Semangat membara ketika memulai, lalu padam begitu saja kemudian. Misalnya, tiba-tiba kita kepikiran untuk hidup lebih sehat dengan berolahraga. Lalu, kita yakin bisa lari setiap hari. Hari pertama, karena sangat bersemangat, kita berlari sejauh 3 KM. Hari kedua, turun menjadi 1 KM. Hari ketiga? Rutinitas itu berakhir.
Beramal pun juga demikian. Ada kalanya kita begitu bersemangat di awal, namun loyo beberapa saat kemudian.
Suatu ketika Nabi ditanya oleh seseorang tentang amal apa yang paling dicintai oleh Allah Swt, dan beliau menjawab:
“Yang paling terus-menerus (konsisten), meskipun sedikit.”
Beliau juga bersabda:
“Lakukanlah amal sesuai dengan kemampuan kalian.” (HR. al-Bukhārī)
Lihatlah, Allah Swt sejak awal tidak pernah menuntut sesuatu yang besar. Semangat boleh, tapi realistis. Lihat dulu kemampuan kita, baru kemudian putuskan untuk beramal secara konsisten. Karena Allah Swt lebih menyukai amal yang berulang-ulang dikerjakan, meskipun tampak kecil dan sederhana, dibandingkan dengan amal besar yang hanya sekali dilakukan, kemudian berhenti.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan dicintai Allah? Dan kenapa amal kecil yang dilakukan secara terus menerus itu bisa meraih cinta-Nya?
Ibn al-‘Arabī, seperti dikutip al-Suyūṭī dalam Syarḥ Sunan al-Nasā’ī, menjelaskan bahwa maksud “dicintai Allah” adalah amal yang paling banyak pahalanya. Dan yang paling banyak pahalanya adalah amal yang berkesinambungan. Imam al-Nawawī menambahkan, amal kecil yang konsisten bisa menumbuhkan zikir, muraqabah, ikhlas, dan keterhubungan kepada Allah. Pada akhirnya, amal itu justru bisa melampaui amal besar yang terputus di tengah jalan.
Menurut Ibn al-Jawzī, ada dua alasan mengapa Allah menyukai amal yang dilakukan terus-menerus. Pertama, orang yang meninggalkan amal setelah sempat memulainya, bagaikan tamu yang sudah sampai ke pintu lalu pergi begitu saja. Itu adalah sikap berpaling setelah sempat mendekat. Kedua, orang yang konsisten dalam kebaikan adalah orang yang terus berada dalam pengabdian kepada Allah. Dan tidak sama orang yang tetap mengetuk pintu dengan orang yang sudah berhenti di tengah jalan.
Dalam Ithāf al-Sādah al-Muttaqīn, al-Zabīdī menyebutkan bahwa sebuah amal yang dilakukan terus-menerus, meski ringan, membuat jiwa menjadi terbiasa. Keterbiasaan itu menjaga hati untuk tetap condong kepada Allah. Karena itu, para ulama berpesan: jangan putus dalam melakukan amal, meski terasa kecil dan tidak terlihat hasilnya. Cukuplah sebuah kemuliaan bahwa Allah masih menempatkan kita dalam khidmah kepada-Nya.
Hal ini persis seperti apa yang disampaikan oleh al-Munāwī dalam Fayd al-Qadīr, bahwa rahasia dari amal yang terus dilakukan adalah karena jiwa akan merasa akrab dengannya. Lama-kelamaan, ia tidak lagi terasa berat, bahkan menjadi bagian rutin dari hidupnya. Orang yang konsisten itu akan mendapat suplai pertolongan dari Allah. Sebagaimana disebut oleh para sufi bahwa meninggalkan wirid atau amalan rutin itu sesuatu yang berat dampaknya, karena membuat pintu rahmat ikut tertutup.
Jadi, lakukan saja dan jangan berhenti. Tapi, sebelum itu mari kita coba untuk melihat diri masing-masing, kira-kira kebaikan apa yang bisa dilakukan secara konsisten. Semua ini tentang latihan. Semakin kita sering melakukan amal yang sama, kita semakin terbiasa. Kebiasaan itu membuat kita jadi lebih mudah ikhlas, tidak mengungkit-ungkit, dan tentu saja, akan ter-automasi dalam kehidupan kita.
Lalu, ukuran konsistennya apa? Menurut Al-Qasthallānī, yang dimaksud dengan “kontinu” tidak harus sepanjang hidup tanpa jeda sama sekali. Yang dimaksud adalah kontinuitas secara kebiasaan, misalnya setiap hari, atau setiap pekan, atau setiap bulan—selama bisa disebut sebagai rutinitas. Jadi bukan berarti seseorang harus bangun semalaman tanpa henti, atau beribadah di luar batas kemampuan. Nabi sendiri menekankan: lakukan sesuai kemampuanmu.
Nah, perubahan jiwa memang lahir dari hal-hal kecil yang konsisten. Seperti anak kecil yang belajar berjalan dengan langkah goyah sebelum akhirnya bisa berlari, iman juga tumbuh dari gerak yang terus-menerus, bukan dari lompatan sesaat. Karena itu, para ulama diatas seolah menekankan bahwa amal yang istiqamah adalah kunci, tanda keterhubungan kita dengan Allah sekaligus nikmat tersendiri karena Allah masih menempatkan kita dalam posisi khidmah kepada-Nya.
Boleh jadi amalan-amalan kecil yang kita lakukan secara konsisten mendapat tempat khusus di sisi-Nya. Maka, jangan remehkan amalan-amalan itu. Tetaplah konsisten. Jangan Berhenti.
Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar