Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Asal-Muasal Dosa

Kalau kita bicara soal dosa, biasanya bayangan kita langsung tertuju pada daftar larangan syariat seperti mencuri, berzina, berbohong, atau meminum yang haram. Iya betul itu semua adalah tindakan “berdosa.” Namun, pernahkah kita berpikir kenapa seseorang bisa terjerumus pada dosa-dosa itu?

Dalam Iḥyā’, Imam al-Ghazālī menyebutkan bahwa dosa pada dasarnya adalah setiap penyimpangan dari perintah Allah, baik dalam bentuk meninggalkan kewajiban maupun melakukan yang terlarang. Karena itu, mengenali dosa adalah syarat untuk bertaubat. Bagaimana mungkin seseorang bisa meninggalkan dosa kalau ia bahkan tidak tahu jika perbuatannya termasuk dosa? Di sinilah pentingnya pengetahuan untuk memahami jenis-jenis dosa menjadi bagian dari kewajiban seorang hamba.

Menurutnya, akar dosa manusia bersumber dari empat sifat yang tertanam dalam dirinya: sifat rubūbiyyah, sifat syaiāniyyah, sifat bahīmiyyah, dan sifat sabu‘iyyah. Keempat sifat ini seperti bahan campuran yang sejak awal melekat dalam “adonan” manusia.

Sifat rubūbiyyah (ketuhanan) melahirkan dosa-dosa yang terkait dengan kesombongan seperti merasa lebih tinggi dari orang lain, mencintai pujian, mencari kekuasaan, ingin abadi, atau ingin dipandang mulia. Kalau dibiarkan, sifat ini bisa membuat seseorang mengulang kalimat yang pernah diucapkan Fir‘aun: anā rabbukum al-a‘lā. Sifat inilah yang melahirkan “dosa besar” berupa kesombongan eksistensial, yang sering tidak disadari karena terselubung lewat ambisi-ambisi duniawi.

Sifat syaiṭāniyyah (kesetanan) memunculkan tipu daya dan keburukan batin seperti dengki, licik, suka menipu, mengajak pada kerusakan, dan menumbuhkan kebiasaan munafik. Dari sinilah lahir perbuatan yang mencederai akidah, menyebarkan bid‘ah, atau mengubah agama menjadi permainan retorika yang menipu.

Sifat bahīmiyyah (kehewanan) menampakkan wajahnya dalam kerakusan. Ia menjelma dalam bentuk pemuasan nafsu perut dan syahwat seperti zina, liwā, mencuri, merampas harta yatim, menimbun kekayaan hanya untuk syahwat. Semua ini adalah jenis dosa yang membuat manusia menurun pada tingkat paling rendah, menyerupai binatang yang hanya mengenal makan dan kawin.

Sedangkan sifat sabu‘iyyah (kebuasan) berasal dari naluri buas seperti amarah, dendam, menyerang, menyakiti, atau menindas. Dari sinilah lahir dosa-dosa yang terkait dengan kezaliman sosial seperti memukul, membunuh, menghina, merampas, dan segala bentuk penindasan terhadap manusia lain. Bedanya dengan sifat bahīmiyyah, dorongan utamanya bukanlah kenikmatan, melainkan kekerasan.

Keempat sifat itu, menurut Imam al-Ghazālī, tidak berdiri sejajar. Ada urut-urutannya. Pertama-tama, manusia digoda oleh sifat bahīmiyyah: lapar, nafsu, syahwat. Setelah itu, sifat sabu‘iyyah menyusul: marah, dendam, kekerasan. Dua sifat ini kemudian bekerja sama dengan akal untuk menghasilkan tipu daya, kelicikan, dan makar—itulah sifat syaiṭāniyyah. Dan pada puncaknya, ketika manusia semakin jauh dari kesadaran, muncullah sifat rubūbiyyah: kesombongan yang ingin merampas posisi Tuhan.

Kalau kita tarik ke kehidupan sehari-hari, pembagian ini terasa sangat nyata. Seorang pejabat yang korup, misalnya, bisa dilihat dari akar dosanya. Ia mungkin berangkat dari sifat bahīmiyyah (rakus harta), lalu berlanjut ke sifat sabu‘iyyah (menindas bawahan, memeras rakyat), berkembang ke sifat syaiṭāniyyah (menyusun tipu daya untuk melanggengkan tindakan korupsi dan menutupinya), dan akhirnya sampai ke sifat rubūbiyyah (merasa dirinya di atas hukum, seolah tidak tersentuh).

Dari sini, kita juga bisa melihat bahwa dosa bukan sekadar “kesalahan teknis” melanggar hukum. Ia adalah ekspresi dari kualitas batin yang dominan dalam diri seseorang. Karena itulah Imam al-Ghazālī menyebut dosa sebagai sesuatu yang menutupi hati dari Allah. Semakin banyak dosa, semakin tebal hijab (penutup) itu, dan semakin sulit manusia untuk kembali.

Maka, setiap kali kita merasa terjebak dalam sebuah kesalahan, kita bisa menelusuri: apakah ini lahir dari sifat bahīmiyyah dalam diri kita? Atau sabu‘iyyah? Atau justru syaiṭāniyyah? Atau malah sudah sampai ke level rubūbiyyah? Pertanyaan ini bisa menjadi cara sederhana untuk bercermin.

Bagaimanapun, taubat selalu dimulai dari pengetahuan. Orang yang tahu letak lukanya, tentu lebih mudah untuk bisa mengobatinya. Orang yang tahu dari mana arah godaannya, bisa jadi akan lebih waspada. Dan orang yang tahu dari mana asal-muasal dosanya, sepertinya akan lebih mudah menemukan jalannya untuk kembali.

Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts