Salah satu isu penting yang dibahas al-Tabari dalam muqaddimahnya adalah persoalan bahasa al-Quran. Pada masanya, terdapat perdebatan mengenai apakah al-Quran mengandung kata-kata dari bahasa selain Arab. Sebagian ulama berpendapat bahwa terdapat kosakata asing dalam al-Quran, seperti kata-kata yang berasal dari bahasa Habasyah, Persia, atau Romawi.
Al-Tabari secara sistematis membantah pandangan ini dengan membangun argumentasi teologis dan linguistik yang kuat. Ia menegaskan bahwa seluruh al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab, sekaligus menjelaskan fenomena kesamaan kosakata antar bahasa dengan prinsip-prinsip linguistik yang dapat diterima.
Prinsip Komunikasi Ilahi
Al-Tabari memulai argumentasinya dengan menetapkan prinsip fundamental tentang cara Allah berkomunikasi dengan makhluk-Nya. Ia menyatakan bahwa Allah, sebagai pemilik hikmah tertinggi, tidak mungkin berkomunikasi dengan cara yang tidak dapat dipahami oleh penerima pesan.
وكان غير مبين منا عن نفسه من خاطب غيره بما لا يفهمه عنه المخاطب – كان معلوما أنه غير جائز أن يخاطب جل ذكره أحدا من خلقه إلا بما يفهمه المخاطب، ولا يرسل إلى أحد منهم رسولا برسالة إلا بلسان وبيان يفهمه المرسل إليه
“Karena seseorang di antara kita tidak dapat menjelaskan dirinya jika ia berbicara kepada orang lain dengan bahasa yang tidak dipahami oleh lawan bicaranya, maka dapat dipastikan bahwa Allah tidak mungkin berbicara kepada seseorang dari makhluk-Nya kecuali dengan bahasa yang dipahami oleh lawan bicara-Nya, dan tidak mengutus kepada salah seorang di antara mereka seorang rasul dengan risalah kecuali dengan lisan dan penjelasan yang dipahami oleh penerima risalah tersebut.“
Al-Tabari kemudian mengutip ayat al-Quran yang mendukung prinsip ini:
وما أرسلنا من رسول إلا بلسان قومه ليبين لهم
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun kecuali dengan bahasa kaumnya agar dia dapat menjelaskan kepada mereka.” (QS. Ibrahim: 4)
Dari prinsip ini, al-Tabari menyimpulkan bahwa karena Nabi Muhammad Saw diutus untuk bangsa Arab, maka al-Quran pasti diturunkan dalam bahasa Arab. Al-Quran sendiri menegaskan hal ini dalam beberapa ayat yang dikutip al-Tabari:
إنا أنزلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Quran berbahasa Arab agar kamu memahami.” (QS. Yusuf: 2)
Riwayat tentang Kata-kata Asing dalam al-Quran
Al-Tabari kemudian membahas berbagai riwayat yang diklaim menunjukkan adanya kata-kata asing (‘ajam/non-Arab) dalam al-Quran. Ia mencantumkan beberapa hadis yang diriwayatkan melalui jalur Muhammad ibn Humaid ar-Razi:
يؤتكم كفلين من رحمته، قال: الكفلان: ضعفان من الأجر، بلسان الحبشة
“Kami berikan kepada kamu kiflain (dua bagian) dari rahmat-Nya.” Abu Musa berkata: “Kiflain berarti dua lipat pahala, dalam bahasa Habasyah.“
إن ناشئة الليل، قال: بلسان الحبشة إذا قام الرجل من الليل قالوا: نشأ
“Sesungguhnya bangun malam (nasyi’ah al-lail).” Ibn Abbas berkata: “Dalam bahasa Habasyah, jika seseorang bangun di malam hari, mereka berkata: nasya’a.“
فرت من قسورة، قال: هو بالعربية الأسد، وبالفارسية شار، وبالنبطية أريا، وبالحبشية قسورة
“Lari dari qaswarah.” Ibn Abbas berkata: “Dalam bahasa Arab berarti singa, dalam bahasa Persia ‘syar’, dalam bahasa Nabti ‘arya’, dan dalam bahasa Habasyah ‘qaswarah’.“
Bantahan al-Tabari terhadap Teori Multilingual
Al-Tabari dengan tegas menolak interpretasi bahwa riwayat-riwayat di atas menunjukkan adanya bahasa asing dalam al-Quran. Ia memberikan penjelasan linguistik yang sistematis:
إن الذي قالوه من ذلك غير خارج من معنى ما قلنا – من أجل أنهم لم يقولوا: هذه الأحرف وما أشبهها لم تكن للعرب كلاما، ولا كان ذاك لها منطقا قبل نزول القرآن
“Apa yang mereka katakan tentang hal itu tidak bertentangan dengan apa yang kami katakan, karena mereka tidak mengatakan bahwa kata-kata ini dan yang serupa dengannya bukan merupakan kosakata Arab, atau bahwa hal tersebut bukan ucapan mereka sebelum turunnya al-Quran.“
Al-Tabari menjelaskan bahwa fenomena yang disebutkan dalam riwayat-riwayat tersebut adalah kesamaan kosakata yang secara alami terjadi di antara bahasa-bahasa yang berbeda. Ia memberikan analogi dengan kata-kata yang sama-sama digunakan dalam bahasa Arab dan Persia:
كالدرهم والدينار والدواة والقلم والقرطاس، وغير ذلك – مما يتعب إحصاؤه ويمل تعداده – مما اتفقت فيه الفارسية والعربية باللفظ والمعنى
“Seperti dirham, dinar, dawat (tinta), qalam (pena), qirtas (kertas), dan lain-lain yang sulit dihitung dan membosankan untuk disebutkan satu per satu, yang sama dalam bahasa Persia dan Arab baik dalam lafal maupun makna.“
Prinsip Linguistik tentang Kesamaan Kosakata
Al-Tabari kemudian mengembangkan prinsip linguistik yang penting. Ia berpendapat bahwa ketika dua bahasa memiliki kosakata yang sama, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa salah satu bahasa meminjam dari yang lain tanpa bukti historis yang kuat:
فليس غير ذلك من كلام كل أمة منهما، بأولى أن يكون إليها منسوبا – منه. فكذلك سبيل كل كلمة واسم اتفقت ألفاظ أجناس أمم فيها وفي معناها، ووجد ذلك مستعملا في كل جنس منها استعمال سائر منطقهم
“Tidak ada yang lebih berhak untuk dinisbatkan kepada salah satu dari dua bangsa tersebut dibanding yang lain. Demikian juga halnya dengan setiap kata dan nama yang lafal dan maknanya disepakati oleh berbagai bangsa, dan ditemukan digunakan dalam setiap bangsa sebagaimana mereka menggunakan bahasa mereka yang lain.“
Al-Tabari memberikan analogi dengan tanah yang terletak di antara dataran dan pegunungan, yang memiliki karakteristik keduanya. Ia menyatakan bahwa tidak ada yang salah jika tanah tersebut disebut sebagai “tanah dataran-pegunungan” karena memang memiliki kedua sifat tersebut.
Maka, ketika ulama salaf mengatakan “dalam al-Quran terdapat kosakata dari setiap bahasa,” yang mereka maksudkan adalah:
أن فيه من كل لسان اتفق فيه لفظ العرب ولفظ غيرها من الأمم التي تنطق به، نظير ما وصفنا من القول فيما مضى
“Bahwa dalam al-Quran terdapat kosakata dari setiap bahasa yang di dalamnya lafal Arab bertepatan dengan lafal bangsa-bangsa lain yang mengucapkannya, sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya.“
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa tidak mungkin ulama salaf bermaksud mengatakan bahwa sebagian al-Quran berbahasa Persia dan bukan Arab, atau sebagian berbahasa Nabti dan bukan Arab, setelah Allah Swt sendiri menyatakan bahwa Dia menjadikan al-Quran sebagai “Quran Arab.”
Bantahan terhadap Klaim Peminjaman Bahasa
Al-Tabari juga membantah klaim bahwa kata-kata tertentu dalam al-Quran merupakan hasil peminjaman dari bahasa asing yang kemudian diarabkan. Ia bertanya kepada penganut teori ini:
ما برهانك على صحة ما قلت في ذلك، من الوجه الذي يجب التسليم له، فقد علمت من خالفك في ذلك، فقال فيه خلاف قولك؟
“Apa bukti kamu tentang kebenaran apa yang kamu katakan dalam hal itu, dari segi yang mengharuskan penerimaan terhadapnya, padahal kamu tahu ada yang menentang pendapatmu dan mengatakan yang berbeda dari perkataanmu?“
Beliau menunjukkan bahwa argumen yang sama dapat digunakan sebaliknya: bahwa kata-kata tersebut aslinya Arab yang kemudian diserap oleh bahasa-bahasa lain. Bukankah begitu?
Bersambung…
Wallāhu a’lam bi al-ṣawāb
Tabik,
Ibnu Mas’ud
* Artikel ini disarikan dari pembacaan dan refleksi penulis terhadap bagian muqaddimah dari kitab Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān karya Abū Ja‘far Muḥammad ibn Jarīr ibn Yazīd al-Ṭabarī

Tinggalkan komentar