Setelah membahas aspek linguistik dan sejarah kodifikasi al-Quran, al-Tabari mengalihkan perhatian pada dimensi teologis yang lebih detail tentang keistimewaan al-Quran. Ia membahas hadis yang menyebutkan bahwa al-Quran “turun dari tujuh pintu surga” dan menganalisis berbagai riwayat yang menjelaskan aspek-aspek kandungan al-Quran. Al-Tabari berusaha mengharmonisasikan pemahaman tentang “tujuh huruf” dengan konsep “tujuh pintu surga,” dengan menunjukkan bahwa keduanya tidak bertentangan, bahkan saling melengkapi. Pembahasan ini mengungkapkan pandangan al-Tabari tentang keunggulan al-Quran dibandingkan kitab-kitab suci sebelumnya, serta dimensi keselamatan dari pengamalan al-Quran.
Variasi Riwayat tentang Tujuh Aspek al-Quran
Al-Tabari memulai dengan menyajikan berbagai riwayat yang menjelaskan aspek-aspek kandungan al-Quran. Riwayat pertama berasal dari Ibn Mas’ud yang diriwayatkan melalui jalur yang panjang:
كان الكتاب الأول نزل من باب واحد وعلى حرف واحد، ونزل القرآن من سبعة أبواب وعلى سبعة أحرف: زاجر وآمر وحلال وحرام، ومحكم ومتشابه، وأمثال، فأحلوا حلاله وحرموا حرامه، وافعلوا ما أمرتم به، وانتهوا عما نهيتم عنه، واعتبروا بأمثاله، واعملوا بمحكمه، وآمنوا بمتشابهه، وقولوا: آمنا به كل من عند ربنا
“Kitab terdahulu turun dari satu pintu dan atas satu huruf. Al-Quran turun dari tujuh pintu dan atas tujuh huruf: yang melarang, yang memerintah, halal dan haram, muhkam dan mutashabih, dan perumpamaan. Maka halalkan yang halal, haramkan yang haram, lakukan apa yang diperintahkan kepada kalian, tinggalkan apa yang dilarang, ambil pelajaran dari perumpamaan-perumpamaan, amalkan yang muhkam, beriman kepada yang mutashabih, dan katakanlah: ‘Kami beriman kepadanya, semuanya dari sisi Tuhan kami.’“
Riwayat kedua berasal dari Abu Qilabah secara mursal:
أنزل القرآن على سبعة أحرف، أمر وزجر وترغيب وترهيب وجدل وقصص ومثل
“Al-Quran diturunkan atas tujuh huruf: perintah, larangan, motivasi, ancaman, argumentasi, kisah, dan perumpamaan.“
Sementara itu, riwayat dari Ubay ibn Ka’b menunjukkan versi yang berbeda:
إن الله أمرني أن أقرأ القرآن على حرف واحد، فقلت: رب خفف عن أمتي. قال: اقرأه على حرفين. فقلت: رب خفف عن أمتي. فأمرني أن أقرأه على سبعة أحرف من سبعة أبواب من الجنة، كلها شاف كاف
“Sesungguhnya Allah memerintahkanku membaca al-Quran atas satu huruf. Aku berkata: “Ya Tuhanku, ringankanlah atas umatku.” Allah berfirman: “Bacalah atas dua huruf.” Aku berkata: “Ya Tuhanku, ringankanlah atas umatku.” Maka Dia memerintahkanku membacanya atas tujuh huruf dari tujuh pintu surga, semuanya menyembuhkan dan mencukupi.“
Harmonisasi Konsep “Huruf” dan “Pintu”
Al-Tabari lalu juga menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan antara konsep “tujuh huruf” dan “tujuh pintu surga.” Ia menggunakan analogi linguistik untuk menunjukkan kesamaan makna:
فكل هذه الأخبار التي ذكرناها عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، متقاربة المعاني، لأن قول القائل: فلان مقيم على باب من أبواب هذا الأمر، وفلان مقيم على وجه من وجوه هذا الأمر، وفلان مقيم على حرف من هذا الأمر – سواء
“Semua hadis yang kami sebutkan dari Rasulullah Saw ini memiliki makna yang berdekatan, karena perkataan: “Si fulan berada pada satu pintu dari pintu-pintu perkara ini,” dan “Si fulan berada pada satu segi dari segi-segi perkara ini,” dan “Si fulan berada pada satu huruf dari perkara ini” adalah sama.“
Kemudian, al-Tabari menguatkan argumentasinya dengan mengutip ayat al-Quran yang menggunakan kata “huruf” dalam konteks yang serupa:
ومن الناس من يعبد الله على حرف
“Di antara manusia ada yang menyembah Allah atas satu huruf (segi).” (QS. al-Hajj: 11)
Beliau pun menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan orang yang menyembah Allah Swt “atas segi keraguan, bukan atas keyakinan dan penyerahan terhadap perintah-Nya.”
Keistimewaan al-Quran atas Kitab-kitab Terdahulu
Salah satu poin penting dalam pembahasan al-Tabari adalah perbandingan antara al-Quran dengan kitab-kitab suci sebelumnya. Ia menjelaskan bahwa setiap kitab yang diturunkan sebelum al-Quran hanya mencakup satu aspek tertentu saja:
وذلك أن كل كتاب تقدم كتابنا نزوله على نبي من أنبياء الله صلوات الله وسلامه عليهم، فإنما نزل بلسان واحد، متى حول إلى غير اللسان الذي نزل به، كان ذلك له ترجمة وتفسيرا لا تلاوة له على ما أنزله الله
“Setiap kitab yang turun sebelum kitab kita kepada seorang nabi dari para nabi Allah, ia hanya turun dengan satu bahasa. Jika dipindahkan ke bahasa selain bahasa yang diturunkan dengannya, maka hal itu menjadi terjemahan dan tafsir baginya, bukan tilawah sebagaimana Allah menurunkannya.“
Contoh spesifiknya adalah Zabur Daud dan Injil Isa, sebagaimana diungkapkan oleh al-Tabari:
كزبور داود، الذي إنما هو تذكير ومواعظ، وإنجيل عيسى، الذي هو تمجيد ومحامد وحض على الصفح والإعراض – دون غيرها من الأحكام والشرائع
“Seperti Zabur Daud yang hanya berisi peringatan dan nasihat, dan Injil Isa yang berisi pujian dan sanjungan serta dorongan untuk memaafkan dan berpaling dari (balas dendam), tanpa hukum-hukum dan syariat lainnya.“
Konsep Tujuh Pintu Surga
Al-Tabari kemudian menjelaskan makna “tujuh pintu surga” secara detail. Menurutnya, setiap aspek kandungan al-Quran merupakan pintu menuju surga bagi mereka yang mengamalkannya:
فكل وجه من أوجهه السبعة باب من أبواب الجنة التي نزل منها القرآن. لأن العامل بكل وجه من أوجهه السبعة، عامل في باب من أبواب الجنة، وطالب من قبله الفوز بها
“Setiap segi dari tujuh seginya adalah pintu dari pintu-pintu surga yang darinya al-Quran turun. Karena orang yang mengamalkan setiap segi dari tujuh seginya adalah orang yang beramal dalam satu pintu dari pintu-pintu surga dan mengharapkan kemenangan dengannya.“
Beliau kemudian merinci tujuh pintu tersebut:
Pintu Pertama: Mengamalkan perintah-perintah Allah Swt dalam al-Quran
Pintu Kedua: Meninggalkan larangan-larangan Allah Swt dalam al-Quran
Pintu Ketiga: Menghalalkan yang dihalalkan Allah Swt dalam al-Quran
Pintu Keempat: Mengharamkan yang diharamkan Allah Swt dalam al-Quran
Pintu Kelima: Beriman kepada ayat-ayat muhkam yang jelas
Pintu Keenam: Berserah diri kepada ayat-ayat mutashabih dan mengakui bahwa semuanya dari Allah Swt
Pintu Ketujuh: Mengambil pelajaran dari perumpamaan-perumpamaan dan nasihat-nasihat dalam al-Quran
Selain itu, dimensi keselamatan yang terkandung dalam setiap aspek al-Quran juga tidak luput dari perhatian al-Tabari:
فجميع ما في القرآن – من حروفه السبعة، وأبوابه السبعة التي نزل منها – جعله الله لعباده إلى رضوانه هاديا، ولهم إلى الجنة قائدا
“Seluruh kandungan al-Quran dari tujuh hurufnya dan tujuh pintunya yang darinya ia turun, dijadikan Allah sebagai petunjuk bagi hamba-hamba-Nya menuju ridha-Nya, dan pemimpin bagi mereka menuju surga.“
Penjelasan Hadis tentang Zhahir, Batin, dan Mathla’
Al-Tabari juga menjelaskan hadis yang menyebutkan bahwa setiap huruf al-Quran memiliki “zhahir dan batin” serta “mathla’” (tempat muncul):
إن لكل حرف منه حدا… وإن لكل حرف منها ظهرا وبطنا… وإن لكل حد من ذلك مطلعا
“Sesungguhnya setiap huruf darinya memiliki batasan… dan setiap huruf darinya memiliki zhahir dan batin… dan setiap batasan dari itu memiliki tempat munculnya.“
Al-Tabari menjelaskan:
Zhahir: Yang tampak dalam tilawah
Batin: Yang tersembunyi dari takwilnya
Mathla’: Tempat seseorang akan melihat dan menemui konsekuensi dari pengamalan atau pengabaiannya terhadap batasan-batasan Allah Swt di akhirat
Makna “Syafin Kafin” (Menyembuhkan dan Mencukupi)
Terakhir, term “syafin kafin” sebagaimana sempat disinggung dalam riwayat diatas juga dijelaskan oleh al-Tabari dengan mengutip sebuah hadis:
كما قال الله جل ثناؤه في صفة القرآن: يا أيها الناس قد جاءتكم موعظة من ربكم وشفاء لما في الصدور وهدى ورحمة للمؤمنين، جعله الله للمؤمنين شفاء، يستشفون بمواعظه من الأدواء العارضة لصدورهم من وساوس الشيطان وخطراته، فيكفيهم ويغنيهم عن كل ما عداه من المواعظ ببيان آياته
“Sebagaimana Allah berfirman dalam sifat al-Quran: “Wahai manusia, sungguh telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi apa yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang beriman.” Allah menjadikannya penyembuh bagi orang-orang beriman, mereka meminta kesembuhan dengan nasihat-nasihatnya dari penyakit-penyakit yang menimpa hati mereka dari bisikan dan gangguan setan, sehingga al-Quran mencukupi dan memenuhi kebutuhan mereka dari segala nasihat selainnya dengan penjelasan ayat-ayatnya.“
Bersambung…
Wallāhu a’lam bi al-ṣawāb
Tabik,
Ibnu Mas’ud
* Artikel ini disarikan dari pembacaan dan refleksi penulis terhadap bagian muqaddimah dari kitab Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān karya Abū Ja‘far Muḥammad ibn Jarīr ibn Yazīd al-Ṭabarī

Tinggalkan komentar