimpin para ulama’ di masanya.

Apa yang diperkirakan oleh Syaikh Yasin memang benar-benar terjadi di kemudian hari. Beliau pergi ke Damaskus untuk mondok saat berusia 18 tahun. Dalam satu hari saja, beliau mempelajari 12 fan keilmuan yang berbeda. Fakta ini menunjukkan kesungguhan belajarnya, belum lagi jumlah kitab-kitab yang dihafalnya. Hingga akhirnya Imam Nawawi benar-benar muncul sebagai seorang pakar dalam berbagai bidang keilmuan, yang paling menonjol adalah Ushul Fikih, Fikih, dan Hadits. Imam Nawawi adalah seorang wali besar, ini adalah sebuah fakta yang sama sekali tidak bisa diragukan.
Seminggu terakhir Ramadhan yang lalu, saya membaca buku yang berjudul “An-Nawawi, Sang Wali dan Karya-Karyanya” karya Ustadz Muafa. Buku ini membahas segala hal tentang Imam Nawawi, mulai dari sosoknya, keluarganya, perawakannya, pengakuan ulama’ terhadap kapasitas keilmuan dan kewaliannya, aqidahnya, keadaan politik yang tidak stabil di zamannya, gambaran proses kerja beliau sebagai muharrir madzhab Syafii, hingga resensi karya-karya beliau yang seabrek itu. Hal-hal yang saya sebutkan diatas dibahas bukan hanya berdasar qila wa qola saja. Ada sekitar 90-an kitab yang dijadikan referensi untuk “mengkisahkan” Imam Nawawi dalam 920 halaman, hingga beliau wafat di usia yang masih relatif muda, 45 tahun. Keberkahan usia Imam Nawawi terbukti dari banyaknya karya-karya yang sempat beliau tulis dalam masa waktu yang singkat. Keikhlasan beliau dalam menyebarkan ilmu lebih terbukti lagi, hampir semua karyanya masih dibaca dan dikaji hingga saat ini, beratus-ratus tahun setelah wafatnya sang Imam.
Ngomong-ngomong tentang karya-karya ilmiahnya yang banyak sekali itu, pernah ada seseorang yang menghitung jumlah lembaran kitab-kitabnya untuk kemudian dibagi dengan masa hidupnya. Lalu bagaimana hasilnya? Jika digambarkan dengan bahasa intelektual zaman sekarang, ternyata Imam Nawawi mampu menghasilkan karya tulis yang setara dengan dua jurnal ilmiah level internasional setiap hari! Per hari!
Memang benar kata Syaikh Said Kamali yang pengajiannya saya dengar beberapa waktu lalu via YouTube. Beliau mengatakan, “Seandainya ulama-ulama zaman dulu hidup di masa sekarang, mereka pasti sekolahnya di Harvard, MIT, Cambridge, dll.” aw kama qool.
Wallahu a’lam.