Perbuatan manusia itu ada dua jenis: baik dan buruk. Setiap melakukan perbuatan baik, ia akan mendapatkan ganjarannya. Begitupun ketika melakukan tindakan buruk, ia tidak akan luput dari balasannya. Sekecil apapun perbuatan itu, kita akan menerima konsekuensinya.
Namun, ada momen tertentu yang sepertinya sering kita alami: hampir melakukan sesuatu, tapi tidak jadi. Misalnya, kita sudah berniat membawa bekal berlebih untuk disedekahkan kepada peminta-minta yang sering kita temui di jalan. Ternyata, ketika kita lewat jalan itu, dia tidak ada. Otomatis, tidak jadi sedekah.
Itu contoh “hampir” yang baik. Tidak jarang pula kita mengalami “hampir” yang buruk. Lalu, apakah niat ini, —baik atau buruk— sudah dianggap sebagai suatu perbuatan yang akan mendapatkan balasannya?
Mari kita lihat sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh al-Bukārī dari Ibn ‘Abbās Ra:
إن الله كتب الحسنات والسيئات ثم بين ذلك فمن هم بحسنة فلم يعملها كتبها الله له عنده حسنة كاملة فإن هو هم بها فعملها كتبها الله له عنده عشر حسنات إلى سبع مائة ضعف إلى أضعاف كثيرة ومن هم بسيئة فلم يعملها كتبها الله له عنده حسنة كاملة فإن هو هم بها فعملها كتبها الله له سيئة واحدة
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan kebaikan dan keburukan, kemudian menjelaskannya. Siapa yang berniat melakukan suatu kebaikan namun tidak jadi mengerjakannya, Allah tetap menulisnya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya. Adapun jika dia berniat melakukan suatu kebaikan lalu mengerjakannya, Allah menulisnya di sisi-Nya sepuluh kali lipat hingga 700 kali lipat, bahkan sampai sekian banyak kelipatan. Akan tetapi, siapa yang berniat melakukan suatu keburukan lalu tidak mengerjakannya, Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan sempurna. Adapun jika dia berniat melakukannya lalu dia mengerjakannya, Allah mencatatnya sebagai satu keburukan.“
Inilah rahasia pencatatan perbuatan manusia. Ibn Ḥajar dalam Fatḥ al-Bārī menjelaskan bahwa istilah al-hamm (niat/keinginan) ini lebih tinggi dari sekadar lintasan hati yang hanya numpang lewat. Dalam bahasa Jawa, al-hamm ini identik dengan “krenteke ati.” Ia adalah kecenderungan yang lebih serius, sudah betul-betul kepikiran. Karena itu, niat kebaikan jenis ini, meski gagal dieksekusi, tetap ditulis sebagai amal. Tidak tanggung-tanggung, ḥasanah kāmilah—kebaikan sempurna. Mengapa? Karena keinginan itu sendiri sudah bentuk kerja hati. Sedangkan hati adalah inti dari amal manusia.
Namun, jangan salah paham. Tidak semua krentek ini otomatis mendapat nilai yang sama. Ibnu Ḥajar memberi catatan jika seseorang ingin berbuat baik, lalu terhalang karena faktor eksternal, bisa jadi pahalanya lebih besar. Apalagi jika ia kemudian merasa menyesal karena gagal melakukan apa yang telah diniatkannya itu. Sebaliknya, bila batal karena memang menghilangkan niatnya sendiri, tentu lebih ringan nilainya. Jadi, bahkan di level niat, kualitas hati tetap menjadi ukuran.
Lalu bagaimana jika krentek itu benar-benar terealisasi? Allah Swt memberikan “bonus” istimewa. Minimal ganjarannya 10 kali lipat, bisa juga 700 kali lipat, atau bahkan lebih. Tambahan kelipatan itu bergantung pada beberapa faktor yang menyertai amalnya seperti ketulusan, kekuatan ‘azam, dan kebermanfaatannya. Misalnya, sedekah yang bermanfaat bagi banyak orang lebih utama dibandingkan yang manfaatnya terbatas.
Lalu bagaimana dengan niat buruk? Selama hanya berhenti di niat, tidak jadi dikerjakan, Allah Swt tetap menulisnya sebagai satu kebaikan. Kenapa demikian? Usaha kita untuk meng-cancel niat buruk itu dicatat sebagai sebuah amal baik. Bukankah ini termasuk mencegah diri untuk melakukan keburukan?
Akan tetapi, jika ternyata niat buruk itu jadi diwujudkan, Allah Swt hanya menulis satu keburukan. Hanya satu, tidak ada kelipatannya. Bandingkan dengan kebaikan yang bisa berlipat ganda. Disinilah seharusnya kita bisa melihat betapa besar rahmat Allah Swt.
Memang keadilan Allah Swt itu berpihak pada kita. Pada kebaikan, selalu ada ruang untuk berlipat. Pada keburukan, hanya ada satu. Bahkan, catatan-catatan buruk itu bisa dihapus dengan taubat, istighfār, atau amal baik lainnya. Tidakkah ini menunjukkan bahwa jalan menuju Allah Swt jauh lebih lapang dibandingkan dengan jalan berpaling dari-Nya?
Maka kita perlu memperhatikan apapun yang terlintas dalam hati kita. Jika itu buruk, segera lawan dan abaikan. Jika itu baik, pupuklah, hingga ia menjadi niat yang tulus. Bagaimanapun, niat adalah awal dari segala hal. Sebelum tangan bergerak, kaki melangkah, lisan mengucap, ada amalan hati yang lebih dahulu menentukan.
Kabar gembira itu telah kita dapatkan. Jangan sekali-kali meremehkan niat baik, karena bisa jadi itu bernilai amal salih meskipun tidak jadi terealisasi. Jangan pula bermain-main dengan niat buruk, karena bisa jadi ia berubah menjadi perbuatan yang akan merugikan kita.
Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar