Tahun berganti, kalender hijriah memasuki babak baru. Tapi apakah diri kita ini ikut berganti? Atau, kita masih orang yang sama dengan berbagai kebiasaan lama, sifat lama, bahkan dosa lama? Mumpung suasana tahun baru hijriah belum lewat-lewat banget, mari kita coba renungkan makna hijrah, sekali lagi.
Jika pada pembahasan sebelumnya kita sudah mencoba “ngoco” (bercermin) dengan membandingkan diri kita dan generasi hijrah, kali ini kita coba melihat hijrah sebagai fenomena metafisik. Pada satu sisi, hijrah memang perjalanan fisik dari satu kota menuju kota lain dengan tujuan untuk berpindah. Namun, menurut Syaikh Yusri Jabr, hijrah adalah perjalanan rohani yang tidak pernah berhenti sepanjang kita bernafas di dunia ini.
Kedua sisi ini, baik makna yang fisik dan metafisik, sebenarnya tidak saling bertentangan. Keduanya sama-sama berperan sebagai permulaan, bukan sebagai tujuan. Seperti sudah diulas sebelumnya, hijrah fisik ini menjadi pondasi lahirnya kekuatan besar Islam yang berlangsung berabad-abad kemudian dalam berbagai lini kehidupan, utamanya keilmuan. Lalu, bagaimana dengan hijrah yang bersifat non fisik ini?
Mari kita coba bayangkan bahwa jiwa kita ini seperti sebuah bangunan bertingkat. Lantai paling bawah adalah tempat jiwa yang mengajak kepada kejahatan (al-nafs al-ammārah) tinggal. Di sinilah sifat-sifat buruk berkumpul: tamak seperti cacing kelaparan, rakus seperti api yang melalap kayu kering, penakut ketika menghadapi kebenaran, mudah panik saat diuji, bodoh dalam memilah prioritas, dan zalim kepada diri sendiri maupun orang lain. Bahkan, Allah Swt sendiri yang menggambarkan sifat-sifat mengerikan ini dalam Al-Quran.
Jika kita sudah sadar betapa menakutkannya berada di lantai paling bawah ini, maka sudah saatnya kita “boyongan” dari lantai terendah itu. Naik ke tingkat yang lebih tinggi, tempat jiwa yang selalu menyesali kesalahan (al-nafs al-lawwāmah) berada. Pada tahap ini, kita akan mudah resah saat melakukan kesalahan, ada rasa tidak nyaman saat menjauh dari kebaikan. Seolah-olah ada suara batin yang terus mengingatkan: “Ini belum cukup, kamu masih bisa jadi lebih baik.”
Perasaan belum cukup ini akan mendorong kita untuk “boyongan”lagi. Sehingga kita akan terpacu untuk naik ke lantai berikutnya, al-nafs ar-radiyah, tempat dimana jiwa yang rela dan lapang menerima segala ketetapan-Nya. Lalu menuju al-nafs al-mardhiyyah, jiwa yang tidak hanya rela, tetapi juga diridhai oleh Allah Swt. Setelah itu, al-nafs al-muthma’innah, jiwa yang tenang dan tidak lagi terguncang oleh godaan-godaan dunia. Kemudian al-nafs al-kamilah, jiwa yang utuh dan matang dalam keimanan serta kebaikan. Hingga akhirnya sampai pada puncaknya, al-nafs al-mulhamah, jiwa yang telah dianugerahi ilham. Pada tahap ini, hati menjadi jernih dan mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, seakan memiliki kompas batin yang selalu mengarah pada kebenaran.
Dalam keterangan Syaikh Yusri, hijrah ini bukan proses sekali jalan lalu selesai. Ini adalah kondisi permanen. Setiap detik, setiap tarikan nafas, adalah kesempatan untuk hijrah. Dari marah ke sabar, dari iri ke syukur, dari putus asa ke optimis. Hidup ini pada dasarnya adalah rangkaian hijrah kecil-kecil yang tidak pernah putus.
Rasulullah adalah Sang Muhajir yang Sempurna
Jika kita merasa berat melakukan hijrah, coba lihat dan perhatikan Rasulullah Saw. Beliau adalah contoh nyata bagaimana menjalani hidup dalam kondisi hijrah yang continuous alias berkelanjutan. Bayangkan seseorang yang setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit hidupnya dihabiskan untuk grow up dan naik ke level yang lebih baik. Itulah hijrah-nya kanjeng Nabi Saw.
Tapi tunggu dulu. Perjalanan hijrah Nabi Saw bukan seperti jalan tol yang mulus. Jika diandaikan, sepertinya lebih tepat jika digambarkan bahwa hijrah Nabi Saw seperti mendaki gunung tertinggi di dunia sambil dihantam badai dan diserang binatang buas. Syaikh Yusri menggambarkan kehidupan Nabi Saw sebagai kehidupan tersulit yang pernah dialami makhluk yang diberikan taklif di atas muka bumi. Lebih sulit dari semua Nabi, lebih sulit dari semua orang saleh, lebih sulit dari siapa pun.
Mengapa begitu? Karena jabatan tertinggi selalu disertai tanggung jawab terberat. Seperti seorang CEO perusahaan multinasional yang beban pekerjaan dan psikologisnya sangat jauh berbeda dengan karyawan biasa. Nabi Muhammad Saw adalah “CEO” seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Beliaulah manusia yang diciptakan dalam bentuk terbaik (ahsan al-taqwīm), insan kamil dalam segala aspeknya. Makanya, ujian hidupnya pun luar biasa berat.
Coba kita bandingkan dengan Nabi lainnya. Nabi Ayub misalnya, beliau diuji kehilangan anak, harta, dan kesehatan. Sudah berat banget, kan? Tapi Nabi Muhammad Saw juga mengalami semua itu, ditambah lagi pengkhianatan keluarga terdekat, dan beban menyampaikan risalah untuk seluruh dunia hingga datangnya kiamat. Orang-orang yang paling dekat dengannya justru menjadi musuh terbesar. Mereka tidak hanya memerangi, tapi juga menghasut massa untuk membencinya, bahkan menjanjikan hadiah untuk siapa saja yang berhasil menyingkirkannya.
Dalam kondisi seperti itu, apa yang dilakukan Nabi? Menyerah? Mengeluh? Justru sebaliknya. Sayyidina Ali Ra yang hidup satu rumah dengan beliau menggambarkan bahwa Nabi Saw tidak pernah punya waktu untuk istirahat. Setiap saat selalu ada kesibukan, dan setiap detik digunakannya untuk terus bergerak maju.
Bahkan ketika tidur, hati Nabi Saw tetap terjaga. Beliau bersabda:
إنَّ عينيَّ تنامان ولا ينامُ قلبي
“Sesungguhnya kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.”
Subhanallah. Coba kita angen-angen, apakah tidur beliau nyenyak? Cukup istirahatnya? tapi begitulah koneksi yang tidak pernah terputus dengan Allah Swt. Tidak ada istirahat yang benar-benar istirahat kecuali ketika tugas hidup di dunia telah usai.
Allah Swt pun memberikan jaminan kepada beliau:
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَىٰ
“Dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang.”
Sehingga setiap saat yang datang kepada Nabi selalu lebih baik dari saat sebelumnya. Bayangkan hidup yang setiap detiknya adalah versi upgrade dari detik sebelumnya!
Hijrah Lahir dan Batin
Sekarang pertanyaan pentingnya, bagaimana kita bisa mengikuti jejak muhajir agung ini? Dan harus dimulai dari mana?
Nabi Saw pernah bersabda:
لا هجرة بعد الفتح، ولكن جهاد ونية
“Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, tetapi ada jihad dan niat.”
Maksudnya, setelah Makkah ditaklukkan, tidak ada lagi kewajiban hijrah fisik dari Makkah ke Madinah. Tapi beliau juga bersabda:
المهاجرُ من هجر ما نهى اللهُ عنه
“Muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah Swt.”
Sabda ini seharusnya cukup untuk menyadarkan kita. Hijrah itu masih ada, malah akan terus ada sampai kiamat. Hijrah dari maksiat ke ketaatan, dari akhlak yang buruk ke akhlak yang mulia, dari lalai ke ingat, dan lainnya.
Tapi hijrah fisik juga masih relevan. Jika kita tinggal di tempat yang memaksa kita bermaksiat, yang membuat kita tidak bisa menjalankan agama dengan tenang, maka hijrah-lah. Jangan berkompromi dengan kehinaan. Syaikh Yusri menegaskan bahwa bumi Allah Swt luas, cari tempat di mana ada keamanan untuk diri dan agama kita.
Coba lihat Rasulullah Saw. Makkah adalah kota kelahirannya, tempat yang paling dicintainya. Tapi demi menjaga agama, beliau rela meninggalkannya. Ini mengajarkan bahwa cinta kepada Allah Swt harus mengalahkan cinta kepada tempat, bahkan kampung halaman sekalipun.
Menariknya, hijrah itu harus menyeluruh, lahir dan batin. Dimensi lahir adalah tubuh yang berinteraksi dengan manusia. Sedangkan dimensi batin adalah hati yang dilihat Allah Swt. Keduanya harus bersih.
Allah berfirman:
وذروا ظاهر الإثم وباطنه
“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi.”
Jangan sampai kita bermuka manis di depan orang, tapi hati penuh dengki. Jangan sampai kita rajin salat di masjid, tapi di rumah berbuat maksiat. Jangan sampai kita tampil alim di media sosial, tapi dalam hati menyimpan rasa dendam dan iri.
Ketika kita merenungkan semua ini, kita akan sadar betapa seringnya kita mengeluhkan masalah-masalah sepele. Macet di jalan saja sudah bikin stress, apalagi ujian hidup yang sesungguhnya. Padahal cobaan yang kita hadapi ini hanyalah setetes air dibanding lautan cobaan yang dihadapi Nabi Saw. Beliau tidak mengeluh, malah semakin dekat dengan Allah Swt.
Kunci utamanya adalah memohon pertolongan kepada Allah Swt. Setiap hari dalam salat kita membaca:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.”
Orang yang benar-benar memohon pertolongan kepada Yang Maha Kuasa tidak akan pernah putus asa. Karena ia tahu bahwa ndak ada satu pun yang mustahil bagi Allah Swt.
Syaikh Yusri juga mengajak kita merealisasikan kalimat:
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
“Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah.”
Jika lalai sesaat, mari ingat-ingat Nabi Saw. Coba baca sirahnya, bergaul dengan orang-orang saleh, dan duduk dengan para wali. Mereka pasti akan mengingatkan dan mengulurkan tangannya untuk membantu agar kita tidak tersesat.
Jika renungan ini bisa dipahami dengan baik oleh masing-masing dari kita, maka kita akan menjadi muhajir sejati yang hijrah setiap hari, setiap saat, dan bahkan dalam setiap tindakan. Bukan hijrah yang sekali lalu berhenti, tapi hijrah yang tidak pernah berakhir hingga bertemu Allah Swt dengan hati yang selamat.
Jika kita datang kepada Allah Swt dengan hati yang bersih, pantesnya kita ya berbahagia, karena tidak akan ada kesedihan lagi selamanya. Ketika perjalanan hidup berakhir nanti, akan ada pengumuman untuk kita: “Selamat datang di rumah yang sesungguhnya. Sekarang kalian boleh beristirahat.”
Mungkin inilah hijrah sebenarnya, yang menjadi gaya hidup keseharian kita untuk berkembang menjadi manusia yang lebih baik, lebih baik, dan terus lebih baik. Sampai akhirnya ajal menjemput kita. Illā man atā Allāh bi qalbin salīm…
* Tulisan ini disarikan dari salah satu khutbah Syaikh dr. Yusri Rusydi Jabr

Tinggalkan komentar