Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Larangan Tafsir bi al-Ra’y dan Batasannya

Setelah menetapkan kerangka metodologis tafsir, al-Tabari menghadapi isu yang sangat sensitif: larangan menafsirkan al-Quran dengan ra’y (opini pribadi). Al-Tabari menyajikan berbagai hadis dan atsar yang melarang tafsir bi al-ra’y, kemudian memberikan analisis tentang makna sebenarnya dari larangan tersebut. Ia berusaha menunjukkan bahwa larangan ini tidak berarti menutup pintu ijtihad dalam memahami al-Quran, namun hanya bentuk penetapan batasan-batasan metodologis yang ketat. Pembahasan al-Tabari tentang masalah ini menunjukkan kehati-hatian para ulama salaf sekaligus keseimbangan antara penghormatan terhadap teks suci dan kebutuhan untuk memahaminya secara kontekstual.

Hadis-hadis Larangan Tafsir bi al-Ra’y

Al-Tabari memulai dengan menyajikan serangkaian hadis yang melarang menafsirkan al-Quran dengan ra’y. Hadis yang paling terkenal adalah yang diriwayatkan dari Ibn Abbas:

من قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار

Barangsiapa berbicara tentang al-Quran dengan pendapatnya, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.

Versi lain dari hadis yang sama menambahkan kualifikasi penting:

من قال في القرآن برأيه – أو بما لا يعلم – فليتبوأ مقعده من النار

Barangsiapa berbicara tentang al-Quran dengan pendapatnya atau dengan apa yang ia tidak ketahui, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.

Ada juga versi riwayat yang lebih eksplisit:

من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار

Barangsiapa berbicara tentang al-Quran tanpa ilmu, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.

Selain hadis nabawi, beliau juga mencatat pernyataan yang sangat terkenal dari Abu Bakar as-Siddiq yang menunjukkan kehati-hatian ekstrem para sahabat:

أي أرض تقلني، وأي سماء تظلني، إذا قلت في القرآن ما لا أعلم!

Bumi mana yang akan menanggungku, dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku berbicara tentang al-Quran dengan apa yang tidak aku ketahui!

Dalam versi lainnya terdapat tambahan:

إذا قلت في القرآن برأيي – أو: بما لا أعلم

Jika aku berbicara tentang al-Quran dengan pendapatku atau dengan apa yang tidak aku ketahui.

Analisis al-Tabari tentang Makna Larangan

Al-Tabari kemudian memberikan analisis yang sangat penting tentang makna sebenarnya dari hadis-hadis tersebut. Ia menjelaskan bahwa larangan ini memiliki konteks metodologis yang spesifik:

وهذه الأخبار شاهدة لنا على صحة ما قلنا: من أن ما كان من تأويل آي القرآن الذي لا يدرك علمه إلا بنص بيان رسول الله صلى الله عليه وسلم، أو بنصبه الدلالة عليه – فغير جائز لأحد القيل فيه برأيه

Hadis-hadis ini menjadi saksi bagi kami atas kebenaran apa yang kami katakan: bahwa takwil ayat-ayat al-Quran yang tidak dapat diketahui ilmunya kecuali dengan nash penjelasan Rasulullah atau dengan menetapkan dalil atasnya, maka tidak boleh seseorang berbicara di dalamnya dengan pendapatnya.

Nyatanya, al-Tabari juga menyertakan hadis yang menunjukkan dimensi lain dari larangan ini:

من قال في القرآن برأيه فأصاب، فقد أخطأ

Barangsiapa berbicara tentang al-Quran dengan pendapatnya lalu ia benar, maka sungguh ia telah salah.

Beliau lalu memberikan penjelasan:

يعني صلى الله عليه وسلم أنه أخطأ في فعله، بقيله فيه برأيه، وإن وافق قيله ذلك عين الصواب عند الله. لأن قيله فيه برأيه، ليس بقيل عالم أن الذي قال فيه من قول حق وصواب. فهو قائل على الله ما لا يعلم، آثم بفعله ما قد نهي عنه وحظر عليه

Maksud Nabi Saw adalah bahwa ia (seseorang) telah melakukan kesalahan dalam perbuatannya, karena ia berbicara tentang Al-Qur’an berdasarkan pendapat pribadinya, meskipun ucapannya itu kebetulan sesuai dengan kebenaran di sisi Allah. Sebab, ucapannya yang didasarkan pada pendapat pribadi bukanlah ucapan dari seseorang yang mengetahui bahwa apa yang ia katakan itu adalah benar dan tepat. Maka ia telah berkata atas nama Allah sesuatu yang tidak ia ketahui, dan berdosa karena melakukan perbuatan yang telah dilarang dan diharamkan atasnya.

Penjelasan ini lalu diperkuat dengan kutipan ayat al-Quran yang melarang berbicara tentang Allah Swt tanpa ilmu:

قل إنما حرم ربي الفواحش ما ظهر منها وما بطن والإثم والبغي بغير الحق وأن تشركوا بالله ما لم ينزل به سلطانا وأن تقولوا على الله ما لا تعلمون

Katakanlah: Sesungguhnya Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan-perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi; dosa; tindakan melampaui batas tanpa alasan yang benar; mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak Dia turunkan keterangan tentangnya; dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. al-A’raf: 33)

Setelah itu, al-Tabari menyajikan berbagai contoh kehati-hatian para salaf dalam masalah tafsir. Salah satu contoh yang paling terkenal adalah dari Sa’id ibn al-Musayyab:

كان إذا سئل عن تفسير آية من القرآن، قال: أنا لا أقول في القرآن شيئا

Ketika ditanya tentang tafsir ayat al-Quran, ia berkata: ‘Aku tidak mengatakan apa-apa tentang al-Quran.’

Namun ada riwayat lain yang menunjukkan bahwa Sa’id tetap berbicara tentang hal-hal yang ia ketahui dengan pasti:

أنه كان لا يتكلم إلا في المعلوم من القرآن

Bahwa ia tidak berbicara kecuali tentang yang diketahui dari al-Quran.

Ada juga pernyataan dari Ubaidah as-Salmani ketika ditanya tentang tafsir:

عليك بالسداد، فقد ذهب الذين علموا فيم أنزل القرآن

Berpeganglah pada kesesuaian (dengan kebenaran), karena orang-orang yang mengetahui untuk apa Al-Qur’an diturunkan telah tiada.

Menariknya, al-Tabari juga mencatat bahwa bahkan Ibn Abbas, yang dikenal sebagai ahli tafsir terbesar di antara para sahabat, juga menunjukkan kehati-hatian:

أن ابن عباس سئل عن آية لو سئل عنها بعضكم لقال فيها، فأبى أن يقول فيها

Sesungguhnya Ibnu ‘Abbās pernah ditanya tentang suatu ayat—yang jika sebagian dari kalian ditanya tentangnya, niscaya ia akan berpendapat—namun Ibnu ‘Abbās enggan untuk berkata apa pun mengenainya.

Interpretasi al-Tabari tentang Sikap Para Salaf

Berdasarkan keterangan tentang kehati-hatian para salaf tersebut, al-Tabari kemudian memberikan interpretasi yang seimbang tentang sikap mereka:

فإن فعل من فعل ذلك منهم، كفعل من أحجم منهم عن الفتيا في النوازل والحوادث، مع إقراره بأن الله جل ثناؤه لم يقبض نبيه إليه، إلا بعد إكمال الدين به لعباده، وعلمه بأن لله في كل نازلة وحادثة حكما موجودا بنص أو دلالة

Maka perbuatan siapa pun di antara mereka yang tidak mau berbicara (dalam tafsir), seperti perbuatan orang yang menahan diri dari memberi fatwa dalam perkara-perkara baru dan kejadian-kejadian yang muncul, dilakukan dengan keyakinan bahwa Allah—Maha Suci dan Maha Tinggi pujian-Nya—tidaklah mewafatkan Nabi-Nya kecuali setelah menyempurnakan agama ini bagi hamba-hamba-Nya, dan dengan pengetahuan bahwa dalam setiap persoalan dan kejadian, pasti terdapat hukum dari Allah yang dapat ditemukan, baik melalui nash maupun petunjuk (dalālah).

Sebagaimana juga telah disinggung pada artikel sebelumnya, al-Tabari menunjukkan bahwa di satu sisi ada larangan tafsir bi al-ra’y, tetapi di sisi lain ada dorongan untuk memahami al-Quran:

وفي حث الله عز وجل عباده على الاعتبار بما في آي القرآن من المواعظ والبينات – بقوله جل ذكره لنبيه صلى الله عليه وسلم: كتاب أنزلناه إليك مبارك ليدبروا آياته وليتذكر أولو الألباب

Dan dalam dorongan Allah ‘Azza wa Jalla kepada hamba-hamba-Nya untuk mengambil pelajaran dari apa yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an berupa nasihat dan penjelasan yang terang—dengan firman-Nya kepada Nabi-Nya Saw: ‘Kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan keberkahan, agar mereka merenungkan ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.’

Kesan seolah-olah terdapat pertentangan ini kemudian diselesaikan oleh al-Tabari dengan menjelaskan bahwa dorongan tadabbur hanya berlaku untuk mereka yang memiliki kemampuan memahami bahasa Arab dan metodologi yang benar:

فإذ كان ذلك كذلك – وكان الله جل ثناؤه قد أمر عباده بتدبره وحثهم على الاعتبار بأمثاله – كان معلوما أنه لم يأمر بذلك من كان بما يدل عليه آيه جاهلا . وإذ لم يجز أن يأمرهم بذلك إلا وهم بما يدلهم عليه عالمون ، صح أنهم – بتأويل ما لم يحجب عنهم علمه من آيه الذي استأثر الله بعلمه منه دون خلقه ، الذي قد قدمنا صفته آنفا – عارفون . وإذ صح ذلك فسد قول من أنكر تفسير المفسرين – من كتاب الله وتنزيله – ما لم يحجب عن خلقه تأويله

Jika memang demikian halnya—dan Allah, Mahasuci pujian-Nya, telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk merenungi (Al-Qur’an) serta mendorong mereka mengambil pelajaran dari perumpamaan-perumpamaannya—maka telah diketahui bahwa perintah tersebut tidak ditujukan kepada orang yang tidak mengetahui makna yang ditunjukkan oleh ayat-ayat-Nya. Dan apabila tidak mungkin Allah memerintahkan mereka (untuk merenungi ayat-ayat-Nya), kecuali dalam keadaan mereka mengetahui makna yang menunjuk kepada maksud ayat tersebut, maka pastilah mereka mengetahui takwil dari bagian ayat yang tidak disembunyikan maknanya oleh Allah dari mereka, sedangkan bagian yang ilmunya hanya ada di sisi Allah—sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya—mereka tidak mengetahuinya. Jika hal ini telah terbukti, maka rusaklah pendapat orang yang mengingkari penafsiran para mufassir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, selama makna ayat-ayat tersebut tidak termasuk dalam bagian yang ilmunya memang ditahan oleh Allah dari makhluk-Nya.

Oleh karena itulah, ada batasan yang jelas antara kapan harus menafsirkan dan kapan harus tidak menafsirkan. Kedua aktivitas ini, bagaimanapun juga, harus didasari oleh kesadaran kemampuan dan kapasitas seseorang terhadap dirinya sendiri. Sehingga, ke-alpha-an seseorang dalam mengenali kapasitas dirinya, akan beresiko menjatuhkannya ke dalam kesalahan tafsir. Meskipun secara kebetulan, penafsiran tersebut tepat.

Bersambung…

Wallāhu a’lam bi al-ṣawāb

Tabik,
Ibnu Mas’ud

* Artikel ini disarikan dari pembacaan dan refleksi penulis terhadap bagian muqaddimah dari kitab Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān karya Abū Jafar Muḥammad ibn Jarīr ibn Yazīd al-Ṭabarī

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts