Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Kritik Syaikh Ahmad Syakir Terhadap Isrā’īliyyāt dalam Tafsir Ibnu Katsir

Pembahasan terakhir dari serial ini mengarah pada kritik yang diajukan oleh Syaikh Ahmad Syakir terhadap framework isrā’īliyyāt Ibnu Katsir. Kritik ini merupakan bentuk evaluasi serius yang mempertanyakan dasar-dasar penggunaan isrā’īliyyāt dalam tradisi tafsir yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Syaikh Ahmad Syakir, seorang ulama kontemporer yang dikenal karena keahliannya dalam kritik hadis dan tafsir, menulis kritik khusus mengenai isrā’īliyyāt dalam bukunya ‘Umdah al-Tafsīr, yang merupakan ringkasan tafsir Ibnu Katsir. Beliau melihat adanya kesenjangan besar antara “diperbolehkan menceritakan” dengan “menjadikannya sebagai tafsir Al-Qur’an.”

Kritik Fundamental: Membedakan Rukhṣah dan Tafsir

Syaikh Ahmad Syakir memulai dengan menunjukkan distingsi yang tegas antara kebolehan menceritakan isrā’īliyyāt dan menggunakannya dalam tafsir:

إن إباحة التحدث عنهم فيما ليس عندنا دليل على صدقه ولا كذبه “رخصة”، وذكر ذلك في تفسير القرآن، وجعله قولًا أو رواية في معنى الآيات، أو في تعيين ما لم يُبيَّن فيها، أو في تفصيل ما أُجمل فيها، شيء آخر!

Sesungguhnya diperbolehkannya berbicara tentang mereka dalam hal yang tidak ada dalil tentang benar atau dustanya adalah ‘keringanan’, adapun menyebutkan hal itu dalam tafsir Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai pendapat atau riwayat dalam makna ayat-ayat, atau dalam menentukan apa yang tidak dijelaskan di dalamnya, atau dalam merinci apa yang masih global di dalamnya, adalah perkara lain!

Kritik ini menunjukkan pembedaan yang cermat antara konteks penceritaan umum dengan konteks penafsiran wahyu ilahi. Menurut Syaikh Ahmad Syakir, hadis Nabi Saw yang memberikan izin menceritakan kisah Bani Israil “tanpa dosa” tidak sama dengan memberikan legitimasi untuk menggunakan kisah-kisah tersebut sebagai penjelasan firman Allah Swt.

Syaikh Ahmad Syakir lebih lanjut mempertanyakan otoritas isrā’īliyyāt, khususnya kategori ketiga dari framework Ibnu Katsir:

لأننا لا نعرف أبدًا هل وافق كلام الله أو لا، هذا الذي لا نعرف صدقه ولا كذبه، ليس معنى قول الله سبحانه: ومفصلًا لما أجمل فيه! وحاشا لله وكتابه من ذلك

Karena kita tidak pernah tahu apakah hal itu sesuai dengan firman Allah atau tidak. Hal yang tidak kita ketahui benar atau dustanya ini bukanlah makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bukan pula penjelas bagi yang masih global di dalamnya! Maha Suci Allah dan kitab-Nya dari hal itu!

Inkonsistensi dalam Tafsir Ibnu Katsir

Syaikh Ahmad Syakir menunjukkan beberapa contoh di mana Ibnu Katsir sendiri mengkritik isrā’īliyyāt namun tetap memasukkannya dalam tafsir. Dalam tafsir surat Al-Kahf ayat 50, Ibnu Katsir menyatakan:

وقد روي في هذا آثار كثيرة عن السلف، وغالبها من الإسرائيليات التي تنقل لينظر فيها، والله أعلم بحال كثير منها يقطع بكذبه، لمخالفته للحق الذي بأيدينا

Telah diriwayatkan dalam hal ini banyak atsar dari para salaf, dan kebanyakannya dari isrā’īliyyāt yang dinukil untuk ditelaah, dan Allah lebih mengetahui keadaan banyak di antaranya yang dipastikan bohong, karena menentang kebenaran yang ada di tangan kita.

Demikian pula dalam tafsir surat Al-Anbiya ayat 51-56, Ibnu Katsir mengakui:

وما قصه كثير من المفسرين وغيرهم، فمأخوذ عن أحاديث بني إسرائيل، فما وافق منها الحقَّ عندنا عن المعصوم قُبل، لموافقته الصحيح، وما خالف منها شيئًا من ذلك رددناه

Adapun apa yang dikisahkan oleh banyak mufassir dan lainnya, maka diambil dari hadis-hadis Bani Israil. Apa yang sesuai di antaranya dengan kebenaran yang ada pada kita dari yang ma’sum diterima karena sesuai dengan yang shahih, dan apa yang menyelisihi sesuatu dari itu, maka kita tolak.

Dalam kasus Harut dan Marut (QS. Al-Baqarah: 102), Ibnu Katsir secara eksplisit menyatakan:

وحاصلها راجع في تفصيلها إلى أخبار بني إسرائيل، إذ ليس فيها حديث مرفوع صحيح متصل الإسناد إلى الصادق المصدوق المعصوم الذي لا ينطق عن الهوى

Dan intinya kembali dalam detailnya kepada berita-berita Bani Israil, karena tidak ada di dalamnya hadis marfu’ yang shahih dan bersambung sanadnya kepada yang jujur lagi terpercaya yang ma’sum yang tidak berkata-kata berdasarkan hawa nafsu.

Mengenai konsep gunung Qaf, Ibnu Katsir bahkan menyebutnya sebagai dongeng:

وقد روي عن بعض السلف أنهم قالوا: إن جبل محيط بجميع الأرض، يقال له: جبل قاف! وكان هذا، والله أعلم، من خرافات بني إسرائيل التي أخذها عنهم بعض الناس

Telah diriwayatkan dari sebagian salaf bahwa mereka berkata: Sesungguhnya ada gunung yang mengelilingi seluruh bumi yang disebut gunung Qaf! Dan ini, wallahu a’lam, termasuk dari khurafat Bani Israil yang diambil dari mereka oleh sebagian orang.

Kesenjangan Teori dan Praktik

Syaikh Ahmad Syakir mengidentifikasi adanya kesenjangan antara kesadaran metodologis Ibnu Katsir dengan implementasi praktisnya. Secara teoritis, Ibnu Katsir memiliki framework yang ketat dan menyadari problematika isrā’īliyyāt. Namun dalam praktiknya, beliau tetap menggunakan banyak riwayat dari kategori tersebut meskipun dengan berbagai disclaimer.

Kesenjangan ini menunjukkan adanya ketegangan antara beberapa faktor: keinginan untuk menyajikan tafsir yang komprehensif, penghormatan terhadap tradisi mufassir sebelumnya, dan komitmen pada sumber yang otentik. Ibnu Katsir seperti berada di tengah medan tarik-menarik antara tradisi yang sudah mapan dengan standar metodologis yang ketat.

Argumen Ibn Abbas

Syaikh Ahmad Syakir memperkuat kritiknya dengan mengutip pernyataan Ibn Abbas yang dicatat dalam Sahih Bukhari:

يا معشر المسلمين، كيف تسألون أهل الكتاب عن شيء، وكتابكم الذي أنزل الله على نبيه أحدث أخبار الله، تقرؤونه محضًا لم يشب! وقد حدثكم الله أن أهل الكتاب قد بدّلوا كتاب الله وغيروه، وكتبوا بأيديهم الكتاب، وقالوا: هو من عند الله، ليشتروا به ثمنًا قليلاً

Wahai sekalian kaum muslimin, bagaimana kalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang sesuatu, padahal kitab kalian yang diturunkan Allah kepada nabi kalian adalah berita Allah yang paling baru, kalian membacanya murni tidak tercampur! Dan Allah telah mengabarkan kepada kalian bahwa Ahli Kitab telah mengubah kitab Allah dan menggantinya, dan mereka menulis dengan tangan mereka kitab tersebut, lalu berkata: ‘Ini dari sisi Allah,’ agar mereka dapat membeli dengannya harga yang sedikit.

Ibn Abbas, yang oleh Ibnu Katsir sendiri dijadikan rujukan sebagai ahli tafsir terkemuka, secara eksplisit memperingatkan agar tidak bergantung pada informasi dari Ahli Kitab. Argumen yang dikemukakan adalah bahwa Al-Qur’an sebagai “aḥdats akhbār Allāh” (berita Allah yang paling baru) dan “maḥḍan lam yusyab” (murni tidak tercampur) seharusnya sudah memadai.

Evaluasi Metodologis

Kritik Syaikh Ahmad Syakir pada dasarnya mengusung pendekatan purifikasi sumber dengan fokus eksklusif pada Al-Qur’an, hadis sahih, dan pendapat sahabat yang terotentikasi. Beliau mengadvokasi eliminasi total terhadap isrā’īliyyāt yang tidak memiliki konfirmasi dari sumber Islam yang autentik.

Pendekatan ini menekankan perlunya kejelasan epistemologis dengan pembedaan tegas antara pengetahuan dan spekulasi, antara fakta dan kemungkinan. Framework yang ketat tentang sumber dan autentisitas data menjadi prinsip utama yang diusung.

Syaikh Ahmad Syakir juga menekankan bahwa Al-Qur’an sebagai wahyu yang sempurna seharusnya sudah cukup untuk memahami dirinya sendiri, terlebih jika dikombinasikan dengan Sunnah yang otentik. Dengan demikian, kebutuhan akan sumber eksternal yang kredibilitasnya meragukan menjadi tidak relevan.

Respons Terhadap Argumen Tradisional

Meskipun ada yang mempertahankan pendekatan tradisional dengan argumen bahwa isrā’īliyyāt memiliki nilai historis dan pedagogis, Syaikh Ahmad Syakir menganggap bahwa semua manfaat tersebut tidak sebanding dengan risiko kontaminasi wahyu ilahi dengan sumber-sumber yang tidak pasti.

Argumen bahwa isrā’īliyyāt membuat konsep abstrak menjadi lebih konkret dan menyediakan konteks kultural yang berharga ditanggapi dengan menekankan bahwa Al-Qur’an, Sunnah, dan pendapat sahabat yang otentik seharusnya sudah memadai untuk menyediakan semua yang dibutuhkan dalam memahami firman Allah Swt.

Kesimpulan

Kritik Syaikh Ahmad Syakir terhadap framework isrā’īliyyāt Ibnu Katsir merupakan tantangan fundamental terhadap tradisi tafsir yang telah mapan. Kritik ini mengusulkan perubahan paradigma dengan penekanan pada purifikasi sumber dan eliminasi total terhadap riwayat yang tidak memiliki konfirmasi dari sumber Islam yang autentik.

Perdebatan ini menunjukkan ketegangan antara inklusivitas dan kemurnian, juga antara kesinambungan historis dan reformasi metodologis. Kritik Syaikh Ahmad Syakir mendemonstrasikan pentingnya suara kritis dalam perkembangan keilmuan Islam yang sehat, sekaligus mengingatkan tentang perlunya standar epistemologis yang ketat dalam memahami wahyu ilahi.

Meskipun terdapat perbedaan pendekatan, kedua ulama ini sama-sama menunjukkan komitmen terhadap integritas dalam memahami Al-Qur’an, dengan penekanan yang berbeda pada aspek tradisi dan purifikasi metodologis.

Wallāhu a’lam bi al-ṣawāb

Tabik,
Ibnu Mas’ud

* Artikel ini disarikan dari pembacaan dan refleksi penulis terhadap bagian muqaddimah dari kitab ‘Umdah al-Tafsīr karya Syaikh Ahmad Muhammad Syakir yang merupakan ringkasan dari kitab tafsir Ibnu Katsir.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts