Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Selemah-Lemahnya Iman

Terdapat sebuah riwayat dari Ibn Mas‘ūd ra. bahwa beliau berkata:

إن العبد ليغيب عن المنكر ويكون عليه مثل وزر صاحبه. قيل: وكيف ذلك؟ قال: يبلغه فيرضى به

“Seorang hamba bisa saja tidak hadir ketika terjadi kemungkaran, namun ia tetap mendapat dosa seperti pelakunya.” Ditanyakan kepadanya: ‘Bagaimana bisa?’ Beliau menjawab: ‘Karena kabar itu sampai kepadanya, lalu ia meridhainya.’

Pesan ini jelas. Berhati dingin ketika mendapatkan kabar kemungkaran adalah dosa. Artinya, kita tidak boleh seperti itu. Kenapa? Karena diam, apalagi ridha terhadap kemungkaran adalah bentuk menyetujui kemungkaran itu.

Hari ini, kita sangat rawan terjebak dengan “dosa-dosa” seperti ini. Internet, melalui gawai kita, membuat kita bisa mengakses segala jenis informasi di luar sana. Ada kezaliman-kezaliman yang setiap hari muncul, entah dalam bentuk postingan media sosial, atau video-video pendek yang sering kita akses.

Tragedi Palestina, misalnya, hadir hampir setiap hari di layar gawai kita. Ada berita tentang anak-anak yang terbunuh, rumah yang dihancurkan, dan orang-orang yang terusir dari tanah airnya sendiri. Sudah hampir dua tahun, kita terus-menerus mendapatkan informasi ini. Kita terkanjur terpapar semua itu. Maka, kita tidak bisa pura-pura netral.

Pun demikian dengan yang terjadi di negeri sendiri. Beragam kezaliman terberitakan setiap hari. Kasus kekerasan penguasa kepada rakyatnya, penggusuran, kriminalisasi, dan tentu saja korupsi yang tak kunjung henti. Berita-berita itu kita baca setiap hari. Kita menontonnya, dan sering mendiskusikannya. Lalu, bagaimana sikap kita? Apakah kita marah? Apakah kita masih punya perasaan nyesek dan miris? Jika iya, itu masih lumayan bagi kita.

Namun, jika ternyata hati kita dingin dan menganggap semua kezaliman yang kita dengar adalah sebuah kenormalan, hati-hati. Jangan-jangan, kita sudah mulai ridha dengan kezaliman itu.

Masalahnya, kabar buruk yang diulang-ulang biasanya akan terasa normal saja. Ketika mendengar kezaliman zionis di Palestina untuk pertama kalinya, kita mungkin akan merasa marah, kecewa, dan miris. Namun, setelah sekian lama terjadi —kini hampir dua tahun tanpa henti— apakah perasaan itu masih sama? Begitupun dengan kezaliman-kezaliman lokal. Semakin sering terdengar kasus korupsi, kita semakin menganggapnya biasa. Bahkan, tidak jarang kita meridhainya tanpa sadar. Ungkapan-ungkapan “zaman sekarang, siapa yang nggak korupsi mas,” atau “kalo kerja disana ya sudah wajar seperti itu” dan yang sejenisnya ini adalah bentuk ridha terhadap kezaliman.

Kezaliman sekecil apapun, tidak boleh kita normalisasi.

Ridha terhadap keburukan itu lebih berbahaya dari yang mungkin kita kira. Kita sering menyepelekannya. Padahal, dampak dari keridhaan ini akan menciptakan legitimasi sosial. Ketika kezaliman dianggap normal, kemaksiatan akhirnya menjadi budaya. Kemudian, perbuatan dosa tidak lagi dianggap memalukan. Ya bagaimana, banyak temannya.

Oleh sebab itulah kita perlu mendengarkan kembali sabda Nabi Saw:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذٰلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu selemah-lemah iman.” (HR Muslim)

Menurut Imam al-Munāwī dalam Fay al-Qadīr, kata “man ra’ā” bukan hanya berarti melihat dengan mata, tetapi juga “mengetahui.” Jadi, siapa pun dari kita yang mengetahui adanya kemungkaran—baik hadir langsung maupun lewat berita—maka ia terkena perintah untuk mengingkarinya. Cara pengingkarannya pun berjenjang: bila mampu dengan tangan, maka harus dilakukan. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Dan bila kedua jalan itu terhalang, maka wajib dengan hati, yaitu membencinya, menolaknya dalam hati, serta bertekad bahwa jika mampu, ia akan mengubahnya. Dan khusus pengingkaran dalam hati, adalah kewajiban fardhu ‘ain bagi setiap orang.

Kewajiban mengingkari kemungkaran ini juga tidak cukup hanya dengan berkata “saya sudah menolak dengan hati” jika sebenarnya ia mampu dengan lisan. Dan tidak cukup pula menasihati dengan lisan bila ia sebenarnya mampu menghentikan dengan tangan. Artinya, tangga nahi munkar ini bukan pilihan selera. Ini adalah urutan kewajiban sesuai kemampuan.

Seandainya yang terakhir ini pun tidak bisa kita lakukan, maka kita perlu kembali melihat iman kita. Imam al-Munāwī menyatakan bahwa “mengingkari dengan hati adalah selemah-lemahnya iman, yakni selemah-lemah cabangnya. Maksudnya adalah Islam, atau buah dari iman. Dan tidak ada lagi setelah itu iman walau sebesar biji sawi.”

Karena itu, menjaga rasa nyesek, marah, atau miris ketika melihat kezaliman adalah bagian dari iman. Itu adalah tanda bahwa hati masih hidup. Dari hati yang menolak, diharapkan akan lahir dorongan untuk berbuat. Baik itu dengan mendoakan, menyuarakan, atau membantu sesuai kemampuan.

Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts