Setelah membahas hierarki metodologi dan prinsip-prinsip yang dipegang Ibnu Katsir, pembahasan berikutnya mengarah pada contoh-contoh faktual dari sikap para salaf ketika berinteraksi dengan Al-Qur’an dalam konteks tafsir. Selain menyusun metodologi secara teoritis, Ibnu Katsir juga melengkapinya dengan contoh-contoh konkret dari para salaf yang menggambarkan penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam praktik.
Para salaf yang notabene paling dekat dengan sumber Al-Qur’an ternyata justru menunjukkan sikap yang sangat berhati-hati dan rendah hati dalam menafsirkannya. Sikap ini memperkuat argumen bahwa memahami Al-Qur’an bukan sekadar masalah teknis penafsiran, tetapi juga menyangkut sikap dan karakter (attitude) yang tepat.
Contoh-Contoh Sikap Para Salaf
Abu Bakar al-Siddiq
Ketika Abu Bakar ditanya tentang makna kata “abban” dalam ayat “wa fākihatan wa abban“, reaksi beliau menunjukkan kehati-hatian yang luar biasa:
أي سماء تظلني وأي أرض تقلني إذا أنا قلت في كتاب الله ما لا أعلم
“Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan menanggungku jika aku berkata tentang Kitab Allah apa yang tidak aku ketahui.“
Metafora yang digunakan Abu Bakar menunjukkan betapa beratnya konsekuensi berbicara tentang Al-Qur’an tanpa ilmu yang memadai. Meskipun Abu Bakar adalah khalifah pertama dan sahabat terdekat Nabi Saw, beliau tetap menunjukkan sikap yang sangat hati-hati terhadap hal yang tidak beliau ketahui dengan pasti.
Umar bin Khattab
Umar memiliki pengalaman serupa dengan ayat yang sama, namun responnya menampilkan sisi self-awareness yang tinggi:
هذه الفاكهة قد عرفناها فما الأب ثم رجع إلى نفسه فقال إن هذا لهو التكلف يا عمر
“Buah-buahan ini telah kita ketahui, tetapi apa itu ‘abb’?” Kemudian ia berkata kepada dirinya sendiri: “Sesungguhnya ini adalah sikap memaksakan diri, wahai Umar.“
Konsep “al-takalluf” yang disadari oleh Umar menunjukkan kemampuan untuk mengenali perbedaan antara rasa ingin tahu yang natural dengan keinginan untuk tampak mengetahui segala hal. Umar menyadari bahwa ada batas yang tidak boleh dilampui dalam upaya memahami Al-Qur’an.
Abdullah bin Abbas
Sikap Ibn Abbas yang digelari “Turjumān al-Qur’ān” juga menunjukkan attitude kerendahan hati yang luar biasa. Ketika ditanya tentang “satu hari yang nilainya seribu tahun,” beliau menyebutkan ayat lain yang menyebutkan “sehari yang kadarnya 50.000 tahun,” lalu mengakhirinya dengan statemen yang tegas:
هما يومان ذكرهما الله تعالى في كتابه الله أعلم بهما
“Keduanya adalah dua hari yang disebutkan Allah Ta’ala dalam kitab-Nya. Allah lebih mengetahui tentang keduanya.“
Penggunaan frasa “Allah a’lam” oleh Ibn Abbas menunjukkan pengakuan terhadap keterbatasan pemahaman manusia dan adanya dimensi-dimensi tertentu dalam Al-Qur’an yang berada di luar jangkauan akal manusia.
Sa’id bin Musayyab
Sa’id bin Musayyab, salah satu tokoh tabi’in terkemuka, memiliki prinsip yang sangat hati-hati:
إنا لا نقول في القرآن شيئا
“Sesungguhnya kami tidak berkata apa-apa tentang Al-Qur’an.“
Riwayat lain menyebutkan bahwa Sa’id bin Musayyab tidak berbicara kecuali tentang yang memang sudah jelas dan diketahui dari Al-Qur’an. Prinsip ini menunjukkan komitmen pada pendekatan “better safe than sorry” dalam berinteraksi dengan firman Allah Swt.
Prinsip Keseimbangan
Ibnu Katsir juga menekankan bahwa sikap hati-hati tidak boleh berlebihan hingga menyebabkan penolakan total untuk menyampaikan ilmu. Terdapat keseimbangan yang harus dijaga antara kehati-hatian dan kewajiban menyampaikan ilmu, sebagaimana firman Allah Swt:
لتبيننه للناس ولا تكتمونه
“Supaya kamu menerangkannya kepada manusia dan janganlah kamu menyembunyikannya.“
Ibnu Katsir juga mengutip hadis yang memberikan peringatan terhadap penyembunyian ilmu:
من سئل عن علم فكتمه ألجم يوم القيامة بلجام من نار
“Barangsiapa yang ditanya tentang ilmu kemudian menyembunyikannya, maka dia akan dikekang pada hari kiamat dengan kekang dari api.“
Keseimbangan ini menuntut adanya self-awareness yang tinggi tentang batasan pengetahuan. Ketika seseorang mengetahui sesuatu dengan pasti, ia berkewajiban menyampaikannya. Sebaliknya, ketika tidak mengetahui, kejujuran untuk mengakui ketidaktahuan menjadi sikap yang lebih tepat.
Klasifikasi Tafsir Ibn Abbas
Untuk memberikan kerangka yang lebih jelas, Ibnu Katsir mengutip klasifikasi tafsir yang dinisbatkan kepada Ibn Abbas:
التفسير على أربعة أوجه وجه تعرفه العرب من كلامها وتفسير لا يعذر أحد بجهالته وتفسير يعلمه العلماء، وتفسير لا يعلمه إلا الله
“Tafsir terbagi menjadi empat aspek: aspek yang diketahui bangsa Arab dari bahasa mereka, tafsir yang tidak ada seorang pun yang dimaafkan karena ketidaktahuannya, tafsir yang diketahui oleh para ulama, dan tafsir yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.“
Klasifikasi ini memberikan pemetaan yang jelas tentang tingkatan pemahaman Al-Qur’an. Level pertama mencakup pengetahuan bahasa Arab umum. Level kedua adalah ajaran-ajaran dasar yang wajib diketahui semua Muslim. Level ketiga adalah domain para ulama yang memiliki keahlian khusus. Level keempat adalah wilayah eksklusif Allah Swt yang berada di luar jangkauan manusia.
Framework ini mencegah seseorang melampaui batas kapasitasnya dan memberikan panduan yang jelas tentang siapa yang berhak berbicara tentang apa dan sampai level mana.
Konsistensi Prinsip
Sikap para salaf menunjukkan konsistensi antara pengetahuan yang dimiliki dan sikap yang ditampilkan. Semakin tinggi kedudukan dan ilmu seseorang, semakin tinggi pula kesadaran akan keterbatasannya. Hal ini bertentangan dengan kecenderungan di mana orang yang sedikit tahu justru merasa paling percaya diri untuk berbicara.
Para salaf juga menunjukkan kemampuan untuk mengenali diri ketika hampir terjebak dalam sikap memaksakan diri (al-takalluf). Introspeksi dan kontrol diri menjadi bagian integral dari pendekatan mereka terhadap Al-Qur’an.
Kesimpulan
Sikap para salaf dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an menunjukkan keseimbangan antara intellectual humility dan komitmen pada penyampaian ilmu. Mereka menyadari bahwa mengakui ketidaktahuan adalah tanda kebijaksanaan, bukan sebuah kelemahan. Sebaliknya, memaksakan diri untuk berbicara tentang hal yang tidak diketahui adalah bentuk ketidakjujuran intelektual.
Klasifikasi Ibn Abbas tentang empat level tafsir juga memberikan framework yang jelas untuk mengenali batasan dan mencegah pelampauan batas yang ditentukan. Pendekatan ini menunjukkan bahwa memahami Al-Qur’an adalah proses yang berkelanjutan dengan tuntutan konsistensi, pemikiran kritis, dan sikap rendah hati. Maka, attitude seperti inilah yang selayaknya perlu dimiliki oleh siapa saja yang hendak berinteraksi dengan Al-Qur’an, utamanya dalam konteks tafsir.
Wallāhu a’lam bi al-ṣawāb
Tabik,
Ibnu Mas’ud
* Artikel ini disarikan dari pembacaan dan refleksi penulis terhadap bagian muqaddimah dari kitab Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm karya Abū al-Fidā’ Ismā‘īl Ibn Kaṡīr al-Dimasyqī (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2018).

Tinggalkan komentar