Di antara sekian banyak ajaran agama, ada dua kata yang terus berdampingan: harapan (rajā’) dan ketakutan (khauf). Keduanya seperti dua sisi timbangan yang tak boleh timpang. Harapan mengajak manusia menatap rahmat Allah, sementara ketakutan menjaga agar tidak lalai oleh godaan dunia. Tanpa keduanya, iman kehilangan keseimbangan.
Sebuah hadis yang termaktub dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī melukiskan hal itu dengan cara yang indah. Nabi Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah menciptakan rahmat pada hari Dia menciptakannya menjadi seratus bagian. Dia menahan di sisi-Nya sembilan puluh sembilan bagian, dan menurunkan satu bagian ke seluruh makhluk. Seandainya orang kafir mengetahui seluruh rahmat yang ada di sisi Allah, niscaya ia tidak akan berputus asa dari surga. Dan seandainya orang mukmin mengetahui seluruh azab yang ada di sisi Allah, niscaya ia tidak akan merasa aman dari neraka.” (HR. al-Bukhārī)
Hadis ini memuat dua pesan yang berdampingan: janji rahmat dan ancaman azab. Ibn Ḥajar, dalam Fatḥ al-Bārī, menegaskan bahwa seorang mukmin dianjurkan untuk selalu hidup di antara keduanya. Harapan yang berlebihan bisa menjerumuskan pada kelengahan—merasa aman tanpa perlu beramal. Ketakutan yang berlebihan bisa menjerumuskan pada keputusasaan—merasa amal selalu sia-sia hingga kehilangan semangat untuk memperbaiki diri.
Ibn Ḥajar bahkan mengutip ungkapan Abu ‘Utsmān al-Jīzī:
من علامة السعادة أن تطيع وتخاف أن لا تقبل ومن علامة الشقاء أن تعصي وترجو أن تنجو
“Tanda kebahagiaan adalah engkau beramal taat tapi masih takut tidak diterima. Dan tanda kesengsaraan adalah engkau bermaksiat tapi masih berharap akan selamat.”
Ungkapan ini menunjukkan bahwa kebahagiaan didapatkan dengan menempuh keduanya secara bersamaan, bukan hanya condong ke salah satunya. Rahmat Allah bukan alasan untuk menunda taubat, dan azab-Nya bukan alasan untuk berhenti berharap.
Kita bisa mengilustrasikannya dengan seseorang yang sedang mendaki gunung. Harapan itu seperti tujuan di puncak yang membuatnya terus melangkah, meski jalannya terjal. Takut itu seperti ketika ada jurang di samping yang membuatnya tetap waspada agar tidak tergelincir. Kalau hanya melihat puncak tanpa memperhatikan jurang, orang itu bisa bertindak ceroboh. Kalau hanya melihat jurang tanpa menengok puncak, dia bisa berhenti melangkah.
Ibn Ḥajar juga menjelaskan bahwa rasa takut dan harapan memiliki tempatnya masing-masing. Ketika sehat, rasa takut sebaiknya lebih kuat agar seseorang tidak gampang meremehkan amal. Namun, saat sakit—terutama ketika mendekati ajal—harapan sebaiknya lebih dominan, agar hati kembali kepada Allah Swt dengan penuh husnuzan. Nabi sendiri berpesan, “Janganlah salah seorang di antara kalian meninggal kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.”
Ada pula riwayat tentang seorang pemuda yang ditanya Nabi saat sakaratul maut:
“Bagaimana keadaanmu?”
Ia menjawab, “Aku berharap kepada Allah, namun aku juga takut akan dosaku.”
Nabi lalu bersabda, “Tidaklah berkumpul dua hal ini pada hati seorang hamba dalam keadaan seperti ini, melainkan Allah akan memberinya apa yang ia harapkan dan melindunginya dari apa yang ia takutkan.”
Maka, inilah yang menjadi panduan kita: menyeimbangkan rasa takut dan rasa harap. Ketika tergoda untuk meremehkan dosa, rasa takut harus dikuatkan. Ketika hampir berputus asa karena kesalahan, harapan harus ditumbuhkan.

Tinggalkan komentar