Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Antara Kita dan Generasi Hijrah

Tahun hijriah, meskipun baru diresmikan belakangan (setelah kanjeng Nabi wafat), tidak bisa dilepaskan dari peristiwa penting dalam sejarah Islam, yaitu hijrah nabawi dari Makkah menuju Madinah. Peristiwa ini menjadi pondasi penting peradaban Islam sekaligus lahirnya Daulah Islamiyyah yang sering kita bangga-banggakan dalam berbagai forum sejarah.

Namun, banyak dari kita tidak melihat peristiwa hijrah demikian. Sebagian besar dari kita mungkin hanya merasa ini perayaan tahun baru biasa, dan libur nasional. Padahal, menurut Syaikh al-Buthi rahimahullah, perayaan ini seharusnya dimaknai sebagai pembaruan hubungan dengan Allah Swt. “Pembaruan baiat (janji setia) terhadap agama-Nya dalam semua tingkatannya,” sebut beliau.

Maka, sudah sepantasnya kita merenung, meskipun “tipis-tipis.” Mari kita lihat kembali momen hijrah nabawi itu, dan mulai bertanya pada diri sendiri: seberapa tulus sih keislaman dan keimanan kita ini? Pertanyaan ini mungkin terdengar klise dan ndakik-ndakik, tapi percayalah, Syaikh al-Buthi dalam sebuah kajiannya justru membongkar kepalsuan yang sering kita sembunyikan di balik label ke-“muslim”-an kita.

Syaikh al-Buthi dengan tegas mengisyaratkan bahwa Islam dan iman bukan sekadar wishful thinking dan penampilan lahiriah yang menipu mata. Keduanya (Islam dan iman) juga bukan rangkaian kata indah yang kita ucapkan begitu saja tanpa adanya beban pertanggung jawaban. Kenyataannya, banyak dari kita yang masih stuck dan terjebak di level ini.

Kita mungkin hafal ayat-ayat tentang perintah salat hingga jihad, tapi ketika diminta bangun subuh untuk shalat, kita masih bergumul dengan selimut. Kita mungkin juga sangat fasih berbicara tentang infaq fi sabilillah, tapi ketika ada penggalangan dana untuk korban bencana, kita sibuk menyiapkan beribu alasan. Kita mungkin juga bangga menyebut diri sebagai Muslim, tapi ketika ada kesempatan untuk berbuat curang demi keuntungan, ternyata begitu mudahnya kita tergoda.

Syaikh al-Buthi menjelaskan bahwa ujian ketulusan iman datang dalam bentuk yang sangat konkret. Beliau mengajak kita membayangkan sedang berdiri di depan pegunungan syahwat dan hawa nafsu yang menghadang seperti tembok raksasa. Di sana, kita hanya dihadapkan pada dua pilihan: mundur dengan mengorbankan iman yang kita klaim, atau maju dengan mengorbankan keinginan pribadi demi Allah Swt.

Ketika dua pilihan ini masih di angan-angan, mungkin kita akan dengan mantap memilih untuk terus maju dengan mengorbankan keinginan pribadi. “Apapun ku relakan, demi gusti Allah Swt!” kira-kira begitulah gumam batin kita. Namun, realitas yang menyakitkan adalah, banyak dari kita yang lebih suka mengambil jalan pintas. Kita pilih aspek-aspek Islam yang enak dan ndak ribet. Shalat Jumat? Oke, itu gampang dan ada jamaahnya. Puasa Ramadan? Semua orang juga puasa, jadi ikut aja. Tapi ketika diminta untuk jujur dalam bisnis padahal bisa rugi, atau diminta untuk adil padahal bisa kehilangan kepentingan, kita mulai mencari-cari celah dan dalih.

Lalu, apa kaitannya semua ini dengan generasi hijrah? Apa hubungan kita dengan mereka? Itulah poin pentingnya. Pertanyaan ini adalah inti refleksi kita untuk menilai, siapa kita jika dibandingkan dengan generasi terbaik umat ini? Sejauh mana jarak kita dengan mereka? Mungkinkah kita bisa mengikuti jejak-jejak mereka?

Para sahabat yang hijrah itu bukan super hero. Mereka manusia biasa seperti kita, punya keluarga, harta, dan kenyamanan hidup yang telah dibangun bertahun-tahun lamanya. Bedanya, ketika diminta memilih antara iman dan berbagai hal itu, mereka memilih iman. Ini fakta! Bukan sekedar angan-angan seperti yang kita bayangkan sebelumnya. Mereka rela tinggalkan kota Makkah yang sudah jadi rumah selama puluhan tahun. Mereka lepaskan bisnis dan harta benda yang telah dikumpulkan dengan susah payah. Mereka bahkan dengan kesadaran penuh, rela mengorbankan status sosial dan “relasi” demi mempertahankan Islam dan imannya.

Hasilnya? Allah Swt mengganti semua yang mereka korbankan dengan yang lebih baik. Negeri yang mereka tinggalkan diganti dengan banyak negeri lain. Sedikit harta yang telah hilang diganti dengan kekayaan yang didapatkan dari imperium Romawi dan Persia. Perpecahan dan kesulitan yang dahulu mereka alami berubah jadi persatuan, solidaritas, dan kekuatan yang luar biasa.

Sementara kita? Kita hidup di zaman yang jauh lebih mudah. Tidak ada yang mengusir kita dari rumah karena mendirikan salat. Tidak ada yang menyita harta kita karena membayarkan zakat. Tidak ada yang melarang kita membaca Al-Quran. Tapi dengan berbagai kemudahan ini, kita justru lebih memilih hawa nafsu dan keinginan duniawi.

Jika memang begitu keadaan kita. Maka benarlah Syaikh al-Buthi ketika menyatakan bahwa kita tidak punya hak untuk menuntut hasil serupa yang Allah Swt berikan kepada generasi hijrah. Kita tidak sepantasnya mengeluh tentang kelemahan umat Islam, wong kontribusi nyata kita masih nol besar. Kita seharusnya juga tidak berhak mempertanyakan dimana pertolongan Allah Swt, jika kita sendiri masih belum serius membantu sesama Muslim.

Pertanyaan paling menohok yang diajukan Syaikh al-Buthi adalah, “Apa yang sudah kalian lakukan sehingga kalian berani mengangkat tangan meminta kepada Allah?” Pertanyaan ini seperti tamparan keras yang seharusnya membangunkan kita dari tidur ini. Alih-alih punya kontribusi nyata, kita justru lebih sering menuntut tanpa urun apapun. Kita sangat rajin meminta pertolongan kepada Allah Swt, tapi di waktu bersamaan juga enggan menolong sesama. Kita juga selalu mengharapkan kemajuan umat, tapi juga sangat malas untuk memberikan kontribusi yang nyata.

Bukan berarti kita harus putus asa atau merasa tidak layak jadi Muslim. Sebaliknya, ini justru kesempatan untuk mulai serius dengan keislaman dan keimanan kita. Mulai dari hal-hal kecil seperti jujur dalam pekerjaan meski resikonya rugi, gampangan membantu tetangga yang sedang susah walaupun sedang repot, punya komitmen menegakkan kebenaran meskipun akan ndak kondang (tidak populer).

Rombongan generasi hijrah sudah menunjukkan standar ketulusannya dalam beragama. Mereka ndak cuma bicara tentang iman, tapi membuktikan melalui pengorbanan nyata. Sekarang, giliran kita untuk membuktikan bahwa klaim keislaman kita bukan hanya label thok. Ya walupun kita memang ndak bisa mengulang sejarah hijrah, setidaknya kita bisa meniru semangat pengorbanan dan ketulusan mereka sesuai dengan konteks zaman kita. Laqad kāna fī qaṣaṣihim ‘ibratun li ulī al-albāb

Wallahu a‘lam

* Refleksi atas kajian Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi rahimahullah yang ditonton via YouTube.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts