Selamat datang di zaman yang serba luar biasa. Zaman dimana orang-orang biasa akan tersingkir —atau disingkirkan— dengan sendirinya. Kita pun perlahan rela menjadi budak zaman ini. Sehingga apapun yang kita perbuat, rasanya harus spektakuler, istimewa, dan kalau bisa ya…viral.
Semakin kita mengikuti arus ini, semakin cepat pula kita tenggelam. Kita akan mudah merasa gagal, tidak produktif, tidak seperti teman lainnya, dan seterusnya. Hanya karena daftar pencapaian yang tidak ter-ceklis, kita mulai bingung. Lalu, ratapan tentang ketidak becusan menjalani hidup segera hadir. Setelah itu, kita semakin tenggelam, dan lebih dalam. Padahal, apa salahnya menjadi orang yang biasa-biasa saja?
Terdapat sebuah hadis yang mungkin cocok untuk direnungkan. Hadis ini diriwayatkan oleh sahabat Sa‘ad ibn Abī Waqqāṣ. Suatu hari, beliau sedang berada di tengah ternaknya. Anaknya datang dan berkata, “Mengapa ayah di sini, sementara orang-orang sedang berebut kekuasaan?” Sa‘d menepuk dadanya seraya menjawab, “Diamlah. Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda…” Lalu beliau meriwayatkan:
إن الله يحب العبد المؤمن التقي الغني الخفي
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang beriman, bertakwa, kaya, dan tersembunyi.” (HR Muslim)
Imam al-Sakhāwī dalam Fayḍ al-Qadīr menjelaskan tiga sifat ini dengan detail.
Taqī adalah orang yang meninggalkan maksiat karena sadar akan perintah dan larangan Allah. Kata taqī berasal dari al-wiqāyah (perlindungan), dengan bentuk kata yang menunjukkan usaha serius untuk menjaga diri. Jadi bukan sekadar tidak berbuat maksiat karena kebetulan, melainkan benar-benar memasang perisai agar dosa tidak menembus dirinya.
Ghanī bisa berarti kaya hati, sebagaimana ditegaskan dalam sebagian riwayat: al-ghanī ghinā al-nafs. Inilah kaya yang paling dicintai Allah: merasa cukup, tidak rakus, dan tidak sibuk membandingkan. Namun, al-Bayḍāwī, al-Qāḍī ‘Iyāḍ, dan al-Ṭībī menafsirkan bahwa yang dimaksud bisa juga kaya harta. Harta itu sendiri, kata al-Sakhāwī, tidak tercela pada zatnya. Yang berbahaya adalah kalau ia menghalangi dari Allah. Faktanya, betapa banyak orang kaya yang tidak dilalaikan oleh hartanya dari Allah, dan betapa banyak orang miskin yang justru dilalaikan oleh kemiskinannya. Maka, tidak bisa digeneralisasi bahwa kaya lebih utama daripada miskin, atau sebaliknya.
Khafī berarti orang yang tersembunyi. Al-Sakhāwī memaknainya sebagai seseorang yang tidak menonjol, menjauh dari keramaian, menyembunyikan dirinya dari sorotan agar bisa lebih tenang dalam beribadah. Ibn Ḥajar menambahkan, sifat ini sekaligus menjadi isyarat meninggalkan riya. Makna ini selaras. Orang riya’ condong untuk menampakkan diri, sedangkan tipe orang dengan sifat khafī ini tidak.
Inilah yang ditekankan. Tidak kondang itu bukan masalah besar. Justru, kita menjadi lebih aman dari riyā‘ dan penyakit turunannya karena terhindar dari jebakan syuhroh alias popularitas. Lagipula, tidak tampak bukan berarti tidak beramal kan?
Lalu, apakah jika kita biasa-biasa saja, artinya kita tidak punya keistimewaan di sisi Allah? Belum tentu. Bisa jadi sesuatu yang tidak tampak itu justru yang terbaik. Nyatanya, Allah punya “tradisi” untuk merahasiakan sesuatu yang terbaik, yang kualitasnya paling top. Misalnya, salat wustha. Itu adalah salat yang paling istimewa. Apakah itu salat Ashar atau Maghrib, tidak ada yang tahu pasti. Contoh lainnya, laylat al-qadr. Itulah malam terbaik, yang lebih baik dari 1000 bulan. Kapan terjadinya? Lagi-lagi, tidak ada yang tahu pasti.
Oleh sebab itu, sebagian kaum arifin berkata: “Hidup khumūl (tersembunyi) itu bukanlah aib bagi seseorang yang memiliki kesempurnaan. Bukankah malam laylat al-qadr itu tersembunyi, padahal ia adalah sebaik-baik malam?”
Kalau dipikir lagi, hadis ini memang menohok. Kita cenderung gelisah kalau nama kita tidak disebut, karya kita tidak ada yang menengok, atau pencapaian kita tidak terdengar oleh siapapun. Seakan-akan hidup yang “sunyi” itu sama dengan hidup yang sia-sia. Padahal Nabi justru menyebut khafī—yang tersembunyi—sebagai sifat yang dicintai Allah.
Bukan berarti kita harus menolak semua bentuk popularitas atau visibilitas. Namun, terlalu haus perhatian akan membuat hati mudah bergantung pada penilaian orang lain. Makanya, ada orang yang rajin beramal hanya kalau ada penontonnya. Ada juga yang baru semangat kalau dipuji. Padahal, ukuran-ukuran seperti itu rapuh sekali.
Susunan kalimat dalam hadis ini juga istimewa. Allah mencintai seorang hamba, yang memiliki sifat-sifat: mukmin, bertakwa, kaya, dan tersembunyi. Seolah ini urutan dari yang umum menuju yang paling khusus. Dari akar menuju buah. Dan bisa jadi, ini adalah proses step by step. Iman adalah akarnya, taqwa adalah batangnya, ghanī adalah rantingnya, dan khafī adalah buahnya.
Saya membayangkan sebuah meme yang biasanya menggambarkan para nasabah prioritas di berbagai Bank. Saldo mereka hampir tak berbatas. Tapi, biasanya mereka adalah tamu paling sederhana di bank itu. Pakaiannya biasa-biasa saja, kaos oblong. Alas kakinya, hanya sandal jepit saja. Mereka tidak ingin tampil mencolok dan berbeda.
Barangkali seperti itulah gambaran seorang yang tersembunyi. Sebagaimana para nasabah ini hanya bank saja yang tau besaran saldonya. Amal-amal orang biasa itu juga hanya diketahui Allah saja. Mereka tetap tampil apa adanya, sesuai dengan kebutuhan. Dengan hidup dan tampilan biasa-biasa saja, orang-orang yang memiliki keutamaan tidak akan luntur keutamaannya. Kharisma dan wibawanya, akan tetap tampak. Allāhu a’lam.
Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar