Melamban bukanlah hal yang tabu
Kadang itu yang kau butuh
Bersandar hibahkan bebanmu
– Perunggu, 33x
Begitulah potongan lirik dari tembang berjudul 33x yang dibawakan oleh Perunggu. Rangkaian kalimat ini terasa sangat nyaman didengarkan, tapi tidak ketika dipraktikkan. Bukankah kita sering bersalah ketika sedang melamban?
Itulah kita, manusia. Kita lebih suka terburu-buru ketimbang melamban. Entah sejak kapan, kita lebih condong untuk mendapatkan hasil segera, jawaban cepat, sampai-sampai perlu merasa untuk menempuh jalan pintas yang instan. Padahal, ketergesa-gesaan ini, dalam beberapa konteks, bisa menjadi salah satu sumber kesalahan terbesar kita.
Al-Qur’an menggambarkannya dengan tajam:
وَيَدْعُ الْاِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاۤءَهٗ بِالْخَيْرِۗ وَكَانَ الْاِنْسَانُ عَجُوْلًا
“Manusia (seringkali) berdoa untuk (mendapatkan) keburukan sebagaimana (biasanya) berdoa untuk (mendapatkan) kebaikan. Manusia itu (sifatnya) tergesa-gesa.” [QS. Al-Isrā’ (17): 11]
Ibn ‘Āsyūr membaca ayat ini dalam konteks orang-orang yang mengejek ancaman akhirat. Mereka ingin azab disegerakan, seakan-akan ancaman itu omong kosong. Itulah ironinya, manusia memohon kebinasaan dengan cara yang sama seperti ia memohon kebaikan. Sebagian mufassir lain, mengutip penafsiran salaf seperti Ibn ‘Abbās dan Mujāhid yang menunjukkan sisi yang lebih dekat dengan keseharian manusia: dalam keadaan marah, seseorang bisa saja mendoakan keburukan untuk dirinya atau anaknya. Seandainya semua doa seperti itu langsung dikabulkan, barangkali tak ada seorang pun yang selamat.
Imam al-Rāzī menyebutkan lapisan makna lain, kadang kita berdoa dengan sungguh-sungguh memohon sesuatu yang kelihatannya baik, padahal di baliknya tersembunyi keburukan. Atau sebaliknya, kita menolak sesuatu yang pahit, padahal di situlah letak manfaat. Dengan kata lain, terburu-buru bukan hanya masalah “bercepat-cepat”, tapi juga masalah ketidakmampuan dalam menilai sesuatu.
Ada pula tafsir yang mengaitkan sifat ini dengan kisah Nabi Adam As. Ketika ruh baru sampai di bagian atas tubuhnya, ia sudah berusaha bangkit berdiri sebelum sempurna. Al-Qurṭubī memandangnya sebagai simbol bahwa tergesa-gesa memang warisan manusia sejak awal penciptaannya, dan ini adalah bagian dari fitrah manusia. Maka, sifat ini sudah melekat dalam diri kita sebagai manusia. Persoalannya adalah, apakah kita mampu mengelolanya?
Kalau mau melihatnya dalam keseharian kita, pola “tergesa-gesa” ini masih sangat jelas ada dalam diri kita. Bahkan, semakin lama semakin difasilitasi. Informasi, layanan, dan apapun yang kita inginkan bisa segera datang hanya dengan beberapa klik di gawai kita. Semua hal di sekitar kita beredar dengan sangat cepat.
Masalahnya, cepatnya peredaran dunia luar itu merembes ke dalam cara kita berpikir dan mengambil keputusan. Psikologi modern menyebut banyak bias kognitif muncul karena ketergesa-gesaan. Kita mudah percaya pada informasi pertama yang muncul di kepala (availability bias), atau menjadikan perasaan sesaat sebagai kebenaran mutlak (emotional reasoning).
Ayat ini seolah juga mengingatkan kita tentang perkara-perkara ini. Kita sering menyangka tahu apa yang terbaik, padahal keterbatasan perspektif membuat penilaian kita rawan keliru. Pengetahuan yang kita miliki, bagaimapaun, hanya bisa menyingkap permukaan saja, sementara kebijaksanaan—yang menjadi milik Allah—melihat jauh lebih dalam.
Maka tidak heran bila doa tidak selalu segera terkabul. Penundaan itu sendiri, sebagaimana ditekankan oleh banyak mufassir, adalah rahmat Allah. Ini adalah cara Allah menyelamatkan kita dari doa-doa yang lahir dari emosi atau dari kebodohan kita sendiri. Namun, ketergesa-gesaan kita tidak mampu melihat ini dengan jelas, semuanya blur.
Kenapa? Karena kita selalu ingin punya kontrol atas hidup. Kita ingin menentukan hasil, menentukan waktu, bahkan menentukan caranya. Tapi, apakah kita benar-benar memiliki kontrol itu? Atau ini hanya sebatas angan-angan kita saja? Padahal, berdoa adalah bentuk ketidakberdayaan kita. Jika sudah tidak berdaya, kenapa tidak memasrahkan saja semuanya pada Allah?
Mungkin, salah satu pesan dari ayat tersebut adalah agar kita mau belajar tidak tergesa-gesa. Berikan jeda. Tidak cepat menyimpulkan, tidak buru-buru mengutuk, dan tidak pula segera menuntut. Kita perlu benar-benar melamban, agar kita punya kesempatan untuk melihat betapa karunia dan tanda-tanda kebesaran-Nya ternyata ada dimana-mana. Sekali lagi, melamban bukanlah hal yang tabu.
Jangan-jangan, berbagai doa kita yang tidak segera dikabulkan itu adalah “pelatihan” dari Allah, agar kita tidak mudah tergesa-gesa lagi? Allāhu a‘lam.
Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar