Surah al-Kāfirūn memuat perintah Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw untuk menolak ajakan kaum musyrik Makkah yang menawarkan pertukaran praktik ibadah. Menurut Imam al-Ṭabarī dalam Jāmi‘ al-Bayān, sekelompok pemuka Quraisy mengusulkan agar mereka dan Nabi Saw saling menyembah tuhan masing-masing secara bergiliran dalam jangka waktu tertentu. Usulan ini disertai dengan janji kekayaan, pengaruh sosial, dan pemuliaan terhadap pribadi Nabi Saw, dengan syarat beliau tidak lagi mencela sesembahan mereka.
Maka turunlah Surah al-Kāfirūn yang berisi perintah tegas dari Allah Swt:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ • لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ • وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ • وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ • وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ • لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah (wahai Muhammad): Wahai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian tidak akan menyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak akan menjadi penyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian pun tidak akan menjadi penyembah apa yang aku sembah. Bagi kalian agama kalian, dan bagiku agamaku.” (QS al-Kāfirūn [109]: 1–6)
Imam al-Ṭabarī menafsirkan ayat-ayat ini sebagai respons ilahi terhadap ajakan kaum musyrik yang menginginkan pencampuran antara tauhid dan penyembahan berhala. Melalui ayat tersebut, Allah Swt menyatakan bahwa penyembahan yang dilakukan Nabi Saw tidak pernah mencakup sesembahan mereka, dan begitu pula sebaliknya.
Hal ini bahkan dinyatakan secara eksplisit melalui penggunaan struktur temporal dalam ayat ini yang mencakup tiga dimensi waktu: masa sekarang (الآن), masa lampau (فيما مضى), dan masa akan datang (فيما استقبل). Penggunaan struktur temporal yang lengkap ini, menurut al-Ṭabarī, menunjukkan ketegasan absolut dalam menolak segala bentuk kompromi keagamaan pada setiap keadaan.
Penegasan dalam ayat ini juga tampak melalui struktur pengulangan kalimat secara bertingkat. Menurut al-Ṭabarī, bentuk ini termasuk ta’kīd (penegasan) sebagaimana dikenal dalam bahasa Arab dan dijumpai pula dalam ayat-ayat lain dalam al-Qur’an. Gaya ini digunakan untuk memperjelas ketetapan dan menghilangkan segala keraguan atas isi pesan.
Beberapa riwayat yang disebutkan al-Ṭabarī secara jelas juga menyebutkan nama-nama tokoh musyrik Quraisy yang terlibat dalam perundingan tersebut, seperti al-Walīd ibn al-Mughīrah, al-‘Āṣ ibn Wā’il, al-Aswad ibn al-Muṭṭalib, dan Umayyah ibn Khalaf. Riwayat-riwayat tersebut menyebut bahwa para tokoh Quraisy menawarkan bentuk kerja sama keagamaan yang melibatkan pertukaran praktik ibadah, dengan harapan kedua belah pihak dapat memperoleh keuntungan dari ajaran masing-masing. Namun, pendekatan seperti ini mendapat penolakan dari wahyu secara langsung dan final.
Salah satu aspek paling menarik dari penafsiran al-Ṭabarī adalah analisisnya terhadap dimensi predestinasi dalam surah ini. Al-Ṭabarī menjelaskan bahwa penolakan kategoris dalam surah ini merupakan refleksi dari pengetahuan ilahi (ʿilm Allāh) tentang kondisi masa depan “spiritual” para musyrik tersebut.
Al-Ṭabarī menyatakan bahwa Allah Swt telah mengetahui bahwa individu-individu spesifik yang menjadi sasaran khitab dalam surah ini memang tidak akan pernah beriman selamanya. Pengetahuan ilahi ini kemudian menjadi dasar bagi perintah kepada Nabi Saw untuk menolak secara tegas tawaran mereka, sekaligus memutus harapan mereka akan adanya kompromi keagamaan.
Sehingga, ayat penutup, “Lakum dīnukum wa liya dīn”, menjadi pernyataan pemisah dan pembeda antara sistem keyakinan yang dipegang masing-masing pihak.
Dalam menyampaikan tafsirnya, al-Ṭabarī tetap berpegang pada pendekatan riwayat. Selain mengutip hadis dan atsar sahabat, beliau juga menggunakan pandangan ahli bahasa Arab untuk menyusun makna ayat secara utuh dan kontekstual. Tidak ditemukan kecenderungan untuk memperluas makna di luar batas teks atau membacanya sebagai wacana terbuka. Penafsiran surah al-Kāfirūn ini setidaknya cukup memberikan contoh bagaimana al-Ṭabarī mengaplikasikan metode tafsir yang telah ditetapkannya, sebagaimana telah dibahas dalam artikel-artikel sebelumnya.
Wallāhu a’lam bi al-ṣawāb
Tabik,
Ibnu Mas’ud
* Artikel ini disarikan dari pembacaan dan refleksi penulis terhadap tafsir surah al-Kāfirūn dari kitab Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān karya Abū Ja‘far Muḥammad ibn Jarīr ibn Yazīd al-Ṭabarī

Tinggalkan komentar