Kita begitu sibuk memperlakukan dunia seolah inilah satu-satunya hal yang penting bagi kita. Kita khawatir, mengejar, berebut, bahkan bertengkar demi sepotong bagian kecil dari yang jelas-jelas fana. Padahal, Nabi pernah bersabda:
لو كانت الدنيا تعدل عند الله جناح بعوضة ما سقى منها كافراً شربة ماء
“Jika dunia mempunyai nilai di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberikan kepada orang kafir setetes airpun.” (HR. al-Tirmiżī).
Bayangkan, sayap nyamuk! Sebuah bagian kecil, dari makhluk yang sangat kecil. Yang biasanya kita buang begitu saja setelah menepuknya. Siapa di antara kita yang pernah memperhatikan nilainya? Adakah yang menganggapnya penting? Saya pikir, lebih banyak dari kita yang menganggapnya mengganggu. Tapi itulah ukuran dunia di sisi Allah. Ia tidak lebih dari sesuatu yang tak berarti. Lucunya lagi, kita masih berlomba-lomba seolah dunia ini adalah segalanya.
Ibn al-Qayyim menulis dalam al-Fawāid, cinta dunia itu seperti racun yang diam-diam menguasai jiwa. Ia memperbudak, menyesakkan, dan mengaburkan pandangan. Semakin kuat cinta itu, semakin rapuh kita menghadapi perpisahan dengannya. Karena dunia selalu menagih satu hal yang pasti: perpisahan, cepat atau lambat.
Lalu kenapa kita merasa perlu memperlakukannya bak istana emas? Entahlah. Mungkin karena saking dekatnya dunia di depan mata, kita jadi lupa akhirat yang jauh disana. Kita pun rela bertengkar demi harta, status, dan pengakuan, padahal semua itu sebentar lagi akan ditinggalkan. Tidak ada satupun dari semua yang kita perebutkan itu akan kita bawa ketika mati.
Di lain kesempatan, Nabi menggambarkan dunia sebagai sesuatu yang lebih hina dari bangkai anak kambing yang cacat. Lagi, seekor kambing kecil yang mati tergeletak di pasar, telinganya cacat, dan baunya menyengat. Tidak ada yang mau membawanya pulang meski gratis. Itulah keadaan dunia yang digambarkan Nabi. Kalau sesuatu yang kita perebutkan ini bahkan lebih rendah dari bangkai itu, bukankah kita benar-benar sedang terjebak dalam ilusi?
Tampaknya kita memang perlu belajar zuhud. Jujur saja, abai terhadap dunia sepenuhnya bukanlah perkara yang mudah. Zuhud bukan berarti membuang dunia begitu saja, tapi mengosongkan hati darinya. Mengabaikannya untuk menjadi hal “penting” dalam hidup kita. Tangan boleh saja menggenggamnya, tapi hati harus tetap merdeka. Dunia hanya jadi alat, bukan tujuan utama. Begitu hati terbebas dari keterikatan, seharusnya hidup ini akan jauh lebih ringan.
Sufyān al-Ṡaurī pernah berkata:
من زهد في الدنيا ملكها، ومن رغب فيها عبدها
“Siapa yang zuhud pada dunia, maka ia menguasainya. Dan siapa yang rakus padanya, maka ia diperbudak olehnya.”
Inilah kenyataannya. Siapapun yang merasa butuh berlebihan pada dunia, ia akan terikat dan terseret. Sedangkan siapa yang bisa meletakkannya di belakang punggungnya, justru akan hidup seperti raja.
Barangkali, inilah rahasia ketenangan para ulama dan salihin. Mereka tidak menutup mata dari dunia, tapi tidak pernah tertipu olehnya. Harta, jabatan, dan nama baik hanyalah pinjaman yang digunakan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka tidak benar-benar ingin “membangun” rumah di dunia ini. Karena mereka sadar bahwa rumah sejati mereka adalah negeri akhirat, negeri yang lā mawt fīhā—tidak ada kematian di dalamnya.
Maka, kita perlu bertanya kepada diri masing-masing, apa yang sebenarnya sedang kita bangun? Rumah di atas sayap nyamuk, atau istana di negeri yang abadi?
Kalau dunia yang sekecil sayap nyamuk saja kita genggam erat-erat, bagaimana mungkin kita tidak hancur saat tiba waktunya kita dipaksa berpisah darinya?
Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar