Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Jika Allah Maha Penyayang, Kenapa Ada Keburukan di Dunia Ini?

Dunia ini kacau balau. Kita sering melihat orang tidur di jalanan, anak-anak kelaparan, dan penyakit menggerogoti tubuh orang-orang tersayang di sekitar kita. Bahkan, kita juga mungkin pernah menyaksikan bencana alam yang menelan begitu banyak korban. Belum lagi masalah-masalah sosial yang tak kunjung reda. Semua ini benar-benar terjadi. Mungkin kita pernah mengalaminya. Dan tentu saja, ini menyakitkan.

Padahal, katanya Allah itu Maha Penyayang. Kita sejak kecil “dipaksa” untuk mengimani bahwa Allah itu al-rahmān al-rahīm. Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tapi bukankah kenyataan faktualnya kontradiktif? Jika memang Allah Maha Penyayang, kenapa begitu banyak keburukan dibiarkan terjadi begitu saja? Bukankah Allah mampu menghilangkan penderitaan kita?

Saya ingin bercerita dahulu. Ketika masih kecil —usia sekitar 4 atau 5 tahun— saya pernah memiliki benjolan di belakang lutut. Benjolannya lumayan besar, sampai mengganggu saya untuk bisa menekuk lutut. Belum lama ini, saya tahu bahwa benjolan itu disebut lipoma.

Suatu hari, saya dibawa ke rumah sakit oleh orang tua saya. Ternyata saya akan dioperasi. Sebelum proses operasi itu, saya disuntik, bius katanya. Sakit sekali. Saya masih ingat rasanya sampai hari ini. Barangkali, inilah yang menyebabkan saya masih sering merasa takut ketika akan disuntik.

Setelah dibius, saya tidak ingat apapun. Tiba-tiba, benjolan di belakang lutut saya hilang dan berubah menjadi jahitan. Masalahnya, jahitan ini pun akan menjadi persoalan baru. Setelah mengering di kemudian hari, saya pun masih diminta untuk “melepas” benang jahitannya. Rasanya juga sakit.

Selama menjalani proses itu, saya merasa takut, cemas, kesakitan, dan tentu saja menangis. Padahal, orang tua saya mungkin bisa memilih untuk membiarkan saya tanpa dioperasi. Agar saya tidak merasakan semua penderitaan itu. Tapi, apakah itu yang disebut rasa sayang?

Bagi saya, serangkaian proses ini terasa “kejam” dan menyakitkan. Bahkan beberapa kali saya merasa perlu meminta kompensasi untuk dibelikan ini dan itu untuk menjalaninya. Namun, bagi orang-orang yang benar-benar tahu —seperti dokter dan orang tua saya— tindakan yang menimbulkan rasa sakit sesaat itu justru menyelamatkan saya dari berbagai potensi penyakit yang lebih berbahaya.

Barangkali begitulah analogi sederhana untuk memahami bagaimana kasih sayang Allah bekerja. Keburukan yang tampak di mata kita kadang hanyalah “penderitaan” yang menyakitkan untuk sesaat. Ada kebaikan besar yang tersembunyi di baliknya. Bahkan, ada kalanya kebaikan itu tidak mungkin muncul tanpa ada keburukan lebih dulu. Seperti dalam kasus saya diatas misalnya. Operasi itu memang buruk bagi kaki saya. Ada pembedahan, dijahit, dan bekasnya masih ada sampai hari ini. Namun, itu justru menyelamatkan saya di kemudian hari.

Pada hakikatnya, Allah memang menciptakan yang baik dan yang buruk. Namun, kebaikan itu dikehendaki Allah karena zatnya sendiri. Sementara keburukan, hanya Allah izinkan karena ada kebaikan yang lebih besar di baliknya. “Rahmat-Ku mendahului murka-Ku,” begitulah firman-Nya dalam sebuah hadis qudsi. Artinya, jika ada keburukan yang dibiarkan terjadi, itu bukan karena Allah senang dengan keburukan itu, melainkan karena dari situ ada hikmah yang lebih luas.

Masalahnya, kita sering melihat kejadian di permukaannya saja. Biasanya, kita menilai keburukan hanya dari satu sisi semata. Seperti saya yang mengira operasi itu murni tindakan yang membuat saya menderita. Atau dalam kasus yang lebih luas, orang yang melihat hukum qishā hanya dari sisi korban, tanpa melihat keadilan sosial yang lahir bagi masyarakat. Padahal, sebuah “keburukan khusus” terkadang justru melahirkan “kebaikan umum.” Hukuman bagi satu orang bisa mencegah banyak orang dari perbuatan yang sama. Musibah yang menimpa satu kampung bisa jadi menumbuhkan solidaritas yang sebelumnya tidak pernah ada.

Di titik ini, sebenarnya kita sedang berhadapan dengan keterbatasan akal. Kita sering berpikir, bukankah mungkin Allah menciptakan kebaikan murni tanpa harus disertai keburukan? Bukankah mungkin dunia ini indah tanpa luka, damai tanpa perang, sehat tanpa penyakit? Iya, mungkin saja. Tapi sayangnya, Allah tidak menjadikannya seperti itu. Toh, banyak kebaikan justru lahir dari sesuatu yang tampak buruk. Misalnya, kesabaran tidak mungkin ada tanpa penderitaan. Keberanian tidak mungkin hadir tampak tanpa ancaman. Ampunan juga tidak akan bermakna tanpa adanya dosa. Dunia tanpa keburukan justru bisa kehilangan makna kebaikan itu sendiri.

Imam al-Ghazālī pernah mengingatkan, bila kita mendapati keburukan yang sama sekali tak kita pahami, ada dua kemungkinan. Pertama, sebenarnya ada kebaikan di baliknya, hanya saja akal kita terlalu terbatas untuk bisa melihatnya. Kedua, justru kita yang salah mengira, seolah-olah kebaikan bisa hadir murni tanpa adanya keburukan sama sekali—padahal itu mustahil. Karena itu, sikap terbaik bagi kita adalah tetap rendah hati. Jangan buru-buru menuduh Allah tidak adil. Akui saja bahwa pengetahuan kita terbatas. Kita hanya melihat sebagian, sementara Allah melihat keseluruhannya.

Maka dari itu, kita perlu memantapkan ridha dan iman kita dalam menghadapi segala macam keburukan yang terjadi. Kita tidak perlu berusaha memahaminya secara sempurna, karena pasti ada kebaikan di dalamnya. Pasti.

Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts