
Ada satu pasal menarik yang dituliskan oleh Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya, yaitu fakta yang “aneh tapi nyata” bahwa mayoritas ulama’ (ilmuwan) dalam sejarah Islam ternyata berasal dari bangsa-bangsa ‘ajam (non-arab). Hal ini berlaku umum, baik dalam ilmu syariat yang berhubungan langsung dengan agama, maupun ilmu tentang logika yang mencakup mantiq, filsafat, astronomi, dll.
Ulama’ yang berasal dari bangsa Arab hampir tidak bisa ditemukan pasca era sahabat dan tabiin, kecuali hanya sedikit. Adapun, beberapa keturunan bangsa Arab di wilayah ‘ajam yang terkenal sebagai ulama’ tidak terhitung jumlahnya. Namun sejatinya mereka tergolong orang-orang ‘ajam juga, karena bahasa ibunya adalah bahasa non-arab, lingkungannya juga ‘ajam, bahkan guru-gurunya pun juga berasal dari golongan ‘ajam. Inilah satu fakta aneh yang mencengangkan. Padahal agama Islam diturunkan di Arab, dan risalahnya diemban oleh seorang Nabi yang Arab juga. Kenapa bisa demikian?
Sebab utamanya adalah ketiadaan konsep keilmuan dan keahlian yang spesifik nan mapan dalam agama. Jika dirunut sejak awal, agama hanya mengandalkan riwayat yang masif, seperti al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah. Sudah begitu, bangsa Arab juga dikenal sebagai bangsa dengan peradaban yang pas-pasan pada saat itu. Buktinya banyak sekali ditemukan golongan sahabat Nabi yang ummi.
Namun, dinamika kehidupan manusia beserta pergerakan peradaban dan kebudayaan bangsa arab sendiri memiliki pengaruh besar, sehingga teks-teks yang mudah dipahami di awal masa peradaban Islam “sangat rawan” disalah pahami karena ada pergeseran makna kata, dll. Di titik inilah akhirnya para ulama’ merumuskan banyak metodologi untuk mendekati teks, baik secara riwayat maupun keilmuan tentang riwayat itu.
Belum lagi ditambah fakta persebaran agama Islam yang sangat pesat ke berbagai penjuru dunia, yang tentunya diperlukan penjelasan, tafsir dan penjagaan otentisitas teks yang sebelumnya lebih banyak dihafal daripada ditulis. Sehingga kemudian hukum-hukum baru yang diproduksi di berbagai tempat tidak menyalahi “pemahaman yang benar” sebagaimana dimaksudkan.
Akhirnya muncullah perangkat-perangkat keilmuan untuk melakukan pendekatan pada al-quran dan sunnah nabawiyah. Sehingga di masa kemudian lahir berbagai cabang ilmu dan metodologi yang benar-benar baru seperti Nahwu, Ushul Fikih, Ilmu hadits, hingga ilmu tafsir.
Lagi-lagi, para ulama’ yang menjadi lakon utama perkembangan ilmu ini adalah kaum ‘ajam. Sekali lagi, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa keahlian adalah sebuah produk dari kemajuan peradaban. Sedangkan bangsa Arab sangat jauh dari peradaban yang mapan, dan keilmuan adalah salah satu indikator kemajuan peradaban yang tidak dimiliki bangsa Arab saat itu.
Dalam ilmu Nahwu (Gramatika arab), tokoh-tokoh awalnya adalah Imam Sibawaih, al-Farisi, dan al-Zajjaj. Mereka semua adalah golongan ‘ajam. Begitu pula dalam bidang hadits dan periwayatannya, hampir semuanya adalah golongan ‘ajam. Para ulama ushul fikih bahkan semuanya adalah ‘ajam. Begitu pula dengan tokoh-tokoh yang masyhur dalam bidang ilmu kalam dan ilmu tafsir.
Berkembangnya dunia keilmuan dan keahlian dalam Islam yang digawangi orang-orang ajam inilah yang kemudian menghantarkan dunia Islam menuju peradaban yang sangat maju dalam ilmu pengetahuan pada abad pertengahan.
Tabik,
Ibnu Mas’ud