Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Berbeda Tidak Harus Mencela

Pertanyaan tentang hukum merayakan Maulid Nabi selalu muncul setiap tahun. Setiap tahun itu pula, bukan hanya dalil yang diperdebatkan. Tidak jarang, kata-kata kasar juga ikut terlontar. Seakan-akan diskusi tentang hukum berubah menjadi arena saling mencaci.

Padahal, jika ditarik ke ajaran Nabi sendiri, apa yang ditunjukkan oleh sebagian umatnya ini patut dipertanyakan. Rasulullah digambarkan dalam hadis:

لم يكن فاحشًا ولا مُتَفَحِّشًا ولا صَخَّابًا في الأسواقِ، ولا يَجْزِي بالسيئةِ السيئةَ، ولكن يَعْفُو ويَصْفَحُ

Beliau bukanlah seorang yang keji dan suka berkata-kata keji. Beliau bukan orang yang suka berteriak di pasar, bukan pula yang membalas keburukan dengan keburukan. Sebaliknya, beliau suka memaafkan dan berlapang dada.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin orang yang mengaku membela Nabi justru menghalalkan caci maki atas nama beliau?

Kita bisa melihat contoh menghadapi perbedaan dalam tradisi keilmuan para ulama kita. Kitab-kitab fikih biasanya menuliskan perbedaan pendapat dengan pola yang sangat mendidik: qāla al-syāfi‘iyyah wa akhṭa’ū, wa al-raddu ‘alayhim kadzā… lalu menyusul: wa qaala al-ḥanafiyyah kadzā, wa al-raddu ‘alayhim kadzā. Semuanya ditulis dengan bahasa ilmiah yang santun, bukan dengan makian. Ilmu melatih manusia untuk menyebut pendapat, memberi bantahan, lalu selesai. Tidak ada yang perlu ditinggikan dengan merendahkan orang lain.

Al-Qur’an pun mengajarkan hal yang sama:

وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَىٰ هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

“Sesungguhnya kami atau kalian pasti berada di atas petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Saba’: 24)

Nabi diminta berbicara dengan sangat santun. Padahal yang dihadapi saat itu bukan sesama Muslim, melainkan kaum musyrikin. Jika kepada musyrik saja diperintah dengan bahasa sehalus ini, apalagi kepada sesama Muslim yang hanya berbeda pandangan soal Maulid.

Persoalan Maulid sendiri sejak awal berada dalam ranah khilāfiyyah. Ada yang mengharamkan, ada yang membolehkan. Ada yang menyebutnya bid‘ah, ada pula yang melihatnya sebagai sarana menghidupkan cinta kepada Rasulullah. Tetapi, perbedaan semacam ini bukan hal baru. Bahkan dalam masalah bacaan al-Fātiḥah di belakang imam saja, ulama sudah berbeda pendapat sejak dulu. Imam Syafi‘i mengatakan wajib, Imam Abū Ḥanīfah mengatakan tidak. Namun, tidak ada catatan mereka saling menghina kan?

Semestinya, yang perlu dijadikan sebagai fokus utama bukan hanya pada hukum boleh atau tidak, melainkan pada cara berbicara tentangnya. Allah Swt telah berpesan:

وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا

“Dan apabila kalian berkata, maka berlaku adillah.” (QS. al-An‘ām: 152)

Dan juga:

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا

“Berkatalah yang baik kepada manusia.” (QS. al-Baqarah: 83)

Lihatlah, ayat ini menggunakan kata “manusia,” bukan hanya “Muslim.” Maka, kepada penyembah berhala sekali pun, perintah mengucapkan hal yang baik itu tetap berlaku.

Jika ditinjau dari dalil dan praktik sejarah, memperingati kelahiran Nabi dapat dipandang sebagai momen menambah syukur, memperkuat cinta, dan menyambungkan hati kepada beliau, selama tidak bercampur dengan hal-hal yang jelas dilarang seperti syirik, ikhtilāṭ, atau musik yang melalaikan.

Namun, di luar kesimpulan hukum, ada pelajaran lebih besar: jangan menjadikan pendapat pribadi sebagai “fatwa final” lalu menganggap orang lain otomatis salah. Perbedaan di kalangan sahabat pun terjadi. Abu Bakar dan Umar pun pernah berbeda pandangan tentang warisan. Bedanya besar sekali, tetapi keduanya tetap sahabat terbaik setelah Nabi.

Karena itu, yang lebih penting hari ini bukan sekadar pro atau kontra Maulid, namun bagaimana perbedaan itu tidak berubah menjadi jurang kebencian yang dalam. Sebab, yang paling diuntungkan dari caci maki antar sesama umat ini hanyalah iblis.

Bagi yang ingin merayakan, hendaknya dirayakan dengan adab. Bagi yang tidak ingin ikut, tidak perlu dipaksa. Bukankah Allah sendiri telah memberi kebebasan pada perkara yang lebih besar?

فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ

Maka barang siapa yang mau, hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang mau, hendaklah ia kafir.” (QS. al-Kahf: 29)

Jika dalam soal iman dan kufur saja ada kebebasan, apa ya pantas kalau dalam masalah khilāfiyyah semacam ini kita sampai adu mulut hingga berbusa-busa?

Sebaiknya kita perlu merenungkan hadis ini:

إِنَّ اللهَ عزَّ وجلَّ وملائِكتَهُ ، و أهلَ السمواتِ والأرضِ ، حتى النملةَ في جُحْرِها ، وحتى الحوتَ ، ليُصَلُّونَ على معلِّمِ الناسِ الخيرَ

“Sesungguhnya Allah SWT, para malaikat dan semua penduduk langit dan bumi, sampai semut di sarangnya dan ikan (di lautan) pasti bersalawat (mendoakan) kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.”

Ajarkan kebaikan dengan cara yang baik. Jangan sampai kita ingin menyampaikan sesuatu yang menurut kita baik, tapi dengan cara-cara yang kotor dan tidak bijaksana.

Lagipula, merayakan kelahiran beliau seharusnya juga tidak berhenti pada acara-acara seremonial semata. Seharusnya itu senantiasa tercermin dalam bahasa dan sikap kita sehari-hari. Sebab, cara terbaik memperingati kelahiran Nabi adalah dengan menjaga agar lidah tetap baik, adil, dan penuh kelembutan—sebagaimana akhlak beliau sendiri.

Allāhu a‘lam

Tabik,
Ibnu

* Disarikan dari kajian Syaikh Adham al-‘Āsimī melalui kanal Youtube

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts