Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Imam al-Biqā‘i dan Tafsirnya (Bagian 1)

Al-Qur’ān adalah kitab suci yang diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad  saw sebagai petunjuk bagi umat manusia. Sebagai sebuah petunjuk dari Tuhan, al-Qur’ān  tidak henti-hentinya dikaji dan ditafsirkan sejak masa turunnya hingga saat ini. Berbagai usaha telah dilakukan oleh sarjanawan muslim untuk menguak makna-makna tersirat maupun tersurat dalam untaian kalam ilahi, yang menunjukkan perkembangannya dari masa ke masa.

Salah satu usaha yang dilakukan oleh sebagian kecil sarjana muslim untuk menguak makna tersembunyi dari ayat-ayat al-Qur’ān adalah dengan mengurai hubungan dan ketersinambungan antar bagiannya. Relasi antar bagian al-Qur’ān, yakni antar ayat dan surat ini dikenal dengan istilah munāsabah yang saat ini telah masyhur di kalangan pengkaji al-Qur’ān. Munāsabah telah dibahas dalam beberapa literatur populer dalam diskursus ’ulum al-Qur’ān seperti al-Burhān karya al-Zarkasyi1 (w. 794 H) dan al-Itqān karya al-Suyūṭi2 (911 H).

Al-Zarkasyi dalam al-Burhān menyebutkan bahwa yang pertama kali mempopulerkan ilmu munāsabah di Baghdad adalah Abu Bakr al-Naysābūri (w. 324 H). Diceritakan oleh al-Syahrābāni bahwa ketika dibacakan ayat al-Qur’ān kepadanya, ia berkata di atas kursinya, “Mengapa ayat ini diletakkan bersebelahan dengan ayat ini? Apa hikmah dibalik penempatan surat ini setelah surat ini?”.3 Setelah era itu, muncul Abu Ja’far bin Zubayr (w. 708 H) yang menulis sebuah kitab berjudul al-Burhān fi Tartībi Suwar al-Qur’ān yang fokus membahas tentang ketersinambungan surat-surat al-Qur’ān.4 Kemudian, al-Zarkasyi sendirilah yang melanjutkan usaha untuk menemukan makna tersembunyi dibalik ketersinambungan ayat melalui beberapa lembar ulasan dalam al-Burhān karyanya.5 Al-Suyūṭi yang datang kemudian membahas munāsabah dalam al-Itqān dengan menyebutkan satu kitab tafsir lengkap yang fokus mengupas hubungan antar ayat dan surat dalam al-Qur’ān. Kitab itu bernama Naẓm al-Durār fi Tanāsub al-Āyāt wa as-Suwār yang ditulis oleh Burhān al-Dīn al-Biqā’i.6

Nama al-Biqā’i jika dibandingkan dengan penulis-penulis tafsir lain, terasa kurang populer di Indonesia. Namanya mulai banyak dikenal ketika Quraish Shihab banyak mengutip pendapat al-Biqā’i dalam karyanya, tafsir al-Misbah. Bahkan Quraish Shihab menganggapnya sebagai tokoh yang paling berhasil dalam upayanya membuktikan keserasian hubungan bagian-bagian al-Biqā’i.7

Biografi al-Biqā‘i

Ia bernama lengkap Burhān al-Dīn Abu al-Ḥasan Ibrāhim bin ‘Umar bin Ḥasan al-Rubaṭ bin ‘Ali bin Abu Bakr al-Kharbāwi al-Biqā’i. Ia adalah seorang mufassir besar dengan karya tafsir monumentalnya, Naẓm al-Durār fi Tanāsub al-Āyāt wa as-Suwār yang banyak menguak tentang rahasia ketersinambungan ayat dan surat dalam al-Qur’ān. Ia lahir tepatnya pada tahun 809 H di daerah Biqa‘ yang merupakan nama satu daerah dekat Damaskus, Syiria.8

Al-Biqā‘i menghabiskan masa kecil di kampung halamannya hingga berusia 12 tahun. Ia beserta ibu dan kakeknya kemudian mengungsi karena ada serangan di kampungnya yang menyebabkan ayahnya terbunuh. Ia mulai serius belajar pada masa pelariannya hingga sampailah ia di Damaskus. Di kota ini ia belajar qirā’āt dengan beberapa guru yang salah satunya adalah Ibnu al-Jazari. Setelah dari Damaskus, ia melanjutkan pengembaraannya ke Bayt al-Maqdis. Disini ia mengambil ilmu diantaranya dari Taqiy ad-Din al-Ḥiṣni, Taj al-Gharābili, dan ʼImād bin Syaraf. Setelah itu, ia menuju Kairo untuk belajar dan bermulazamah kepada Ibnu Ḥajar al-ʼAsqalāni. Ia bahkan ikut menemani Ibnu Ḥajar pada perjalanannya ke Aleppo dalam rangka menemani Sultan Barsbay. Di Aleppo, ia juga sempat mengikuti beberapa majelis dan belajar kepada ulama’ disana seperti Burhan ad-Din al-Tharāblisi dan Syihāb ad-Din al-Ramli.9

Setelah dua tahun di Aleppo, ia kembali ke Kairo bersama dengan Ibnu Ḥajar dan belajar lagi dengan beberapa ulama’ lain seperti al-Maqrizi dan al-Masyaddali. Bersama al-Masyaddali ia belajar tafsir dan fiqih madzhab Maliki. Dari al-Masyaddali inilah ia banyak belajar tentang metode mengungkap rahasia ketersinambungan ayat dan surat dalam al-Qur’ān  yang sangat dominan dalam karya tafsirnya di kemudian hari.10

Al-Biqā‘i lalu menetap dalam rentang waktu yang lama di Kairo setelah kepulangannya dari Aleppo. Ia sempat melaksanakan haji pada tahun 848 H dan menetap sebentar di Makkah dan berkunjung ke Madinah. Namun kembali lagi ke Kairo dan melanjutkan mulazamahnya dengan Ibnu Ḥajar hingga tahun 852 H  dan menetap disana hingga tahun 880 H.11 Setelah periode ini ia kembali ke Damaskus hingga akhirnya wafat disana pada tahun 885 H.12

Tentang Tafsir al-Biqā‘i

Kepakaran al-Biqā‘i dalam bidang tafsir dibuktikan dengan karya tafsir monumentalnya yakni Naẓm al-Durār fi Tanāsub al-Āyāt wa as-Suwār yang  merupakan karya tafsir lengkap pertama yang menguak tentang hubungan antar ayat dan surat secara penuh. Kitab ini pertama kali diterbitkan dengan versi cetaknya oleh Majlis Da’irah al-Ma’arif al-Utsmaniyyah di Hyderabad dengan cetakan sejumlah 22 jilid. Jilid pertama terbitan ini diluncurkan pada tahun 1969 M, dan jilid terakhirnya dicetak pada tahun 1983 M. 13

Kitab tafsir ini juga disebut dengan nama lain, yaitu Fatḥu al-Rahmān fi Tanāsubi Ajzā’i al-Qur’ān.14 Ia juga menyebut judul kitab ini dengan nama Turjumān al-Qur’ān wa Mubdī Munāsabāt al-Furqān.15 Di Akhir kitab tafsir ini, al-Biqā‘i memberikan satu nama lain lagi yaitu kitab lamma karena banyaknya penggunaan kata lamma ketika mengindikasikan ketersinambungan ayat dan surat di dalam tafsirnya.16

Kitab Naẓm al-Durār ini mulai ditulis oleh al-Biqā‘i sekitar tahun 861 H. Empat belas tahun kemudian, tepatnya pada tahun 875 H, draft dari kitab ini diselesaikan oleh al-Biqā‘i di Kairo. Ia membuat versi salinan yang lebih baik pada tahun 882 H di Madrasah al-Badra’iyyah Damaskus.17 Sehingga, penulisan kitab tafsir ini baru benar-benar selesai pada masa usia senja al-Biqā‘i.

Naẓm al-Durār fi Tanāsub al-Āyāt wa as-Suwār, sesuai namanya didominasi oleh penafsiran al-Biqā‘i terhadap keterkaitan serta ketersinambungan antar ayat dan surat dalam al-Qur’ān atau yang dikenal sebagai ilmu munāsabat dalam diskursus ‘Ulum al-Qur’ān. Ia menyatakan bahwa ilmu munāsabat adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui sebab-sebab pengurutan (ayat dan surat) dalam al-Qur’ān yang objeknya adalah bagian-bagian yang dikehendaki untuk diketahui ketersinambungannya berdasarkan urutannya. Sehingga, manfaatnya adalah untuk mengetahui kedudukan satu bagian dari ketersinambungannya dengan bagian lain yang ada sebelum dan sesudahnya.18

Al-Suyūṭi dalam kitabnya al-Itqān fi ‘Ulum al-Qur’ān  mengapresiasi apa yang telah diusahakan al-Biqā‘i dengan tafsir Naẓm al-Durār fi Tanāsub al-Āyāt wa as-Suwār. Hal ini karena ilmu munāsabat yang mendominasi karya tafsir al-Biqā‘i adalah ilmu yang sangat jarang diperhatikan oleh para ahli tafsir karena kerumitannya.19

Meskipun ilmu munasabah mendominasi karya tafsir al-Biqā‘i, bukan berarti ia tidak mengandalkan sumber-sumber lain sebagai referensi penulisan kitab ini. Dalam tafsir ini banyak sekali ditemukan referensi hadis yang berasal dari berbagai kitab utamanya kutub al-sittah dan beberapa kitab lain seperti Muwaṭṭa’, Musnad al-Bazzār, dan lainnya. Selain itu, ia juga banyak mengutip perkataan para sahabat dalam kitabnya, seperti Ibnu ‘Abbas, Abu Bakar, ‘Umar bin Khattāb,  dan Ali bin Abi Ṭālib. Ia juga mengutip pendapat para tābi‘īn seperti Mujāhid, Ḥasan al-Baṣri, dan selainnya.20

Adapun kitab-kitab tafsir yang menjadi rujukannya antara lain adalah Tafsir Ṭabari, Ṣa‘labi, Zamakhsyari, al-Wāhidi, al-Baghawi, al-Rāzi, al-Baiḍāwi, al-Harāli, Abu Hayyān, dan lainnya. Rujukan dalam ‘ulum al-Qur’ān  juga beragam, diantaranya al-Waqf wa al-Ibtidā’ karya al-Anbāri, Asbāb al-Nuzūl karya al-Wāhidi, al-Burhān karya al-Zarkasyi, dan lainnya. Dalam pembahasan ushul fiqih ia merujuk pada beberapa kitab seperti Al-Risālah dan Ikhtilāf al-Hadīts oleh Imam Syāfi’i, Syarh Jam‘u al-Jawāmi‘ karya al-Maḥalli, dan al-Talwīh karya al-Taftazāni.21

Pembahasan tauhid dalam tafsirnya banyak merujuk pada kitab Syarh ‘Aqā’id Nasafiyah dan Syarh al-Maqāshid karya al-Taftazāni, al-Asmā’ wa aṣ-Ṣifāt karya al-Baihaqi dan lainnya. Sedangkan untuk fiqih, ia banyak merujuk pada kitab-kitab induk dalam madzhab Syāfi’i seperti al-Umm, kitab karangan al-Nawawi dan selainnya. Ia juga mengambil dari al-Kitāb karya Sibawaih dan lainnya dalam permasalahan bahasa dan balāghah. Selain itu, ia juga menggunakan Sīrah Ibnu Ishāq, Sīrah Ibnu Hisyām dan selainnya sebagai referensi utama dalam sejarah. Beberapa bagian dari kitab tafsirnya juga memuat pendapat para Ṣūfi, dan uniknya ditemukan pula beberapa referensi yang mengambil isrā’iliyyāt dari Taurat dan Injil dengan cara mengutip langsung yang insya Allah akan dibahas dalam artikel terpisah.22

Lalu bagaimanakah metode al-Biqā‘i dalam menafsirkan ayat al-Qur’ān dalam Naẓm al-Durār fi Tanāsub al-Āyāt wa as-Suwār? Kita lanjutkan di bagian 2.

Tabik,
Ibnu Mas’ud

Catatan Kaki:

1 al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2018), hal. 41.
2 Al-Suyūṭi, al-Itqān fi ‘Ulum al-Qur’ān  (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2019), hal. 470.
3 al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm…, hal. 42.
4 al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm…, hal. 41.
5 al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm…, hal. 44-49.
6 Al-Suyūṭi, al-Itqān fi ‘Ulum…, hal. 470.
7 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah vol. 1 (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2005), hal. xxviii.
8 al-Biqā‘i, An-Nukat al-Wafiyyah Juz I (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2007), hal. 9-10. Lihat juga: al-Suyūṭi, Naẓm al-‘Iqyan fi A’yān al-A’yān (Beirut: Maktabah Ilmiyyah, 1927), hal. 24. Lihat juga: al-Sakhāwi, Aḍ-Ḍau’ al-Lāmi’ li Ahli al-Qarn al-Tasi’ Juz I (Beirut: Dar al-Jil, t.t.), hal. 101.
9 al-Sakhāwi, Aḍ-Ḍau’ al-Lāmi’ li Ahli…, hal. 101-102. Lihat juga: Mahmud Taufiq Muhammad, Imam al-Biqā‘i: Jihāduhu wa Minhajuhu Ta’wīlihi Balaghāt al-Qur’ān (Kairo: Maktabah Wahbah, 1424 H), hal. 14-18.
10 Mahmud Taufiq Muhammad, Imam al-Biqā‘i: Jihāduhu…, hal. 18.
11 Mahmud Taufiq Muhammad, Imam al-Biqā‘i: Jihāduhu…, hal. 19.
12 al-Sakhāwi, Aḍ-Ḍau’ al-Lāmi’ li Ahli…, hlm. 107. Lihat juga: al-Biqā‘i, An-Nukat al-Wafiyyah Juz I…, hal. 20.
13 Akram Abdul Wahhab al-Maushili, Al-Imām al-‘Allāmah Burhan ad-Din al-Biqā‘i wa Manhajuhu fi at-Tafsīr (Amman: Dar al-Fath, 2014), hal. 73.
14 Al-Biqā‘i, Naẓm al-Durār fi Tanāsub al-Āyāt wa as-Suwār Juz I (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2020), hal. 5.
15 Al-Biqā‘i, Naẓm al-Durār fi Tanāsub…Juz I, hal. 5.
16 Al-Biqā‘i, Naẓm al-Durār fi Tanāsub…Juz VIII, hal. 621.
17 Al-Biqā‘i, Naẓm al-Durār fi Tanāsub…Juz VIII, hal. 620.
18 Al-Biqā‘i, Naẓm al-Durār fi Tanāsub… Juz I, hal. 5.
19 Al-Suyūṭi, al-Itqān fi ‘Ulum…, hal. 470.
20 Akram Abdul Wahhab al-Maushili, Al-Imām al-‘Allāmah Burhan ad-Din…, hal. 125-142.
21 Akram Abdul Wahhab al-Maushili, Al-Imām al-‘Allāmah Burhan ad-Din…, hal. 143-161.
22 Akram Abdul Wahhab al-Maushili, Al-Imām al-‘Allāmah Burhan ad-Din…, hal. 143-161.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts