Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Pujian dan Kritik al-Tabari Terhadap Mufassir Salaf

Sebagai penutup muqaddimahnya, al-Ṭabarī menyampaikan catatan evaluatif terhadap para mufassir yang hidup sebelum atau sezaman dengannya. Catatan yang ia rekam ini merupakan penerapan langsung dari kriteria metodologis yang telah ia uraikan sebelumnya. Al-Tabari mengategorikan para mufassir berdasarkan kualitas keilmuan mereka, keabsahan jalur periwayatan, dan kredibilitas metodologi mereka. Bagian ini sangat penting karena menunjukkan bagaimana al-Tabari menerapkan standar akademik dalam menilai sumber-sumber tafsir, sekaligus memberikan panduan praktis bagi generasi selanjutnya dalam memilih rujukan tafsir yang dapat dipercaya.

Pujian al-Tabari Terhadap Beberapa Tokoh Mufassir Salaf

Al-Tabari memulai dengan menegaskan posisi Ibn Abbas sebagai mufassir terbaik di antara para sahabat. Ia mencatat pengakuan langsung dari Abdullah ibn Mas’ud:

نعم ترجمان القرآن ابن عباس

Sebaik-baik penerjemah al-Quran adalah Ibn Abbas.

Pernyataan ini diriwayatkan melalui beberapa jalur yang berbeda, menunjukkan bahwa pengakuan terhadap keunggulan Ibn Abbas dalam tafsir adalah konsensus di kalangan sahabat. Al-Tabari mencatat bahwa riwayat ini diterima dari Ibn Mas’ud melalui jalur-jalur yang dapat dipercaya, termasuk melalui Mujahid dan Abu ad-Duha.

Kegiatan tafsir di kalangan para sahabat juga sangat aktif, dengan Ibn Abbas pula yang menjadi tokoh utamanya:

استعمل علي ابن عباس على الحج، قال: فخطب الناس خطبة لو سمعها الترك والروم لأسلموا، ثم قرأ عليهم سورة النور، فجعل يفسرها

Ali pernah mengangkat Ibnu ‘Abbās sebagai amir (pemimpin) haji. Maka Ibnu ‘Abbās pun menyampaikan khutbah kepada manusia—sebuah khutbah yang jika didengar oleh bangsa Turki dan Romawi, niscaya mereka akan masuk Islam. Kemudian ia membacakan kepada mereka Surat al-Nūr, dan mulai menafsirkannya.

Aktivitas serupa juga dicatat dalam konteks lain:

قرأ ابن عباس سورة البقرة، فجعل يفسرها، فقال رجل: لو سمعت هذا الديلم لأسلمت

Ibnu ‘Abbās membaca Surah al-Baqarah, lalu ia pun menafsirkannya. Lalu seorang laki-laki berkata: ‘Seandainya orang-orang Daylam mendengar ini, niscaya mereka akan masuk Islam.’

Kompetensi Ibn Abbas dalam tafsir al-Qur’an berhasil ditransmisikan kepada generasi tabi’in, khususnya melalui Mujahid ibn Jabr berdasarkan riwayat:

رأيت مجاهدا يسأل ابن عباس عن تفسير القرآن، ومعه ألواحه، فيقول له ابن عباس: “اكتب”، قال: حتى سأله عن التفسير كله

Aku melihat Mujāhid bertanya kepada Ibnu ‘Abbās tentang tafsir Al-Qur’an, sementara ia membawa papan-papan catatannya. Maka Ibnu ‘Abbās berkata kepadanya: ‘Tulislah.’ Ia (Mujāhid) terus bertanya hingga menanyakan tafsir seluruh isi Al-Qur’an.

Riwayat lain menambahkan detail yang lebih spesifik:

عرضت المصحف على ابن عباس ثلاث عرضات، من فاتحته إلى خاتمته، أوقفه عند كل آية منه وأسأله عنها

Aku membacakan mushaf kepada Ibnu ‘Abbās sebanyak tiga kali, dari awal hingga akhir. Aku berhenti pada setiap ayat dan menanyakannya kepadanya.

Berdasarkan metode pembelajaran yang sistematis ini, al-Tabari kemudian mencatat testimoni lain dari Sufyan ath-Tsauri:

إذا جاءك التفسير عن مجاهد فحسبك به

Jika datang kepadamu tafsir dari Mujahid, maka cukuplah itu bagimu.

Kritik al-Tabari Terhadap Beberapa Tokoh Mufassir Salaf

Setelah memuji beberapa tokoh mufassir salaf, al-Tabari kemudian gantian memberikan catatan dan kritiknya pula. Salah satu catatan awal yang diberikannya adalah keterangan terhadap ad-Dahhak ibn Muzahim, seorang mufassir yang sering diklaim sebagai murid Ibn Abbas:

لم يلق الضحاك ابن عباس، وإنما لقي سعيد بن جبير بالري، وأخذ عنه التفسير

Ad-Dahhak tidak pernah bertemu Ibn Abbas, ia hanya bertemu Sa’id ibn Jubair di ar-Rayy dan mengambil tafsir darinya.

Al-Tabari memperkuat keterangannya dengan mencatat pengakuan langsung dari ad-Dahhak sendiri:

قلت للضحاك: سمعت من ابن عباس شيئا؟ قال: لا

Aku bertanya kepada ad-Dahhak: Apakah kamu pernah mendengar sesuatu dari Ibn Abbas? Ia menjawab: Tidak.‘”

Catatan ini sangat penting, mengingat ad-Dahhak dikenal sering meng-irsal-kan hadis (lihat taqrib al-tahzib: shaduq katsir al-irsal). Sehingga sering dikira bahwa beliau mendapatkan informasi mengenai tafsir dari Ibn Abbas secara langsung, padahal tidak.

Kritik yang sangat keras disebutkan oleh al-Tabari terhadap jalur periwayatan yang melibatkan al-Kalbi dan Abu Salih:

فقال الأعمش: لو أن الذي عند الكلبي عندي ما خرج مني إلا بخفير

Al-A’masy berkata: ‘Seandainya apa yang ada pada al-Kalbi itu ada padaku, itu tidak akan keluar dariku kecuali dengan penjaga.’

Pernyataan al-A’masy ini menunjukkan bahwa ia tidak serta merta mempercayai riwayat-riwayat yang berasal dari al-Kalbi. Al-Tabari juga mencatat kritik dari Syu’bah tentang Abu Shalih Badzan:

مر الشعبي على أبي صالح باذان، فيأخذ بأذنه فيعركها ويقول: تفسر القرآن وأنت لا تقرأ القرآن!

Al-Sya‘bī melewati Abu Shalih Badzan, lalu memegang telinganya dan memutarnya sambil berkata: ‘Engkau menafsirkan Al-Qur’an padahal engkau sendiri tidak membaca Al-Qur’an!’

Al-Tabari juga menyertakan kritikan terhadap as-Suddi, meskipun tidak sekeras kritik terhadap al-Kalbi dan Abu Shalih:

مر الشعبي على السدي وهو يفسر، فقال: لأن يضرب على استك بالطبل، خير لك من مجلسك هذا

Asy-Sya’bi melewati as-Suddi ketika ia sedang menafsirkan, lalu berkata: ‘Lebih baik bagimu dipukul pantatmu dengan gendang daripada majlis ini.’

Namun al-Tabari juga menyebutkan penilaian dari Ibrahim an-Nakha’i, yang diriwayatkan oleh Syuraik an-Nakha’i:

كنت مع إبراهيم، فرأى السدي، فقال: أما إنه يفسر تفسير القوم

Aku bersama Ibrahim (an-Nakha’i), lalu ia melihat as-Suddi dan berkata: ‘Adapun dia, ia menafsirkan dengan tafsir kaum.’

Kata al-qaum disana dijelaskan oleh Syuraik (lihat al-‘Ilal Imam Ahmad bin Hanbal), bahwa “Ibrahim an-Nakha’i sangat keras terhadap kaum Murji’ah, seakan-akan beliau tidak mengakui pendapat irja’.” Meskipun tidak secara eksplisit menuduh al-Suddi sebagai penganut paham Murji’ah, ada kemungkinan bahwa sebagian penafsirannya mencocoki dengan pandangan Murji’ah.

Pujian dan kritikan yang dicatat oleh al-Tabari ini cukup memberikan panduan praktis bagi generasi selanjutnya dalam memilih sumber tafsir. Ia menunjukkan bahwa tidak semua riwayat tafsir memiliki kredibilitas yang setara. Sehingga perlu adanya penerapan kriteria akademik yang ketat dalam menilai sumber-sumber tersebut. Prinsipnya:

فإذ كان ذلك كذلك ، فأحق المفسرين بإصابة الحق – في تأويل القرآن الذي إلى علم تأويله للعباد السبيل – أوضحهم حجة فيما تأول وفسر ، مما كان تأويله إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم دون سائر أمته من أخبار رسول الله صلى الله عليه وسلم الثابتة عنه : إما من جهة النقل المستفيض ، فيما وجد فيه من ذلك عنه النقل المستفيض ، وإما من جهة نقل العدول الأثبات ، فيما لم يكن فيه عنه النقل المستفيض ، أو من جهة الدلالة المنصوبة على صحته; وأصحهم برهانا – فيما ترجم وبين من ذلك – مما كان مدركا علمه من جهة اللسان : إما بالشواهد من أشعارهم السائرة ، وإما من منطقهم ولغاتهم المستفيضة المعروفة ، كائنا من كان ذلك المتأول والمفسر ، بعد أن لا يكون خارجا تأويله وتفسيره ما تأول وفسر من ذلك ، عن أقوال السلف من الصحابة والأئمة ، والخلف من التابعين وعلماء الأمة

Jika memang demikian halnya, maka orang yang paling berhak dari kalangan para mufassir untuk mencapai kebenaran—dalam menakwilkan Al-Qur’an yang pemahaman terhadap takwilnya memungkinkan bagi hamba-hamba Allah—adalah orang yang paling jelas hujjahnya dalam apa yang ia takwilkan dan tafsirkan, khususnya pada bagian-bagian yang takwilnya telah disampaikan kepada Rasulullah Saw secara khusus dari umatnya, melalui berita-berita yang sahih dari beliau Saw: baik melalui jalur periwayatan yang masyhur dan tersebar (mutawātir), pada bagian yang memang terdapat periwayatan semacam itu; maupun melalui periwayatan dari para perawi yang adil dan terpercaya, pada bagian yang tidak mencapai derajat mutawātir; atau melalui dalil yang ditetapkan dan menunjukkan kebenarannya. Demikian pula, orang yang paling kuat dalilnya dalam apa yang ia uraikan dan jelaskan—pada bagian yang dapat diketahui melalui pendekatan kebahasaan—adalah orang yang mendasarkan tafsirnya pada syahid (bukti) dari syair-syair Arab yang terkenal, atau dari dialek dan bahasa mereka yang umum dan dikenal. Siapa pun yang menakwilkan dan menafsirkan (Al-Qur’an) dengan cara seperti ini berhak diterima, selama tafsir dan takwilnya tidak keluar dari batasan pendapat para salaf dari kalangan sahabat, para imam, serta para tabi‘in dan ulama umat setelah mereka.

Demikianlah kalimat-kalimat pungkasan yang ditulis oleh al-Tabari dalam muqaddimah tafsirnya, sebelum memasuki pembahasan mengenai nama-nama al-Quran, surah-surahnya, dan ayat-ayatnya. Sehingga, inilah artikel terakhir dari series muqaddimah tafsir al-Tabari.

Wallāhu a’lam bi al-ṣawāb

Tabik,
Ibnu Mas’ud

* Artikel ini disarikan dari pembacaan dan refleksi penulis terhadap bagian muqaddimah dari kitab Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān karya Abū Jafar Muḥammad ibn Jarīr ibn Yazīd al-Ṭabarī

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts