Sepertinya kita sering salah kaprah dalam memahami tanda-tanda cinta Allah Swt. Selama ini, kita mungkin merasa bahwa ketika rezeki lancar, karier mulus, atau hidup terasa mudah tanpa ada gronjalan berarti, adalah tanda-tanda bahwa kita sedang disayang gusti Allah Swt. Benak kita mengatakan, “Hidup kok uwenaknya begini ini pasti karena gusti Allah sayang sama aku.” Eit, jangan terburu-buru mengiyakan dan mengangguk-angguk dulu. Ternyata, pikiran yang seperti ini perlu sedikit diluruskan.
Syaikh Muhammad Sa‘id Ramadhan al-Buthi (rahimahullah), dalam sebuah kajiannya menjelaskan bahwa berbagai kenikmatan dunia seperti kekayaan, jabatan tinggi, atau bahkan terhindar dari bermacam-macam masalah hidup bukanlah bukti pasti bahwa Allah Swt mencintai seseorang.
Beliau mengutip salah satu sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-Baihaqi:
“Sesungguhnya Allah Swt memberi dunia kepada orang yang Dia cintai dan yang tidak Dia cintai. Akan tetapi, Dia tidak memberikan iman kecuali kepada orang yang Dia cintai.”
Hadis ini sangat jelas. Ternyata Allah Swt bisa memberikan kemewahan dunia kepada siapa saja, tanpa memandang apakah orang itu dicintai-Nya atau tidak. Bahkan, ada istilah istidraj, yaitu ketika Allah Swt memberikan kenikmatan duniawi yang justru untuk “menjebak” seseorang agar semakin jauh dari-Nya. Makanya, kita ndak bisa kalau hanya mengandalkan materi duniawi sebagai ukuran “cinta-Nya.”
Lalu, apa tanda sebenarnya bahwa Allah Swt itu sayang dan cinta sama kita? Syaikh al-Buthi menjelaskan bahwa cinta Allah Swt terwujud dalam taufīq, yaitu kemudahan untuk melakukan kebaikan dan ketaatan kepada-Nya.
Coba perhatikan, kalau kita kok merasa ringan untuk datang ke pengajian, hati mudah tergerak untuk membaca Al-Qur’an, atau dengan gampangnya bisa bangun malam untuk shalat tahajud sementara orang lain masih nyenyak tidur, bisa jadi ini adalah tanda kuat bahwa Allah Swt mencintai kita. Ndak ada yang mengungguli ini, karena taufiq (pertolongan) yang diberikan gusti Allah Swt ini jauh lebih berharga daripada segudang harta dan materi duniawi lainnya.
Syaikh al-Buthi bahkan juga menegaskan bahwa merasakan cinta Allah Swt ini, yang tampak dari kemudahan beribadah dan melaksanakan ketaatan, jauh lebih membahagiakan daripada ibadahnya itu sendiri. Bagaimana tidak? Wong kebahagiaan seperti ini pasti datang dari hubungan batin yang deep banget dengan gusti Allah Swt.
Ada kisah menarik yang diceritakan oleh Syaikh al-Buthi tentang seorang wanita salehah yang bekerja sebagai pembantu. Pada suatu malam, majikannya mendengar dia berdoa dengan khusyuk, memohon agar Allah Swt mencintainya. Majikannya lalu heran dan bertanya, “Kenapa kamu tidak meminta supaya kamu yang mencintai Allah saja?”
Jawaban si wanita ini benar-benar greget: “Kalau bukan karena cinta Allah Swt kepadaku, mana mungkin aku bisa berdiri di hadapan-Nya dan bermunajat di tengah malam begini?”
Luar biasa! Ternyata, kemampuan kita untuk beribadah, mendekat kepada Allah Swt, dan merasakan manisnya ketaatan adalah bukti-bukti nyata dari cinta Allah Swt kepada kita. Hal seperti ini yang menurut Syaikh al-Buthi adalah “aroma” cinta ilahi yang patut kita syukuri dengan sebenar-benar syukur.
Mulai sekarang, ada baiknya kita mulai mengubah perlahan cara kita memahami bentuk cinta Allah Swt. Kita perlu lebih peka dalam membedakan mana yang benar-benar merupakan wujud cinta-Nya, dan mana yang bukan. Jika urusan duniawi kok terasa sangat lancar, maka alhamdulillah. Namun ketika keadaan terasa seret, jangan buru-buru merasa bahwa Allah Swt telah berpaling dari kita. Hal terpenting yang perlu kita rasakan adalah, seberapa sering gusti Allah Swt memberikan pertolongan kepada kita untuk dimudahkanberibadah, melaksanakan ketaatan, dan mendekat kepada-Nya. Itulah sebenar-benar tanda cinta dari Allah Swt yang tidak akan pernah pudar.
Fafirrū ila Allāh…

Tinggalkan komentar