Setelah menjelaskan konsep sab’ah ahruf, al-Tabari menghadapi pertanyaan penting selanjutnya: bagaimana proses kodifikasi al-Quran berlangsung dalam sejarah? Al-Tabari memberikan penjelasan historis yang cukup komprehensif tentang proses kodifikasi al-Quran, dimulai dari masa Abu Bakar hingga kebijakan unifikasi yang dilakukan Utsman ibn Affan. Ia menggambarkan bagaimana para sahabat, dengan kebijaksanaan dan visi ke depannya, memutuskan untuk menyatukan umat Islam pada satu dialek demi mencegah perpecahan yang dapat membahayakan kesatuan umat. Penjelasan al-Tabari ini didasarkan pada catatan-catatan sejarah dan analisis tentang motivasi di balik keputusan-keputusan tersebut.
Latar Belakang Pengumpulan al-Quran di Masa Abu Bakar
Al-Tabari memulai dengan menjelaskan kondisi yang melatarbelakangi pengumpulan al-Quran di masa Abu Bakar. Proses ini dipicu oleh perang Yamamah yang menewaskan banyak penghafal al-Quran:
لما قتل أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم باليمامة، دخل عمر بن الخطاب على أبي بكر رحمه الله فقال: إن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم باليمامة تهافتوا تهافت الفراش في النار، وإني أخشى أن لا يشهدوا موطنا إلا فعلوا ذلك حتى يقتلوا – وهم حملة القرآن – فيضيع القرآن وينسى. فلو جمعته وكتبته!
“Ketika para sahabat Rasulullah ﷺ gugur di Perang Yamāmah, Umar bin al-Khaṭṭāb menemui Abu Bakar dan berkata: ‘Sesungguhnya para sahabat Rasulullah Saw di Yamāmah telah berjatuhan seperti ngengat yang menyerbu api. Aku khawatir mereka tidak akan menghadiri satu pertempuran pun kecuali mereka akan melakukan hal yang sama hingga terbunuh—padahal mereka adalah para pengemban Al-Qur’an—sehingga Al-Qur’an menjadi sia-sia dan terlupakan. Maka bagaimana jika engkau mengumpulkannya dan menuliskannya?‘”
Awalnya Abu Bakar menolak usulan Umar ini dengan alasan tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah:
أفعل ما لم يفعل رسول الله صلى الله عليه وسلم!
“Apakah aku akan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah Saw?“
Setelah melalui pertimbangan, akhirnya mereka menyimpulkan bahwa tidak ada keberatan dalam hal tersebut. Mereka kemudian menunjuk Zaid ibn Tsabit sebagai ketua panitia dalam proyek ini. Lalu, Zaid mengumpulkan al-Quran dari berbagai sumber tertulis seperti pelepah kurma, tulang belikat, dan batu-batu.
Setelah Abu Bakar wafat, mushaf yang telah dikumpulkan dalam proyek itu, beralih ke tangan Umar. Ketika Umar wafat, mushaf tersebut disimpan oleh Hafsah, anaknya, sekaligus juga istri Nabi Muhammad Saw:
فلما هلك أبو بكر وكان عمر كتب ذلك في صحيفة واحدة، فكانت عنده. فلما هلك، كانت الصحيفة عند حفصة زوج النبي صلى الله عليه وسلم
“Ketika Abu Bakar wafat, dan Umar telah menuliskan al-Quran dalam satu mushaf, mushaf itu berada di tangannya. Ketika ia wafat, mushaf tersebut berada di tangan Hafsah, istri Nabi Saw.“
Masalah serius kemudian muncul di masa Utsman ibn Affan ketika Hudzaifah ibn al-Yaman kembali dari ekspedisi militer di Armenia dan melaporkan konflik yang terjadi antara pasukan dari berbagai daerah:
غزوت مرج أرمينية، فحضرها أهل العراق وأهل الشام، فإذا أهل الشام يقرءون بقراءة أبي بن كعب، فيأتون بما لم يسمع أهل العراق، فتكفرهم أهل العراق. وإذا أهل العراق يقرءون بقراءة ابن مسعود، فيأتون بما لم يسمع به أهل الشام، فتكفرهم أهل الشام
“Aku berperang di Marj Armenia, dan hadir di sana penduduk Irak dan penduduk Syam. Penduduk Syam membaca dengan qiraat Ubay ibn Ka’b, sehingga mereka membaca dengan cara yang tidak pernah didengar penduduk Irak, maka penduduk Irak mengkafirkan mereka. Penduduk Irak membaca dengan qiraat Ibn Mas’ud, sehingga mereka membaca dengan cara yang tidak pernah didengar penduduk Syam, maka penduduk Syam mengkafirkan mereka.“
Hudzaifah kemudian memperingatkan Utsman:
يا أمير المؤمنين: أدرك الناس!
“Wahai Amirul Mukminin, selamatkanlah umat!“
Merespons laporan Hudzaifah, Utsman segera mengambil tindakan dengan membentuk tim untuk menyusun mushaf standar. Al-Tabari memberikan detail proses ini berdasarkan ungkapan Zaid:
فأمرني عثمان بن عفان أكتب له مصحفا، وقال: إني مدخل معك رجلا لبيبا فصيحا، فما اجتمعتما عليه فاكتباه، وما اختلفتما فيه فارفعاه إلي. فجعل معه أبان بن سعيد بن العاص
“Utsman ibn Affan memerintahkanku menulis mushaf untuknya, dan berkata: ‘Aku akan menyertakan bersamamu seorang yang cerdas dan fasih. Apa yang kalian berdua sepakati, maka tuliskanlah. Apa yang kalian perselisihkan, maka ajukanlah kepadaku.’ Lalu ia menempatkan Aban ibn Sa’id ibn al-‘Ash bersamanya.“
Al-Tabari memberikan contoh konkret dari proses ini:
فلما بلغنا إن آية ملكه أن يأتيكم التابوت، قال: زيد فقلت: “التابوه” وقال أبان بن سعيد: “التابوت”، فرفعنا ذلك إلى عثمان فكتب: “التابوت”
Ketika kami sampai pada firman Allah Swt: ‘Sesungguhnya tanda kekuasaannya ialah datangnya Tabut kepadamu…‘, Zayd berkata: ‘Saya membaca: at-tābūh (التابوه).‘ Dan Abān bin Sa‘īd berkata: ‘Saya membaca: at-tābūt (التابوت).‘ Maka kami membawa hal itu kepada Utsmān, lalu ia memerintahkan agar ditulis: ‘at-tābūt (التابوت).‘
Al-Tabari juga menjelaskan bahwa Zaid ibn Tsabit menerapkan metodologi verifikasi yang sangat ketat dalam penyusunan mushaf:
فلما فرغت عرضته عرضة، فلم أجد فيه هذه الآية: من المؤمنين رجال صدقوا ما عاهدوا الله عليه فمنهم من قضى نحبه ومنهم من ينتظر وما بدلوا تبديلا. قال: فاستعرضت المهاجرين أسألهم عنها، فلم أجدها عند أحد منهم، ثم استعرضت الأنصار أسألهم عنها، فلم أجدها عند أحد منهم، حتى وجدتها عند خزيمة بن ثابت
“Ketika aku telah selesai (menulis mushaf), aku meneliti kembali seluruhnya. Namun aku tidak menemukan ayat ini: ‘Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; di antara mereka ada yang telah gugur dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu, dan mereka sedikit pun tidak mengubah janjinya.’ Maka aku pun mencari-cari ayat itu dari kalangan Muhājirīn, dan tidak kutemukan pada seorang pun dari mereka. Lalu aku mencarinya di kalangan Anṣār, dan juga tidak kutemukan pada seorang pun dari mereka—hingga akhirnya aku menemukannya pada Khuzaimah bin Tsābit.”
Anas ibn Malik yang juga terlibat langsung dalam proses penyusunan juga menyebutkan testimoninya:
كنت فيمن يملى عليهم، قال: فربما اختلفوا في الآية فيذكرون الرجل قد تلقاها من رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولعله أن يكون غائبا أو في بعض البوادي، فيكتبون ما قبلها وما بعدها، ويدعون موضعها، حتى يجيء أو يرسل إليه
“Aku termasuk orang yang didiktekan kepadanya. Kadang-kadang mereka berselisih tentang suatu ayat, lalu mereka menyebutkan seseorang yang pernah menerimanya dari Rasulullah Saw, tetapi mungkin dia sedang tidak ada atau berada di pedalaman. Maka mereka menuliskan ayat sebelum dan sesudahnya, dan membiarkan tempat kosong untuknya, hingga orang itu datang atau mereka mengirim utusan kepadanya.“
Proses serupa juga dilakukan untuk ayat-ayat terakhir surat at-Taubah.
Setelah mushaf standar selesai disusun, Utsman mengambil kebijakan untuk memverifikasi mushaf baru dengan mushaf asli dari Abu Bakar:
ثم أرسل عثمان إلى حفصة يسألها أن تعطيه الصحيفة، وحلف لها ليردنها إليها فأعطته إياها، فعرض المصحف عليها، فلم يختلفا في شيء. فردها إليها، وطابت نفسه، وأمر الناس أن يكتبوا مصاحف
“Kemudian Utsmān mengirim utusan kepada Ḥafṣah untuk memintanya memberikan lembaran mushaf (yang disimpan di sisinya). Ia bersumpah kepadanya bahwa ia pasti akan mengembalikannya. Maka Ḥafṣah pun memberikannya. Lalu Utsmān mencocokkan mushaf yang sedang disusunnya dengan mushaf itu, dan tidak ditemukan perbedaan sedikit pun. Maka ia mengembalikannya kepada Ḥafṣah, hatinya pun tenang, dan ia memerintahkan orang-orang untuk menyalin mushaf.“
Al-Tabari juga mencatat bahwa setelah Hafsah wafat, Abdullah ibn Umar memberikan mushaf tersebut kepada pemerintah, dan mushaf itu kemudian dihancurkan.
Dampak dan Implementasi Kebijakan
Al-Tabari menjelaskan dampak dari kebijakan Utsman:
فلما فرغ من المصحف، كتب عثمان إلى أهل الأمصار: إني قد صنعت كذا وكذا، ومحوت ما عندي، فامحوا ما عندكم
“Setelah selesai dari penyalinan mushaf, Utsmān menulis surat kepada penduduk berbagai wilayah: ‘Sesungguhnya aku telah melakukan ini dan itu (yakni penyalinan mushaf), dan aku telah menghapus apa yang ada padaku. Maka hapuslah apa yang ada pada kalian.’”
Al-Tabari menegaskan bahwa umat Islam menerima kebijakan ini dengan ketaatan dan melihatnya sebagai kebijakan yang tepat. Lalu, beliau menjelaskan motivasi di balik keputusan Utsman dan memberikan penjelasan penting tentang hubungannya dengan sab’ah ahruf:
جمع المسلمين – نظرا منه لهم، وإشفاقا منه عليهم، ورأفة منه بهم، حذار الردة من بعضهم بعد الإسلام، والدخول في الكفر بعد الإيمان، إذ ظهر من بعضهم بمحضره وفي عصره التكذيب ببعض الأحرف السبعة
“Ia (Utsman) mengumpulkan kaum Muslimin—karena perhatiannya terhadap mereka, kasih sayangnya kepada mereka, dan belas kasihannya atas mereka—karena khawatir sebagian dari mereka akan kembali kepada kekafiran setelah masuk Islam, atau terjerumus ke dalam kekufuran setelah beriman. Sebab, telah tampak dari sebagian mereka, di hadapannya dan pada masanya, adanya pengingkaran terhadap sebagian dari tujuh huruf (bacaan) Al-Qur’an.“
Bersambung…
Wallāhu a’lam bi al-ṣawāb
Tabik,
Ibnu Mas’ud
* Artikel ini disarikan dari pembacaan dan refleksi penulis terhadap bagian muqaddimah dari kitab Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān karya Abū Ja‘far Muḥammad ibn Jarīr ibn Yazīd al-Ṭabarī

Tinggalkan komentar